SAGOETV | BANDA ACEH – Pendiri Yayasan Ashabul Kahfi Sidney Autralia, Dr. Teuku Chalidin Yacob, menyoroti polemik pelepasan empat pulau Aceh ke Sumatera Utara sebagai persoalan yang menyentuh martabat rakyat Aceh. Ia mengecam sikap pasif sebagian akademisi dan budayawan
“Ke mana para intelektual? Ke mana para budayawan? Jangan cuma buat makalah seminar! Ini bukan hanya soal peta wilayah, ini soal harga diri dan sejarah,” tegasnya dalam Podcast sitayangkan Sagoetv, Rabu (18/6/2025) Akademisi asal Aceh yang kini menetap di Australia. Dipandu oleh Dr. Mukhlisuddin Ilyas, M.Pd, dan Said Mukammil Bawarith, dalam diskusi ikut menggali tema-tema strategis seputar konflik pulau, peran santri dayah, hingga krisis kepemimpinan intelektual Aceh.
Ia menyatakan bahwa logika narasi “memperjuangkan hak” dalam isu ini keliru besar.
“Itu milik kita, titik. Kita tidak sedang memperjuangkan milik orang lain. Ini soal pengembalian, bukan perebutan,” katanya dengan nada tinggi.
Pernyataan Mendagri agar rakyat Aceh menggugat ke PTUN jika keberatan, juga dinilainya terbalik secara hukum dan moral.
“Yang melanggar konstitusi seharusnya yang membuktikan, bukan korban yang harus membela diri,” tambahnya.
Chalidin juga menyayangkan sikap Gubernur Sumut yang dianggap terlalu cepat mengambil keputusan tanpa memahami konteks sejarah.
Santri Dayah dan Misi Global
Selain isu geopolitik, Dr. Chalidin juga memberikan motivasi mendalam tentang peran dan masa depan santri dayah di era global. Ia berbagi kisah pribadinya yang hanya berpendidikan dayah murni, namun bisa menembus level doktoral di luar negeri.
“Saya dulu tidak bisa menjawab soal ujian dalam bahasa Arab saat ikut tes di IAIN. Tapi saya tidak menyerah. Saya belajar, pindah kampus, tetap menjaga jati diri santri. Santri itu bisa menembus batas, asalkan ada mentalitas pantang menyerah,” jelasnya.
Ia mengajak para santri untuk:
- Terus belajar meski gagal
- Adaptif terhadap dunia luar tanpa kehilangan jati diri
- Bangga dengan identitas santri
- Menguasai bahasa Arab dan Inggris
- Memanfaatkan pengakuan formal negara terhadap pendidikan dayah
“Kalau kamu lulusan dayah tapi tak bisa tunjukkan ruh Islam dalam kehidupan harian, itu gagal. Bukan soal bisa khutbah, tapi apakah kamu tetap shalat saat buka puasa di jalan? Itu santri sejati,” ujarnya mengingatkan.
Dalam sesi khusus soal syariat Islam di Aceh, Chalidin menyampaikan keprihatinan terhadap kontradiksi antara simbol dan realitas.
“Syariat hanya jadi ornamen. Tapi angka kekerasan seksual dan kemiskinan tinggi. Kita bersyariat, tapi kemungkaran meningkat. Ini ironi.”
Ia mengingatkan bahwa sumpah jabatan dengan Al-Qur’an bukan sekadar ritual, melainkan janji terhadap amanah ilahi.
“Jangan tunggu dicopot baru berani bicara. Itu inkar ba’dal ijma—penolakan setelah sepakat,” katanya, mengutip istilah ushul fiqh.
Ia pun menyentil perilaku elite Aceh yang lebih mempertimbangkan kenyamanan jabatan daripada keberanian moral.
Menutup perbincangan, Chalidin menyerukan kebangkitan santri dayah dan generasi muda Aceh.
“Dayah itu potensi, bukan penghambat. Jangan eksklusif, jangan takut masuk dunia luar. Tunjukkan bahwa santri bisa bicara di forum dunia, bukan hanya di balai pengajian,” katanya.
Ia menekankan pentingnya membuka pola pikir, menyusun ulang strategi pendidikan dayah, dan memperkuat kapasitas literasi serta politik.
“Hijrah itu bukan hanya pindah tempat, tapi pindah cara pikir. Kita harus hijrah dari simbol ke substansi, dari slogan ke tindakan.” Ujarnya. []
selengkapnya simak video kami :