Secara sederhana, tulisan ini sesungguhnya hanya ingin mengungkapkan bahwa apa yang terjadi di belakang tidak selalu selaras dengan apa yang tampak di depan.
Orang yang berjualan barang dan jasa tertentu yang diletakkan di depan, tidak selalu sudah begitu dari belakangnya. Tidak jarang, untuk menghasilkan satu barang kecil yang menarik, ternyata harus mengorbankan banyak orang. Pernahkah seorang pemakai perhiasan mahal mempertanyakan hal ini? Terutama benda-benda mahal dari perut bumi daerah konflik yang diperebutkan dengan darah dan nyawa.
Sesuatu yang sudah tertata rapi di rak-rak toko juga demikian. Di belakang, ketika barang-barang tersebut disiapkan, sudah melewati banyak tahapan. Sepatu yang harganya mahal, bisa jadi dibeli dengan harga murah dari para pembuatnya, lalu produsen bermerek mengganti dengan mereknya. Sayur-sayur yang ditata di supermarket, dibeli dari petani dengan harga yang biasa-biasa saja –bahkan lebih murah dari yang diperkirakan.
Hal ini berlaku dalam makanan. Sehingga dalam suatu perjalanan lapangan ke pedalaman Aceh, seorang senior mengingatkan bahwa sebelum makan, baiknya tidak pergi dulu ke belakang. Apa yang ditampilkan dalam rak makan, belum tentu selaras dengan bagaimana proses di belakangnya. Tidak semua rumah makan yang sangat bersih di depan, juga bersih di belakang. Begitu juga makanan enak yang tersedia di rumah makan-rumah makan, di belakang tidak selalu selaras dengan rasa enak yang didapat itu.
Orang mengejar tempat makan tertentu yang tersedia makanan yang langka. Siput sungai dalam gulai pliek u tidak tersedia di semua tempat. Orang tidak bisa membayangkan bagaimana siput itu didapat –mungkin seperti membayangkan rubung batang kala yang tidak semua tempat tersedia.
Bagaimana rumitnya mempersiapkan bebek yang tidak mengeluarkan bau khas, atau daging kambing yang renyah, atau ikan paya yang prosesnya rumit luar biasa. orang-orang yang makan tidak semua membayangkan rumitnya prosesnya tersebut.
Hal lain yang sering dilupakan mereka yang menyantap, namun selalu jadi catatan bagi penata. Bukankah apa yang dihasilkan dengan kerja keras di belakang (dapur), harus disahuti dengan penataan yang bagus di depan? Penataan yang bagus kerap menipu mata, dan itu yang dilakukan masyarakat modern. Makanan yang dijual dipotret dengan penuh kepalsuan, berlipat timbul godaan dibandingkan ketika ia terhidang di depan kita.
Kehidupan nyata banyak ditipu dengan dunia seolah-seolah. Orang-orang yang seolah bersuara keras memperjuangkan keadilan, padahal sedang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan jabatan. Melakukan sesuatu yang benar seolah-olah untuk keberpihakan. Padahal hanya untuk meraih sesuatu dan akan diam ketika semua sudah didapat.
Seperti itulah makanan, bagai kehidupan yang berbabak-babak. Kehidupan yang berpotensi melahirkan apa yang disebut sebagai idealitas di satu titik dan realitas di titik yang lain.
Das Sollen dan das sein. Dulu, pertengahan abad ke-20, Erving Goffman memperkenalkan realitas itu dalam gagasan dramaturgi. Ia menganalogikan kehidupan sosial itu seperti babakan drama di atas sebuah pentas.
Tidak semua penonton mampu memahami apa yang terjadi di balik apa yang dipentaskan. Para penonton sering hanya tahu apa yang sudah ditampilkan. Sementara bagaimana cerita dan seting dikendalikan, hanya mereka saja yang tahu –bahkan mungkin pemain sekalipun hanya menjalankan skenario yang tertulis dalam naskah.
Dramaturgi salah satu bagian kecil dari interaksionisme simbolik dalam sosiologi. Orang-orang yang mendalami sesuatu, kadangkala hanya mampu menyelami secara utuh sebagian kecil saja dari rumitnya kehidupan ini. Dan orang sering terjebak apa yang mampu dilihat dengan mata, seolah itulah realitas yang sebenarnya, dan tidak berusaha mendalami apa yang sesungguhnya lebih lebar ada di sebaliknya.
Apa yang terlihat kadangkala bisa menipu kita. Tidak semua yang bisa ditangkap dengan mata sebagai keadaan yang sebenarnya, senyatanya. Bisa jadi ia hanya pantulan yang sengaja dibentuk oleh mereka yang memang menginginkannya.
Kehidupan yang tidak senyatanya, lalu ada kehidupan yang mendua. Jika ada orang mau memerankan secara sempurna dua muka, orang tua kita sudah lama menyebut fenomena demikian sebagai bube dua jab, seureukap dua muka, keudeh toe, keunoe rap.