Oleh: Sahlan Hanafiah
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Lima tahun yang lalu, ketika Donald Trump dinyatakan sah mewakili Partai Republik untuk maju sebagai calon presiden, seorang warga Aceh yang lama menetap di Amerika Serikat, dalam pertemuan halal bil halal di rumah seorang kolega memprediksikan Trump bakal menang dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2016.
Waktu itu, semua tamu yang hadir, terutama yang tidak pernah menetap di AS, tidak percaya dengan prediksi tersebut. Bagaimana mungkin, Trump yang tidak punya pengalaman politik praktis, tidak pernah menjadi senator, walikota atau gubernur bakal mampu mengalahkan Hillary Clinton.
Tidak hanya itu, kapasitas intelektual Trump juga kalah jauh dari Hillary Clinton. Bukankah warga AS dikenal “smart” dan pasti memilih pemimpin yang mampu mewakili mereka di panggung internasional?
Secara serentak kami bertanya mengapa Trump dalam prediksinya bakal menang. Teman ini memberi jawaban singkat bahwa warga AS terutama kelas menengah ke bawah telah muak dengan tingkah laku elit politik dan mereka (warga AS) melihat Donald Trump sebaga sosok yang mewakili aspirasi rakyat.
Benar saja, Trump menang dan menjadi presiden AS ke 45. Tidak hanya kami yang menghadiri acara halal bil halal, seluruh dunia pun kaget, setengah tidak percaya. Pengamat politik sibuk mencari dalil baru setelah sebelumnya memprediksikan Hillary Clinton yang bakal menang.
Diplomat AS yang berkarir di luar negeri juga kelabakan menjawab pertanyaan seputar politik internal di negara mereka. Seiring dengan itu, teori konspirasi menguat.
Belakangan, para intelektual dan peneliti politik menjelaskan gejala kemenangan Donald Trump dengan istilah kebangkitan populisme, sebuah ideologi yang bersandar pada moral dan peulitek asoe lhoek (native).
Seperti jawaban warga Aceh di atas yang kemudian dijelaskan oleh teori populisme, kemenangan Donald Trump akibat warga AS muak dengan tingkah laku elit politik. Elit dianggap korup, sibuk dengan urusan dan kepentingan pribadi, lebih mementingkan golongan sendiri dan melupakan rakyat.
Disisi lain, asoe lhoek, warga AS kulit putih yang menganggap dirinya lebih Amerika dari yang lain merasa terpinggirkan, tersingkir di negara sendiri. Mereka menuduh elit terlalu menganakemaskan pendatang dan imigran.
Kebangkitan peulitek asoe lhoek dan rasa muak rakyat terhadap sikap elit politik tidak hanya terjadi di Amerika Serikat dan Amerika Latin saja, tapi juga melanda sebagian besar Eropa.
Sejak Eropa dikepung oleh gelombang pengungsi dan imigran, warga Eropa asoe lhoek secara politik dan ekonomi merasa tersingkir dan terpinggirkan. Akhirnya mereka menumpahkan kekesalannya terhadap elit politik dengan memilih sosok pemimpin populis.
Gejala ini bukan tidak mungkin akan terjadi di Indonesia dan di tingkat lokal seperti Aceh jika perilaku elit politik tidak diubah dari sekarang. Kegaduhan politik antara DPR Aceh dan Plt Gubernur ditengah keadaan darurat pandemi Covid-19 menunjukkan tidak adanya rasa simpati dan empati terhadap rakyat.
Disisi lain tidak terbukanya pengelolaan dana, lemahnya koordinasi pencegahan dan penanganan Covid-19 menyebabkan kepercayaan rakyat terhadap elit pemimpin daerah berangsur-angsur hilang.
Disinilah biasanya peulitek peusakhob muncul, sebuah sikap politik menghukum elit pada saat pesta demokrasi. Jika selama ini rakyat memberi kesempatan kepada pemimpin dengan latar belakang insinyur, dokter, ekonom, birokrat menjadi gubernur, bupati, walikota atau anggota dewan yang mereka anggap berpendidikan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti atau malah dalam waktu dekat mandat yang diberikan kepada mereka bakal dicabut melalui jalur demokrasi yang digelar setiap lima tahun sekali dan diserahkan kepada mereka yang dianggap dekat dengan rakyat tanpa mempedulikan pengalaman politik dan latarbelakang pendidikan.
Para demagog biasanya akan memanfaatkan situasi ini dengan mempertajam sentimen terhadap elit politik. Demagog atau mereka yang pandai mengaduk-aduk emosi dan mengadu domba rakyat berbasis sentimen politik, sosial-budaya dan agama selalu menunggu masa ketidakpuasan rakyat sebagai modal politik untuk dipilih secara demokratis.
Demagog seperti sosok Trump di AS, Viktor Orban di Hungaria, atau Jair Bolsonaro di Brazil dalam pandangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya How Democracies Die merupakan sosok pemimpin yang dapat mengancam demokrasi dari dalam.
Kita tentu saja tidak ingin terjerumus terlalu jauh kesana, dengan memberi peluang kepada para penyebar kebencian (demagog) menjadi pemimpin melalui jalur resmi demokrasi.
Namun jika perilaku elit tidak berubah, tidak tertutup kemungkinan kekecewaan rakyat terhadap elit pemimpin Aceh semakin dalam. Dan pada saat pesta demokrasi digelar, rakyat akan menghukum elit dengan peulitek peusakhob, memilih pemimpin tanpa peduli kecakapan, pengalaman dan latarbelakang pendidikannya.