Oleh: Adam Juliandika
(Mahasiswa Pascasarjana Magister Hukum Tata Negara, Universitas Abulyatama Aceh)
“Dunia digital ibarat lautan luas: penuh peluang, tapi juga badai. Membatasi akses bukanlah solusi, melainkan menyiapkan layar agar generasi muda berlayar dengan bijak. Literasi digital, pengawasan orang tua, dan dakwah bermakna menjadi mercusuar, menerangi perjalanan agar tak tersesat di arus deras informasi tanpa etika.” ( Editor )
Wacana pembatasan usia dalam pembuatan akun media sosial yang digagas Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid pada 2025 memicu perdebatan sengit. Kebijakan ini bertujuan melindungi generasi muda dari paparan konten negatif: kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian yang marak di dunia maya. Namun, pertanyaannya: apakah pembatasan usia cukup efektif, ataukah sekadar solusi instan yang menutup lubang tanpa benar-benar memperbaiki fondasi?
Senator Aceh Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Tgk Ahmada MZ, menegaskan bahwa tingginya penetrasi media sosial di Indonesia belum diiringi literasi digital yang memadai. Data We Are Social (2024) menunjukkan bahwa dari 167 juta pengguna internet di Indonesia, 125 juta aktif di media sosial. Angka ini mencerminkan realitas baru: dunia digital bukan sekadar ruang hiburan, melainkan arena utama interaksi sosial anak-anak dan remaja.
Pembatasan usia mungkin dapat mengurangi paparan terhadap konten berbahaya, tetapi tanpa pendekatan holistik, ia hanya akan menjadi kebijakan tambal sulam. Dalam konteks Aceh—provinsi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman—pendekatan berbasis edukasi dan pengawasan orang tua jauh lebih fundamental dibanding sekadar melarang anak membuat akun media sosial.
Bukan Sekadar Melarang
Pertama, meningkatkan Literasi Digital Pemerintah, sekolah, dan keluarga harus berkolaborasi membangun kesadaran digital sejak dini. Edukasi tentang memilah informasi, memahami dampak media sosial, dan menghindari konten negatif lebih efektif daripada sekadar membatasi akses.
Kedua, peran Aktif Orang Tua Orang tua tidak cukup hanya menetapkan batasan waktu penggunaan gadget. Mereka harus menjadi teman diskusi bagi anak-anak mereka, membimbing tanpa mengontrol secara berlebihan. Pendidikan digital harus dimulai dari rumah, bukan hanya di sekolah.
Ketiga, mendorong Konten Positif Platform digital harus lebih agresif dalam mempromosikan konten edukatif dan islami yang relevan bagi generasi muda. Para kreator konten lokal di Aceh memiliki peran strategis dalam menyediakan alternatif hiburan yang tidak hanya menarik tetapi juga berisi.
Keempat, pemanfaatan Teknologi Pengawasan Aplikasi parental control dan fitur keamanan digital dapat menjadi alat bantu bagi orang tua dalam mengawasi aktivitas daring anak-anak mereka. Namun, teknologi ini hanya akan efektif jika digunakan dengan pendekatan komunikasi yang terbuka dan sehat.
Kelimat, keterlibatan Komunitas, Lingkungan dan Masyarakat harus berperan aktif dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman. Kampanye literasi digital, gerakan anti-hoaks, serta peningkatan kesadaran akan etika bermedia sosial harus menjadi agenda bersama.
Akhlak di Dunia Maya
Di Aceh, media sosial bisa menjadi alat dakwah yang ampuh jika digunakan dengan bijak. Islam mengajarkan kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Isra’ ayat 36: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Begitu pula hadis Rasulullah SAW:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dakwah di dunia digital tidak hanya berarti menyebarkan ayat dan hadis, tetapi juga membentuk ekosistem daring yang positif. Para pendakwah, akademisi, dan influencer muslim di Aceh harus aktif berkontribusi dalam membangun kesadaran digital yang selaras dengan nilai-nilai Islam.
Untuk Generasi Muda dan Tua
Untuk anak-anak yang bermedia sosial agar mengunakan media sosial untuk hal-hal produktif, Jangan sembarangan membagikan informasi pribadi, berhati-hatilah dalam memilih teman daring, serta laporkan konten negatif kepada orang tua atau guru.
Untuk orang tua, agar menjadi orang tua teladan dalam bermedia sosial, dampingi anak dalam memilih konten yang sesuai, batasi penggunaan gadget secara bijak, bukan otoriter, dan bangun komunikasi terbuka tentang dunia digital.
Membatasi akses media sosial bagi anak-anak adalah langkah awal, tetapi tidak cukup untuk menghadapi kompleksitas dunia digital. Solusi yang lebih berkelanjutan adalah membangun generasi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga memiliki kesadaran moral dan etika dalam penggunaannya.
Negara, orang tua, dan masyarakat harus bersinergi dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat. Hanya dengan pendekatan yang seimbang—regulasi, edukasi, dan pengawasan—Aceh dapat melahirkan generasi emas yang cerdas digital sekaligus berakhlak mulia. Karena pada akhirnya, dunia maya adalah cerminan dunia nyata, apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. []