Oleh: M Rizal Falevi Kirani
Ketua Komisi V DPR Aceh
Sejak awal kami berada di Komisi V, yang membidangan sosial dan kesehatan. Kami menyurati BPJS untuk mengirim data by name dan by address penerima JKA. Akhirnya setelah disurati beberapa kali tidak datang, maka kita minta dinas Kesehatan untuk membahas kembali lalu kita sepakat hentikan. Tapi Semangatnya bukan untuk menghentikan program JKA untuk jangka panjang. Melainkan supaya BPJS bersedia dialog untuk mengirim data kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Supaya tidak terjadi dobel klaim.
Sekarang JKA bekerjasama dengan BPJS, karena amanah undang-undang Kesehatan. Dimana semua Provinsi dan Kab/Kota di Indonesia mengenai asuransi harus bekerjasama dengan BPJS. Dengan strategi “gertak” penghentian. Akhirnya BPJS bersedia dialog dengan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Dengan strategi itu, data-data by name by address itu akhirnya sudah diberikan oleh BPJS. Memang sumber data awal dari Pemerintah Aceh, tapi tidak update. Makanya perlu dilakukan evaluasi.
Berdasarkan data itu, setidaknya menurut telaah kami sementara ada 600 orang yang saat ini masuk JKA, seharusnya mereka itu masuk dalam program JKNKIS programnya nasional. Dalam hal ini yang di untungkan tentu BPJS. Seharusnya selisih itu dapat menghemat APBA.
Makanya kita desak Dinas Sosial Aceh harus menjadi leading mengenai data-data orang Aceh yang masuk asuransi yang didukung oleh JKN dan data orang yang di support oleh JKA dengan memakai dana APBA. Kenapa perlu data, karena sebagian orang Aceh sudah ditanggung oleh JKN, dan asuransi profesi lainnya seperti PNS, TNI/Polri.
Besar dana yang dialokasikan dari APBA kepada BPJS sebesar, 1.2. Trilun. Itu bukan biaya yang murah. Makanya kita evaluasi, supaya efesiensi alokasi anggaran tepat sasaran.
Inilah yang kita luruskan kemarin, karena dengan kejelasan data, maka mengurangi beban APBA. Hitungan kasar dan asumsi sementara kami, setidaknya terdapat sekitar 3 Milyar Pemerintah Aceh salah bayar JKA kepada BPJS. Apakah mereka salah, tentu tidak, karena update data dari dari Pemerintah Aceh juga tidak terjadi dengan baik dan berkelanjutan.
Jadi sekarang, program JKA tetap lanjut, kita tidak menghentikan program JKA. Tapi yang kita lakukan adalah evaluasi, supaya tidak ada salah klaim dari premi yang dibayar dengan APBA.
Kita perlu luruskan data-data mengenai kemiskinan dan penerima JKA. Supaya alokasi dana JKA tepat sasaran. Apalagi dana otsus mulai berkurang. Aceh tidak memiliki kekutaan finansial yang kuat selain data Otsus. Makanya sejak tahun 2019 sudah kami ingatkan soal perlunya evaluasi JKA. Tahun 2021 kami tidak bahas anggaran karena covid-19. Baru tahun 2022 kami bahas anggaran dengan DPR Aceh, maka kami minta eveluasi alokasi premi JKA kepada BPJS.
Kalau kemarin itu, tidak ada data dari BPJS, maka kita akan berikir untuk tidak bekerjasama dengan BPJS. Walaupun kita akan berhadapan dengan UU Kesehatan. Tapi kita memiliki UU PA juga yang kekuatanya malah lebih khusus. Jadi Rakyat Aceh tidak perlu khwatir, JKA tetap akan dilanjutkan, evaluasi ini digunakan, supaya tepat sasaran. Jadi biaya APBA benar-benar dibayar untuk orang-orang yang tepat.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa sejak JKA ada sampai dengan JKA dalam hal ini Pemerintah Aceh bekerjasama dengan BPJS, tidak pernah dilakukan evaluasi. Baru kali ini kami bergerak untuk dapat membawa kemaslahatan bagi rakyat Aceh. Kelemahan Pemerintah Aceh tetap berada pada integrasi data. Ini harus direspon dengan baik.
Supaya Pemerintah Aceh terhindar dari dobel bayar dana JKS, maka diperlukan integritas data. Qanun SIAT sudah ada tapi realisasi tidak ada. Itu juga catatan penting bagi Pemerintah Aceh.