Oleh: Muna Yastuti Madrah
Sosiolog, dosen fakultas Agama Islam UNISSULA
Guru Besar atau Professor merupakan jabatan tertinggi dalam strata karir akademik. Sebagai jabatan tertinggi, maka regulasi untuk mencapainyapun bukan kaleng-kaleng. Dari masa ke masa regulasi terkait jabatan ini rumit, njlimet dan membutuhkan integritas akademik yang tinggi. Nilai kum yang yang tinggi harus direpresentasikan melalui karya-karya luar biasa dibidang keilmuan, yang hanya bisa dihasilkan dari ketekunan dan kecintaan pada ilmu pengetahuan. Seolah seorang Professor waktunya hanya didedikasikan untuk pengembangan ilmu.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, jabatan profesor telah lama dianggap sebagai lambang keberhasilan intelektual. Hal ini berakar dari tradisi pendidikan kolonial yang menempatkan akademisi dengan gelar tertinggi sebagai pilar intelektual dalam masyarakat. Tradisi tersebut terus berlanjut hingga kini, gelar profesor masih memiliki prestise yang luar biasa.
Meminjam teori Pierre Bourdieu gelar profesor merupakan bentuk kapital budaya yang memberi pengaruh simbolik. Di masyarakat, seorang profesor dianggap sebagai intelektual yang memiliki otoritas untuk memberikan wacana atau rekomendasi pada publik, sehingga menjadi figur yang diidolakan atau dihormati.
Maka tak salah kiranya jika masyarakat menaruh harapan yang tinggi pada para profesor. Profesor sering kali dipandang sebagai tokoh yang memiliki tanggung jawab moral dan etis lebih tinggi dibandingkan akademisi lainnya. Para profesor menjadi teladan dalam hal integritas, kejujuran, dan dedikasi pada keilmuan. Maka, dalam konteks ini, jabatan profesor tidak hanya sekadar gelar akademik, tetapi juga simbol moralitas dan kesadaran sosial.
Prestise ini kemudian menjadi faktor yang dapat mendorong para akademisi untuk mencapai jenjang karir akademik tertinggi ini. Sebetulnya tidak ada yang salah, menjadi professor sudah selayaknya diimpikan oleh akademisi. Ilmuwan dengan kedalaman ilmu dibidangnya, karya dan inovasi yang tiada henti, dan integritas serta moralitas yang tinggi, yang semuanya terejawantahkan dalam sikap sederhana dan rendah hati, adalah Gambaran ideal seorang professor.
Namun, dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh hal-hal yang bersifat materi, apakah jabatan profesor hanya tentang prestasi akademik? atau ada sisi gelap terkait ambisi pribadi? Pertanyaan tersebut menjadi dilema yang dihadapi banyak akademisi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Guru Besar bukan hanya soal pencapaian akademik, tetapi juga terkait dengan berbagai faktor sosial, kultural, dan struktural yang membentuk perilaku dan motivasi akademisi.
Kekuasaan di dunia akademik tidak hanya datang dari keahlian ilmiah, tetapi juga dari pengakuan sosial yang melekat pada gelar tersebut. Jabatan profesor memberikan akses kepada jaringan akademik yang lebih luas, meningkatkan peluang untuk kolaborasi, dan memberikan pengaruh di lingkungan universitas dan di luar.
Profesor sering menjadi elit dalam komunitas akademik, yang memiliki kekuasaan untuk menentukan arah kebijakan pendidikan, standar penilaian, hingga perekrutan dosen. Selain itu, jabatan profesor juga berkonsekuensi pada finansial.
Dosen yang berhasil meraih gelar ini mendapatkan insentif lebih besar, yang dapat menjadi motivasi kuat untuk mencapai jabatan tersebut. Jabatan profesor sering kali dicari bukan hanya karena prestasi ilmiah, tetapi juga karena daya tarik sosial, finansial dan simbolik yang melekat padanya. Karenanya, ambisi pribadi untuk memperoleh status dan kekuasaan menjadi motivasi yang tidak dapat diabaikan.
Kompetisi yang Tidak Sehat
Dalam masyarakat modern, akademisi sering kali berada dalam situasi kompetisi yang ketat. Persaingan ini mendorong terciptanya “perlombaan status” (status competition). Misalnya, di Indonesia, dosen yang ingin mencapai jabatan profesor dihadapkan pada berbagai syarat yang semakin ketat, seperti publikasi di jurnal internasional, terindeks Scopus, pengabdian masyarakat, dan keterlibatan dalam proyek-proyek penelitian besar. Tuntutan yang tinggi dan ambisi memunculkan berbagai strategi “jalan ninja” akademisi.
Dalam dunia akademik modern, muncul fenomena publish or perish (publikasikan atau musnah)-musnah disini dapat juga dimaknai mati karir. Hal ini dapat mendorong akademisi untuk memproduksi karya ilmiah dalam jumlah besar, yang mengabaikan kualitas riset karena lebih fokus pada kuantitas publikasi. Tekanan yang tinggi untuk memenuhi kriteria jabatan profesor sering kali melahirkan sisi gelap dalam bentuk plagiarisme, manipulasi data, publikasi palsu, atau penulisan oleh orang lain (ghostwriting). Fenomena ini menunjukkan bahwa ambisi pribadi dalam dunia akademik dapat mendorong akademisi melanggar etika dan integritas ilmiah.
Jabatan profesor seharusnya mencerminkan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, ketika ambisi pribadi mendominasi, integritas keilmuan akan sangat terkikis. Ambisi untuk meraih status dan keuntungan pribadi dapat menyebabkan pengabaian terhadap nilai-nilai ini. Akademisi yang terlalu fokus pada “meraih gelar” sering kali melupakan misi keilmuan yang sesungguhnya: yaitu pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban. Ambisi pribadi juga dapat menyebabkan profesor terlibat dalam konflik kepentingan, di mana riset-riset lebih didorong oleh keinginan untuk mendapatkan dana atau posisi prestisius daripada kejujuran ilmiah. Hal ini tidak hanya merusak citra akademisi, tetapi juga mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan tinggi.
Menurut teori ketegangan, pelanggaran-pelanggaran akan muncul jikalau sebuah tujuan sangat susah dicapai melalui saluran-saluran yang legal. Tentu saja ambisi bukan satu-satunya faktor, factor struktur dan sistem institusional juga turut berperan. Universitas sering kali menilai kinerja dosen berdasarkan jumlah publikasi, proyek penelitian yang dibiayai, dan kolaborasi internasional. Hal ini menciptakan tekanan institusional yang besar untuk meraih jabatan profesor, bahkan jika itu berarti mengorbankan kualitas atau etika.
Regulasi untuk menjadi profesor sangat birokratis. Banyak dosen merasa terjebak dalam sistem yang lebih menghargai indikator kuantitatif daripada kualitas. Kondisi ini dapat mendorong akademisi memilih “jalan ninja” yang tidak etis. Sistem institusional yang menekankan pada indikator angka dan hasil (bukan pada proses) terkadang mengaburkan tujuan utama pendidikan tinggi. Birokrasi yang terlalu kaku dapat merusak nilai-nilai ideal akademik, membuat ambisi pribadi menjadi lebih dominan daripada kontribusi intelektual sejati.
Refleksi
Ambisi pribadi dalam dunia akademik memang dapat menjadi motivasi, namun ketika ambisi tersebut lebih berfokus pada jabatan dan pengakuan, potensi untuk mengotori integritas ilmiah menjadi semakin besar. Banyak akademisi terjebak dalam perlombaan menuju gelar profesor atau jabatan prestisius lainnya, seringkali mengorbankan keutamaan pengembangan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi inti dari setiap karya akademik.
Mari kita melihat lagi bagaimana para ulama dan filsuf klasik menunjukkan bahwa mereka lebih mengutamakan substansi keilmuan melalui karya-karyanya daripada mengejar gelar atau jabatan formal. Pemikiran mereka yang mendalam dan komitmen terhadap ilmu telah mengukir jejak abadi dalam sejarah, tanpa terikat pada status akademik tertentu. Sudah semestinya akademisi modern kembali memprioritaskan esensi keilmuan, bukan sekadar mengejar prestise formal.
Tabik,