SAGOETV | JAKARTA – Pengesahan revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) menuai kritik tajam dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga ini menilai revisi tersebut membuka jalan bagi perampasan tanah rakyat, kerusakan lingkungan, serta intervensi terhadap kebebasan akademik. Berikut sejumlah catatan YLBHI terkait kebijakan tersebut yang dikutip dari keterangan tertulis pada Rabu (19/2/2025):
Pengesahan revisi UU Minerba dinilai berlangsung tanpa transparansi dan partisipasi publik yang memadai. Pembahasannya dianggap terburu-buru dan minim kajian komprehensif terkait dampak sosial, lingkungan, serta akademik. YLBHI menilai proses ini lebih mengutamakan kepentingan bisnis ketimbang kepentingan rakyat.
Salah satu pasal kontroversial dalam revisi UU Minerba adalah Pasal 75A, yang memungkinkan perguruan tinggi terlibat dalam bisnis pertambangan. YLBHI menilai aturan ini mengarahkan kampus menjadi bagian dari mekanisme bisnis industri tambang, alih-alih menjaga peran kritis dalam menelaah dampak eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan ini dikhawatirkan mempercepat komersialisasi pendidikan tinggi dan membungkam kebebasan akademik.
Selain itu, skema ini berisiko meningkatkan ketidakpastian biaya pendidikan, bergantung pada fluktuasi bisnis tambang. Akses masyarakat kurang mampu terhadap pendidikan tinggi pun terancam semakin terbatas.
Konflik dan Kekerasan
Pasal 75 dalam revisi UU Minerba disebut memperbesar potensi pelanggaran hak asasi manusia. Selama ini, sektor pertambangan kerap menjadi pemicu konflik agraria, perampasan lahan, serta kriminalisasi aktivis lingkungan. Dengan keterlibatan kampus dalam industri tambang, mahasiswa dan akademisi yang bersikap kritis berisiko mengalami represi.
Revisi ini juga mempertahankan ketentuan yang memungkinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). YLBHI khawatir kebijakan ini memperluas aktor konflik dalam sengketa pertambangan, dari yang sebelumnya melibatkan negara dan korporasi, kini meluas ke ormas keagamaan yang memiliki kepentingan dalam industri tersebut.
Alih-alih menghapus pasal bermasalah, revisi UU Minerba justru tetap mempertahankan aturan kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya. Selain itu, sistem perizinan tambang semakin tersentralisasi di pemerintah pusat, yang dinilai menghambat akses masyarakat dalam mengawasi eksploitasi sumber daya alam di daerah mereka.
Diubah Demi Tambang
Salah satu perubahan signifikan dalam revisi UU Minerba adalah Pasal 17A, yang memungkinkan penetapan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) menjadi dasar pemanfaatan ruang dan kawasan. Dengan aturan ini, tata ruang tidak lagi ditentukan berdasarkan kepentingan umum, melainkan dapat disesuaikan dengan titik-titik pertambangan.
Kebijakan ini membuka celah bagi perampasan tanah rakyat dengan dalih kandungan mineral atau batubara di wilayah tersebut lebih berharga daripada pemanfaatannya sebagai lahan pertanian atau permukiman. YLBHI menilai aturan ini akan mempercepat alih fungsi lahan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan.
Berbagai kalangan sipil, termasuk akademisi dan aktivis lingkungan, mendesak pemerintah dan DPR untuk meninjau ulang revisi UU Minerba. YLBHI menegaskan, kebijakan ini berisiko menambah daftar panjang konflik agraria serta mempercepat kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tambang yang tak terkendali. [RIL]