Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dewan Penasehat The Asian Muslim Action Network (AMAN).
Dalam beberapa tahun terakhir, saya menghabiskan waktu untuk menulis sejarah biografi dan pemikiran Isaiah Berlin, seorang filsuf yang “terabaikan” dalam kajian filsafat. Berlin baru mencuat ke permukaan, setelah Henry Hardy mengedit ceramah dan esai-esai Berlin dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak buku Isaiah Berlin terbit, perhatian para sarjana terhadap Berlin pun mulai terbuka tabirnya. Saya berusaha memperkenalkan Isaiah Berlin ke Indonesia, di mana pada awalnya saya menulis tenteng Memahami Intelektual Isaiah Berlin, yang terbit pada salah satu jurnal di Indonesia. Dalam hamparan kajian saya terhadap Isaiah Berlin, terdapat satu topik, menarik manakala Isaiah menulis buku khusus tentang Karl Marx.
Awal karir kepenulisan Isaiah Berlin saat dia menghasilkan buku tentang Karl Marx. Sosok ini sangat memengaruhi dunia, tidak hanya di Barat, tetapi juga di Timur. Karena itu, ketika Berlin menulis tentang Marx, saya terbesit apa istimewanya Marx bagi Berlin. Dalam sejarah teori-teori ilmu sosial, Karl Marx sangat dipengaruhi oleh Hegel. Franz Magnis-Suseno (1999: 47) dalam Pemikiran Karl Marx mengatakan: “Marx Muda yang gusar dengan situasi di Prussia menemukan dalam filsafat Hegel senjata intelektual yang akan menentukan arah pemikirannya.” Marx juga sangat berpengaruh di Russia, khususnya ketika rezim Komunis berkuasa di negara tersebut. Ketika nama Russia diperdalam lagi, maka akan ditemukan pengaruh Marx pada Lenin, Trotsky, Stalin dan Tito. Alan Ryan mengatakan bahwa Marx sebagai inspirator bagi Lenin, Stalin dan Mao Zedong.
Karya-karya Marx memang disebarluaskan di Russia oleh Komunis Russia yang menjadi inkarnasi dari pemikiran-pemikiran Marx di negara tersebut. Adapun untuk memahami Karl Marx, terdapat tiga unsur inti pemikiran Marx yang menjadi sintesa pemikirannya, yaitu: filsafat idealis Jerman, teori politik Perancis, dan ekonomi klasik Inggris. Dengan begitu, siapapun yang akan mendekati Marx, sudah pasti mengakrabkan diri dengan tradisi keilmuan yang berkembang di Jerman, Perancis, dan Inggris. Dapat dipastikan bahwa ketika melihat Marx di Jerman, dia sangat dipengaruhi oleh Hegel. Ketika masih muda, Marx dikenal sebagai Hegel Muda (Young Hegelian). Ketika Marx studi di Universitas Berlin, dia dibawah bimbingan Bruno Bauer (6 September 1809- 13 April 1882), murid dari Hegel. Setelah Marx membaca karya-karya Hegel, dia lantas menjadi Hegelian dan memasukkan dirinya dalam kajian filsafat. Disebutkan oleh Avineri bahwa: “…Marx was drawn to Hegel’s philosophy because he saw in it a powerful instrument for changing reality.” Selain dipengaruhi oleh Hegel, Marx juga dipengaruhi oleh Feuerbach.
Ketika pindah ke Perancis tahun 1843, Marx lalu berhadapan dengan sosialisme Perancis. Pada akhir tahun tersebut, Marx, menurut Berlin sudah mampu membangun pemikirannya sendiri, setelah membaca karya-karya yang melatarbelakangi peristiwa politik di Perancis. Lebih lanjut, dalam salah satu tulisan tentang perjalanan intelektual, Berlin menulis:
I was commisioned to write a biography of Karl Marx. Marx’s philosophical views never appeared to me to be particularly original or interesting, but my study of his views led me to investigate his predecessors, in particular the French philosophes of the eighteenth century – the first organised adversaries of dogmatism, traditionalism, religion, superstition, ignorance, oppression.
Sementara itu, di Universitas Oxford, sosok Marx pada tahun 1930-an belum mendapatkan perhatian oleh para sarjana. Berlin menerima permintaan untuk menulis tentang Marx, karena dia mengakui pengaruh dan pentingnya sosok Marx, serta ingin mengetahui mengapa dia mendapatkan begitu banyak pengikut. Demikian kata Laurence Brocklis ketika menjelaskan mengapa Berlin mau menulis Marx, walaupun di kampusnya, perhatian terhadap Marx belum begitu kelihatan. Lebih dari itu, belakangan dalam salah satu wawancara wawancara yang diterbitkan pada tahun 1998, Berlin malah mengakui kehebatan dan keorsinalitas pemikiran Karl Marx:
I was interested in Marx as a person, and his ideas were interesting. I discovered that two, maybe three ideas in Marx were wholly original, everything else came from someone else. His synthesis was remarkable and amounted to genius. The idea of Marx that was genuinely original was the idea of the influence of technology on culture, that technological change influences culture to a profound degree.”
Bagi Berlin, teori-teori yang dihasilkan oleh Marx sangat diharapkan oleh para pengungsi dari Revolusi Russia. Ketika Berlin hendak menulis tentang Marx, situasi pada akhir-akhir tahun 1920-an dan semenjak tahun 1920-an, kelompok liberal dan demokrat, menjadi penjaga terhadap Marxisme dan Bolshevisme. Saya ingin mengatakan bahwa Berlin memandang pemikiran Marx agaknya telah memberikan pengaruh di negeri kelahirannya, Russia. Saat itu, Riga masih menjadi wilayah Russia, sebelum menjadi bagian dari negara Latvia. Dalam Pendahuluan buku Karl Marx, Berlin menyatakan bahwa tidak ada pemikir pada abad ke-19 “has had so direct, deliberate and powerful an influence upon mankind as Karl Marx.” Akan tetapi, bagi Berlin, “Karl Marx was not primarily a philosopher.” Di tempat lain, Berlin menulis Marx sebagai “…as learned revolutinary theorist good at providing and formulating ideas for international workers’ association…” Dalam konteks ini, Avishai Margalit mengatakan: “Isaiah Berlin had a lifelong fascination with Karl Marx. This fascination has a great deal with with concern with the power of ideas.”
Bagi Berlin, Marx bukanlah sosok yang populer pada masa kehidupannya. Karya-karyanya sama sekali tidak begitu terkenal, melainkan sejak tahun 1870-an, mulai dibaca secara luas. Marx, bagi Berlin adalah “…totally lacked the qualities of a great popular leader or agitator; he was not a publicist of genius, like the Russian democrat Herzen, nor did he possess Mikhail Bakunin’s spell binding eloquence; the greater of his working life was spent in comparative of the British Museum.” Tampak bahwa sosok Herzen dan Mikhail Bakunin lebih berkesan bagi Berlin dibandingkan dengan sosok Marx. Di Russia, adapun Bapak Marxisme di negara tersebut, menurut Berlin, adalah George Valentinovich Plekhanov (1856). Menurut Berlin, istilah ‘dialektika materialis’ ditemukan pertama kali oleh Georgy Plekhanov.
Namun demikian, upaya memosisikan Marx dalam sejarah dunia dan Eropa oleh Berlin memang lebih berlandaskan pada jasa-jasanya di kalangan para buruh ketika muncul usaha untuk internasionalisasi gagasan Marx itu sendiri. Karena itu, tulisan Berlin tentang Marx, selain tentang biografinya, juga tentang filsafat dan internasionalisasi gagasan Marx. Untuk itu, esai ini secara khusus disajikan bagaimana Berlin memotret Marx. Harus diakui bahwa tulisan tentang Marx sudah banyak sekali dilakukan oleh para sarjana. Namun melihat upaya Berlin menulis Marx tentu memiliki keunikan tersendiri. Berlin kelahiran Russia, dimana dia melihat sendiri tentang pergolakan di negara tersebut.
Di samping itu, Berlin juga menulis tentang keadaan intelektual di Russia. Tidak dapat dipungkiri, sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa Marx juga sangat memberikan pengaruh dalam gerakan pemikiran di Russia. Namun demikian, Berlin sama sekali tidak pernah menjadi seorang Marxis, seperti penuturan Aurelian Craiuts berikut: “Berlin could have never been a Marxist in the proper sense of the word, for several reason. They have to do with core of his political vision based on his unflichin commitment to pluralism and freedom, and his principled opposition to monism, determinism, and of form of Procrusteanism.”
Dalam “The Philosophy of Karl Marx,” Berlin menuturkan dasar-dasar pemikiran Marx secara filosofis. Berlin menyatakan bahwa untuk memahami teori filsafat Marx, maka perlu dipahami bagaimana Marx memahami manusia dan alasan suatu tindakan daripada manusia itu sendiri. Di sini Berlin menulis bahwa:
Like the leading French materialist radicals of the eighteenth century, to whom he owed much, Marx believed, in the first place, that man was an object in nature, a three-dimensional lump of flesh, blood and bone to whom the laws of nature discovered by the sciences applied no less fully than to other material objects. Like these materialist, he denied the existence of an immaterial soul, of spiritual substances of any types, and therefore of God, and regarded theology and metaphysics as tissues of falsehood, usurping the place of the natural sciences, which alone could provide true solutions to all questions of all questions of fact, among them the laws governing the evolutions of individuals and societies.
Kutipan di atas memperlihatkan dasar pemikiran Marx tentang manusia, yang lebih banyak dipengaruhi oleh para kelompok materialis dari Perancis. Di sini, manusia dilihat dari sisi hukum alam atau manusia merupakan objek. Di samping itu, Marx sama sekali tidak memercayai hal-hal yang bersifat spiritual. Singkat kata, Marx melihat manusia dari perspektif ilmu-ilmu kealaman (natural sciences). Dengan kata lain, Marx mengikuti hukum alam yang berlaku atas manusia itu sendiri. Jadi, ketika memahami Marx tentu saja bukan sedang memahami kehadiran Tuhan dalam gerak dan langkah seorang manusia, melainkan bagian dari hukum alam yang menggerakannya. Gagasan kelompok materialis Perancis menyerang kelompok rasionalis, dimana mereka mengkonstruksi sistem berpikir yang independen yang memengaruhi pemikiran Eropa hingga hari ini.
Selanjutnya, Berlin mengungkapkan bahwa menurut Marx, manusia berbeda dengan alam, karena manusia mampu melakukan inovasi untuk menciptakan alat-alat agar memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Berlin menulis: “For Marx technological capacities are man’s fundamental nature: they are responsible for what awareness of the processes of living and conscious direction of them which is called history.”
Tampak bahwa sejarah bermula merupakan bagian dari kesadaran manusia di dalam menghasilkan teknologi. Ini tentu saja sangat terkait dengan pemikiran Hegel, dimana sejarah menjadi ruang kesadaran manusia. Ketika menulis tentang Hegel, Berlin memberikan narasi tentang sejarah sebagai berikut: “Therefore history is solely an account of the experience of human beings … History is the story of human creation, human imagination, human wills and intentions, feelings, rather than what is done to them.” Pemahaman ini, juga dijelaskan oleh Berlin dalam melihat pengaruh sejarah dalam kehidupan terhadap pemikiran Marx. Hanya saja, pikiran Hegel yang dimulai dari spirit dan logika yang dibangun, khususnya dalam kajian dialektika, diterjemahkan oleh Marx secara sosiologis.[]