Oleh: Risnawati binti Ridwan.
Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan ASN Pemko Banda Aceh.
Sederetan papan bunga di depan Kantor Gubernur Aceh setelah diumumkannya Provinsi Aceh sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera dan peringkat ke enam se Indonesia Raya, mungkin saja pertama kali dalam sejarah Indonesia. Papan bunga ucapan “selamat” bahwa pemerintah telah mencapai tahap “tertinggi” dari sebuah kondisi masyarakatnya.
Pengumuman ini merupakan hasil dari dua tindakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah itu sendiri dan masyarakat Aceh. Sebutan sebagai provinsi termiskin tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya data pendukung dimana banyaknya jumlah angka masyarakat miskin secara data.
Pada satu sisi, pengumuman Provinsi Aceh sebagai termiskin di Sumatera membuat meradang sebagian kelompok masyarakat, namun hal tersebut tidak mengurangi keinginan kelompok masyarakat lainnya untuk dimasukkan namanya dalam data terpadu sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti Program keluarga Harapan, Bantuan Sembako, KIP dan BST/BLT, apalagi selama masa pandemi ini, dari sisi yang lain.
Dua sisi ini dapat dilihat bahwa pemerintah ibarat memakan buah simalakama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Artinya, melayani kebutuhan masyarakat untuk memasukkan dalam data terpadu otomatis akan menghasilkan “angka kemiskinan” yang tinggi juga. Sehingga pada hasilnya masyarakat sendiri yang menjadikan provinsi ini sebagai provinsi termiskin.
Masyarakat yang mendatangi instansi terkait beralasan agar namanya dimasukkan untuk mendapatkan bantuan. Bahkan ada masyarakat yang sudah mendapatkan satu jenis bantuan tetapi masih tetap berkeinginan untuk mendapatkan bantuan lainnya. Bahkan bagi sebagian orang, setelah mendapat bantuan pemerintah yang bersifat insidental atau hanya diberikan dalam periode satu kali, maka untuk periode berikutnya akan “menagih” agar mendapat bantuan kembali.
Sedangkan sesuai dengan peraturan pemerintah, terutama pemerintah pusat, untuk mendapatkan bantuan seperti PKH, bantuan Sembako disebutkan bahwa penerimanya adalah yang sudah tercantum namanya dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dikelola oleh Kementerian Sosial RI.
Bahkan bagi anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi juga diminta untuk mengisi ID DTKS jika ingin mendapatkan subsidi biaya pendidikan kuliahnya. Dengan biaya kuliah yang sangat tinggi saat ini, sudah sewajarnya banyak orang ingin “mendaftarkan” namanya agar dimasukkan dalam data DTKS.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, sebagai jawaban terhadap masalah “menurunkan angka kemiskinan” dan “melayani kebutuhan dasar masyarakat” . Gambaran solusi berikut sangat perlu dukungan seluruh aspek, dari level terkecil yaitu perangkat gampang sampai dengan tingkat provinsi.
Pertama, memastikan proses validasi dan verifikasi data yang menjadi acuan pemerintah menghitung data kemiskinan. Tentunya dukungan dana dari pemerintah daerah sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan, setelah pemerintah pusat memberikan bantuan berupa pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin.
Pelaksanaan validasi dan verifikasi dibawah koordinasi pemerintah provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten kota sampai ke jenjang terbawah ke tingkat gampong akan menghasilkan data yang lebih “bersih” dan tentunya data yang akurat dan valid.
Proses validasi dan verifikasi ini bukan hanya tentang memperbaiki data secara administrasi dan aplikasi saja, namun juga “turun lapangan” sebagai bukti bahwa memang seseorang tersebut layak untuk masuk dalam data dan menerima bantuan pemerintah. Disini yang sangat berperan adalah pihak dari gampong, dan peran instansi terkait berkewajiban untuk memastikan data itu benar dan tepat.
Namun demikian, perlu penjelasan juga kepada masyarakat, bahwa seseorang yang telah masuk dalam data bukan serta merta akan mendapatkan bantuan segera. Dalam istilah kami pendamping sosial di lapangan, untuk mendapatkan bantuan pemerintah ibarat seseorang mendaftarkan diri mendapatkan porsi haji, memakai uang sendiri saja harus antri baru bisa melaksanakan ibadah, apalagi untuk mendapatkan bantuan pemerintah.
Kedua, sebagai dasar validasi dan verifikasi data tersebut, pemerintah provinsi bisa membuat indikator kemiskinan sehingga seseorang dapat dimasukkan dalam data atau tidak. Secara nasional, Kementerian Sosial RI dan Badan Pusat Statistik telah mempunyai indikator kemiskinan. Pada indikator level provinsi, adalah mensiasati indikator nasional dengan menerapkan kearifan lokal yang ada di daerah setempat.
Sebagai ilustrasi, salah satu indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial adalah tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Tentunya indikator ini tidak berlaku di provinsi Aceh, dimana setiap orang yang terdata sebagai warga provinsi Aceh sudah dapat dipastikan bahwa mampu berobat ke Puskesmas, karena pemerintah provinsi telah memberikan subsidi kesehatan kepada seluruh warganya melalui program JKA.
Penyesuaian indikator ini merupakan kebutuhan yang dilihat dari kondisi dan situasi masyarakat Aceh sendiri. Dari 14 indikator kemiskinan dapat disesuaikan menjadi lebih sedikit atau lebih banyak dari indikator yang telah ada.
Setelah indikator ini ada, maka sebagai bentuk keabsahan sebuah program, indikator ini dibuat dalam bentuk peraturan sehingga setiap kabupaten kota wajib melaksanakan dan atau menurunkan lagi dalam peraturan yang lebih rendah.
Indikator ini bisa digunakan sebagai alat untuk menentukan seseorang dimasukkan dalam dalam data kemiskinan dan atau tidak, dan dalam proses validasi dan verifikasi, sehingga data yang ada dalam database tersebut menjadi valid dan akurat. Jika pun di tahun depan tetap menghasilkan keputusan sebagai “provinsi termiskin”, maka pemerintah telah bekerja maksimal dan dapat menunjukkan bahwa data yang dipunyai adalah data yang “bersih”.
Ketiga, penggunaan anggaran tepat guna, daya guna, hasil guna. Artinya anggaran dari pemerintah pusat yang begitu banyak dalam bentuk dana otsus, dana DAK, dana DOKA, dan lainnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mensejahterakan rakyat Aceh.
Harapannya adalah dana tersebut dapat digunakan untuk mengurangi angka kemiskinan ini. Secara mudah dapat dikatakan, bahwa sebuah keluarga msikin “dibombardir” dengan segala jenis program agar dia tidak menajdi miskin lagi.
Untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya merupakan bantuan pemerintah yang selama ini diberikan seperti PKH dan sembako, pemenuhan kebutuhan pekerjaan berupa adanya pelatihan vokasi sehingga dia dapat bekerja secara mandiri atau bekerja sebagai karyawan, dan yang paling sering dilupakan adalah pemenuhan kebutuhan untuk perubahan mental miskinnya.
Perubahan mental miskin tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Jika mental miskinnya tidak diubah, maka semua bantuan pemerintah menjadi sia-sia saja. Dan hal ini sangat membutuhkan ke-legowo-an setiap instansi pemerintah sehingga tidak adanya satu instansi bekerja sendiri tanpa berkoordinasi dengan instansi lain.
Sebagai ilustrasi, seseorang yang ingin memakan ikan, namun yang ada saat ini adalah ikan yang banyak yang berada di sungai tidak dapat dimakan. Artinya sumber daya alam sangat belrimpah di bumi rencong ini. Kedua, pemerintah berkewajiban memberi ikan tersebut. Jika hanya memberi makan ikan yang telah di masak dan disuapin kepada orang tersebut, pastinya setelah ikan habis maka orang itu akan lapar lagi.
Saatnya bagi kita semua untuk merubah mindset dan tindakan. Jika ingin makan ikan yang enak, lezat maka semua orang harus melaksankaan fungsinya masing-masing. Pemerintah menyediakan dan memberi kesempatan untuk memperoleh ikan dengan menyediakan bahan baku mencari ikan, memberi pendidikan untuk mengolah bahan baku tersebut sehingga mudah digunakan.
Bahan baku yang dimaksud adalah menyediakan kail sebagai alat bantu memperoleh ikan. Bisa jadi pemerintah juga memberikan pendidikan untuk menggunakan bahan baku (kail) sehingga menjadi maksimal dan mendapat ikan yang diinginkan.
Dengan sudah tersedianya bahan baku (kail) dan sumber daya (ikan) serta mempunyai kemampuan mengolah dan menggunakan bahan baku (pendidikan/pelatihan) maka masyarakat menjadi lebih mudah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (ikan).
Namun demikian, pada akhirnya pemerintah dan masyarakat saling bahu membahu demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika pada Pasal 34 Undang Undang Dasar 195 disebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” maka menjadi urusan pemerintah dan masyarakat untuk mengurus fakir miskin dan anak terlantar. Karena masyarakat adalah bagian dari pemerintah juga. (RbR).