• Tentang Kami
Monday, May 19, 2025
SAGOE TV
No Result
View All Result
SUBSCRIBE
KIRIM TULISAN
  • News
  • Podcast
  • Olahraga
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Nasional
  • Analisis
  • News
  • Podcast
  • Olahraga
  • Bisnis
  • Biografi
  • Opini
  • Nasional
  • Analisis
No Result
View All Result
Morning News
No Result
View All Result

Ironi Sebuah Kemiskinan

Risnawati binti Ridwan by Risnawati binti Ridwan
March 14, 2025
in Artikel
Reading Time: 4 mins read
A A
0
Sepeda Lipat dan Berkebun Bunga saat Pandemi? Kalau Aku sih Yess!!!
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Risnawati binti Ridwan.
Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan ASN Pemko Banda Aceh.

Sederetan papan bunga di depan Kantor Gubernur Aceh setelah diumumkannya Provinsi Aceh sebagai provinsi termiskin di Pulau Sumatera dan peringkat ke enam se Indonesia Raya, mungkin saja pertama kali dalam sejarah Indonesia. Papan bunga ucapan “selamat” bahwa pemerintah telah mencapai tahap “tertinggi” dari sebuah kondisi masyarakatnya.

BACA JUGA

Kelestarian Alam sebagai Jalan Kebahagiaan

Lingkungan Bersih sebagai Hak Asasi

Pengumuman ini merupakan hasil dari dua tindakan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah itu sendiri dan masyarakat Aceh. Sebutan sebagai provinsi termiskin tidak serta merta dikeluarkan tanpa adanya data pendukung dimana banyaknya jumlah angka masyarakat miskin secara data.

Pada satu sisi, pengumuman Provinsi Aceh sebagai termiskin di Sumatera membuat meradang sebagian kelompok masyarakat, namun hal tersebut tidak mengurangi keinginan kelompok masyarakat lainnya untuk dimasukkan namanya dalam data terpadu sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah seperti Program keluarga Harapan, Bantuan Sembako, KIP dan BST/BLT, apalagi selama masa pandemi ini, dari sisi yang lain.

Dua sisi ini dapat dilihat bahwa pemerintah ibarat memakan buah simalakama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati ibu. Artinya, melayani kebutuhan masyarakat untuk memasukkan dalam data terpadu otomatis akan menghasilkan “angka kemiskinan” yang tinggi juga. Sehingga pada hasilnya masyarakat sendiri yang menjadikan provinsi ini sebagai provinsi termiskin.

Masyarakat yang mendatangi instansi terkait beralasan  agar namanya dimasukkan untuk mendapatkan bantuan. Bahkan ada masyarakat yang sudah mendapatkan satu jenis bantuan tetapi masih tetap berkeinginan untuk mendapatkan bantuan lainnya. Bahkan bagi sebagian orang, setelah mendapat  bantuan pemerintah yang bersifat insidental atau hanya diberikan dalam periode satu kali, maka untuk periode berikutnya akan “menagih”  agar mendapat bantuan kembali.

Sedangkan sesuai dengan peraturan pemerintah, terutama pemerintah pusat, untuk mendapatkan bantuan seperti PKH, bantuan Sembako disebutkan bahwa penerimanya adalah yang sudah tercantum namanya dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dikelola oleh Kementerian Sosial RI.

Baca Juga:  Wamenkominfo: Aceh Miliki Potensi Lebih Maju dalam Penerapan Keuangan Syariah Digital

Bahkan bagi anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi juga diminta untuk mengisi ID DTKS jika ingin mendapatkan subsidi biaya pendidikan kuliahnya. Dengan biaya kuliah yang sangat tinggi saat ini, sudah sewajarnya banyak orang ingin “mendaftarkan” namanya agar dimasukkan dalam data DTKS.

Ada beberapa langkah  yang dapat dilakukan, sebagai jawaban terhadap masalah “menurunkan angka kemiskinan” dan “melayani kebutuhan dasar masyarakat” . Gambaran solusi berikut sangat perlu dukungan seluruh aspek, dari level terkecil yaitu perangkat gampang sampai dengan tingkat provinsi.

Pertama, memastikan proses  validasi dan verifikasi data yang menjadi acuan pemerintah menghitung data kemiskinan. Tentunya dukungan dana dari pemerintah daerah sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan, setelah pemerintah pusat memberikan bantuan berupa pemenuhan kebutuhan dasar keluarga miskin.

Pelaksanaan validasi dan verifikasi dibawah koordinasi pemerintah provinsi, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten kota sampai ke jenjang terbawah ke tingkat gampong akan menghasilkan data yang lebih “bersih” dan tentunya data yang akurat dan valid.

Proses validasi dan verifikasi ini bukan hanya tentang memperbaiki data secara administrasi dan aplikasi saja, namun juga “turun lapangan” sebagai bukti bahwa memang seseorang tersebut layak untuk masuk dalam data dan menerima bantuan pemerintah. Disini yang sangat berperan adalah pihak dari gampong, dan peran instansi terkait berkewajiban untuk memastikan data itu benar dan tepat.

Namun demikian, perlu penjelasan juga kepada masyarakat, bahwa seseorang yang telah masuk dalam data bukan serta merta akan mendapatkan bantuan segera. Dalam istilah kami pendamping sosial di lapangan, untuk mendapatkan bantuan pemerintah ibarat seseorang mendaftarkan diri mendapatkan porsi haji, memakai uang sendiri saja harus antri baru bisa melaksanakan ibadah, apalagi untuk mendapatkan bantuan pemerintah.

Kedua, sebagai dasar validasi dan verifikasi data tersebut, pemerintah provinsi bisa membuat indikator kemiskinan sehingga seseorang dapat dimasukkan dalam data  atau tidak. Secara nasional, Kementerian Sosial RI dan Badan Pusat Statistik telah mempunyai indikator kemiskinan. Pada indikator  level provinsi, adalah mensiasati indikator nasional dengan menerapkan kearifan lokal yang ada di daerah setempat.

Baca Juga:  Universitas Syiah Kuala: Warisan Ulama Besar dan Jembatan Budaya Aceh-Semenanjung

Sebagai ilustrasi, salah satu indikator kemiskinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial adalah tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik. Tentunya indikator ini tidak berlaku di provinsi Aceh, dimana setiap orang yang terdata sebagai warga provinsi Aceh sudah dapat dipastikan bahwa mampu berobat ke Puskesmas, karena pemerintah provinsi  telah memberikan subsidi kesehatan kepada seluruh warganya melalui program JKA.

Penyesuaian indikator ini merupakan kebutuhan yang dilihat dari kondisi dan situasi masyarakat Aceh sendiri. Dari 14 indikator kemiskinan dapat disesuaikan menjadi lebih sedikit atau lebih banyak dari indikator yang telah ada.

Setelah indikator ini ada, maka sebagai bentuk keabsahan sebuah program, indikator ini dibuat dalam bentuk peraturan sehingga setiap kabupaten kota wajib melaksanakan dan atau menurunkan lagi dalam peraturan yang lebih rendah.

Indikator ini bisa digunakan sebagai alat untuk menentukan seseorang dimasukkan dalam dalam data kemiskinan dan atau tidak, dan dalam proses validasi dan verifikasi, sehingga data yang ada dalam database tersebut menjadi valid dan akurat. Jika pun di tahun depan tetap menghasilkan keputusan sebagai “provinsi termiskin”, maka pemerintah telah bekerja maksimal dan dapat menunjukkan bahwa data yang dipunyai adalah data yang “bersih”.

Ketiga, penggunaan anggaran tepat guna, daya guna, hasil guna. Artinya anggaran dari pemerintah pusat yang begitu banyak dalam bentuk dana otsus, dana DAK, dana DOKA, dan lainnya mempunyai tujuan yang sama yaitu mensejahterakan rakyat Aceh.

Harapannya adalah dana tersebut dapat digunakan untuk mengurangi angka kemiskinan ini. Secara mudah dapat dikatakan, bahwa sebuah keluarga msikin “dibombardir” dengan segala jenis program agar dia tidak menajdi miskin lagi.

Untuk pemenuhan kebutuhan dasarnya merupakan bantuan pemerintah yang selama ini diberikan seperti PKH dan sembako, pemenuhan kebutuhan pekerjaan berupa adanya pelatihan vokasi sehingga dia dapat bekerja secara mandiri atau bekerja sebagai karyawan, dan yang paling sering dilupakan adalah pemenuhan kebutuhan untuk perubahan mental miskinnya.

Baca Juga:  FKDA Gelar FGD Perdana Bahas Pendidikan Aceh di Era Baru

Perubahan mental miskin tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Jika mental miskinnya tidak diubah, maka semua bantuan pemerintah menjadi sia-sia saja. Dan hal ini sangat membutuhkan ke-legowo-an setiap instansi pemerintah sehingga tidak adanya satu instansi bekerja sendiri tanpa berkoordinasi dengan instansi lain.

Sebagai ilustrasi, seseorang yang ingin memakan ikan, namun yang ada saat ini adalah ikan yang banyak yang berada di sungai tidak dapat dimakan. Artinya sumber daya alam sangat belrimpah di bumi rencong ini. Kedua, pemerintah berkewajiban memberi ikan tersebut. Jika hanya  memberi makan ikan yang telah di masak dan disuapin kepada orang tersebut, pastinya setelah ikan habis maka orang itu akan lapar lagi.

Saatnya bagi kita semua untuk merubah mindset  dan tindakan. Jika ingin makan ikan yang enak, lezat maka semua orang harus melaksankaan fungsinya masing-masing. Pemerintah menyediakan dan memberi kesempatan untuk memperoleh ikan dengan menyediakan bahan baku mencari ikan, memberi pendidikan untuk mengolah bahan baku tersebut sehingga mudah digunakan.

Bahan baku yang dimaksud adalah menyediakan kail sebagai alat bantu memperoleh ikan. Bisa jadi pemerintah juga memberikan pendidikan untuk menggunakan bahan baku (kail) sehingga menjadi maksimal dan mendapat ikan yang diinginkan.

Dengan sudah tersedianya bahan baku (kail) dan sumber daya (ikan) serta mempunyai kemampuan mengolah dan menggunakan bahan baku (pendidikan/pelatihan)  maka masyarakat menjadi lebih mudah untuk memenuhi kebutuhannya sendiri (ikan).

Namun demikian, pada akhirnya pemerintah dan masyarakat saling bahu membahu demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Jika pada Pasal 34 Undang Undang Dasar 195 disebutkan “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” maka menjadi urusan pemerintah dan masyarakat untuk mengurus fakir miskin dan anak terlantar. Karena masyarakat adalah bagian dari pemerintah juga. (RbR).

Tags: acehAnomaliIroniKemiskinan
ShareTweetPinSendShare
Seedbacklink
Risnawati binti Ridwan

Risnawati binti Ridwan

Penulis adalah Alumnus STKS Bandung dan Penyuluh Sosial Ahli Muda di Dinas Sosial Kota Banda Aceh

Related Posts

Kelestarian Alam sebagai Jalan Kebahagiaan
Artikel

Kelestarian Alam sebagai Jalan Kebahagiaan

by Sulaiman Tripa
May 12, 2025
sulaiman tripa
Artikel

Lingkungan Bersih sebagai Hak Asasi

by Sulaiman Tripa
May 5, 2025
sulaiman tripa
Artikel

Hukum Lingkungan Berkeindonesiaan

by Sulaiman Tripa
May 2, 2025
sulaiman tripa
Artikel

Hukum Lingkungan dan Kesadaran Dampak Perubahan Iklim bagi Indonesia

by Sulaiman Tripa
April 28, 2025
sulaiman tripa
Artikel

Jalan Pembangunan Hijau

by Sulaiman Tripa
April 25, 2025
Load More

POPULAR NEWS

Waled Landeng: Prioritaskan Non-ASN R2 dan R3 Jadi PPPK Penuh Waktu

Waled Landeng: Prioritaskan Non-ASN R2 dan R3 Jadi PPPK Penuh Waktu

February 21, 2025
Gampong Lam Geu Eu Raih Juara Pawai Takbir Idul Fitri 1446 H Aceh Tahun 2025

Gampong Lam Geu Eu Raih Juara Pawai Takbir Idul Fitri 1446 H Aceh Tahun 2025

March 31, 2025
UIN Ar-Raniry Buka Prodi Manajemen Industri Halal, Mulai Terima Mahasiswa Baru

UIN Ar-Raniry Buka Prodi Manajemen Industri Halal, Mulai Terima Mahasiswa Baru

April 18, 2025
Realitas di Aceh Lebih ‘Bid’ah’ dari Filmnya

Realitas di Aceh Lebih ‘Bid’ah’ dari Filmnya

April 18, 2025
Wali Nanggroe, Waled Landeng dan Cap Sikureung di Malaya

Wali Nanggroe, Waled Landeng dan Cap Sikureung di Malaya

February 21, 2025

EDITOR'S PICK

5 Mahasiswa UIN Ar-Raniry Jalani Program Student Mobility di CSEAS Kyoto University

Mahasiswa UIN Ar-Raniry Jalani Program Student Mobility di CSEAS Kyoto University

November 18, 2024
Menlu RI Usulkan 3 Langkah Penting untuk Respons Situasi Palestina ke OKI

Menlu RI Usulkan 3 Langkah Penting untuk Respons Situasi Palestina ke OKI

March 8, 2025
Mosquitos, Lotion Antinyamuk dari Jeruk dan Kulit Tuna Karya Mahasiswa USK

Mosquitos, Lotion Antinyamuk dari Jeruk dan Kulit Tuna Karya Mahasiswa USK

October 11, 2024
Yuk. Kenali Ciri Penceramah Radikal

Yuk. Kenali Ciri Penceramah Radikal

March 5, 2022
Seedbacklink
  • Redaksi
  • Kontak Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Kode Etik Jurnalistik
  • Iklan
  • Aset
  • Indeks Artikel

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.

No Result
View All Result
  • Artikel
  • News
  • Biografi
  • Bisnis
  • Entertainment
  • Kesehatan
  • Kuliner
  • Lifestyle
  • Politik
  • Reportase
  • Resensi
  • Penulis
  • Kirim Tulisan

© 2025 PT Sagoe Media Kreasi - DesingnedBy AfkariDigital.