Oleh: Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M. Sc.
Isu royalti musik di Indonesia kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena transparansi distribusinya sudah membaik atau kinerja pengelolaannya semakin profesional, melainkan justru karena polemik baru yang terkesan mengada-ada: wacana penarikan royalti atas pemutaran suara alam, termasuk kicau burung, di kafe atau ruang publik.
Ketua LMKN sebelum ini, Dharma Oratmangun, berargumen bahwa suara alam yang direkam secara komersial merupakan fonogram yang dilindungi Undang-Undang Hak Cipta. Maka, penggunaannya di ruang publik harus membayar royalti kepada produser rekaman tersebut. Secara yuridis, pernyataan ini mungkin sahih. Namun, secara operasional dan prioritas kelembagaan, langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini masalah yang mendesak, ketika urusan royalti lagu dan musik saja belum tertangani dengan baik?
Royalti yang Sederhana: Kunci Kepercayaan Publik
LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dibentuk oleh negara berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Tugasnya jelas: mengelola penarikan dan penyaluran royalti untuk karya cipta musik dan hak terkait secara kolektif di tingkat nasional. LMKN adalah payung koordinasi berbagai LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) yang mewakili para pencipta, komposer, artis, produser, dan pemilik hak.
Dalam konteks ini, kepercayaan publik—terutama para pencipta lagu—adalah modal utama. Kepercayaan itu tidak dibangun dengan memperluas objek royalti ke ranah yang belum jelas basis penerimanya, melainkan dengan memastikan bahwa alur pengutipan dan penyaluran royalti yang sudah jelas dapat berjalan transparan, tepat waktu, dan adil.
Sistem yang sederhana adalah fondasi dari transparansi tersebut. Pencipta lagu ingin tahu:
- Dari mana royalti mereka berasal (sumber pengguna).
- Bagaimana perhitungannya (basis pemutaran, tarif, atau lisensi).
- Kapan uang itu akan mereka terima.
- Berapa biaya administrasi yang dipotong.
Semua ini dapat dijawab dengan membangun sistem pengelolaan royalti yang sederhana namun canggih, memanfaatkan teknologi informasi terkini.
Teknologi Ada, Kemauan yang Ditunggu
Kabar baiknya, teknologi untuk membuat sistem seperti itu sudah tersedia. Sistem manajemen royalti di negara-negara maju menggunakan kombinasi big data, digital fingerprinting, dan analisis berbasis kecerdasan buatan (AI) untuk merekam, melacak, dan menghitung pemutaran karya secara real time.
Misalnya, setiap lagu atau karya audio yang terdaftar dapat diberi tanda pengenal digital (audio fingerprint). Saat lagu itu diputar di kafe, radio, televisi, atau platform daring, sistem otomatis mengenali dan mencatat pemutarannya. Data itu langsung masuk ke pusat database LMKN, kemudian algoritma membagi jumlah royalti sesuai dengan frekuensi pemutaran, nilai lisensi, dan pembagian hak yang sudah terdata.
Hasilnya? Pencipta dapat memantau secara daring berapa kali karyanya digunakan, di mana saja, dan berapa estimasi royalti yang akan diterima. Transparansi ini bukan hanya meningkatkan kepercayaan, tapi juga memotong biaya administrasi yang selama ini membebani.
Ironisnya, di tengah peluang teknologi ini, LMKN justru menyita energi publik dengan membahas pemungutan royalti atas suara alam—objek yang jauh dari prioritas utama, apalagi jika penerima royaltinya sendiri belum jelas.
Prioritas: Menyelesaikan yang Pokok, Bukan Membuka yang Kabur
Memang, secara hukum, suara alam yang direkam dan difiksasi menjadi fonogram termasuk objek hak terkait. Namun, dalam praktik, efektivitas pengelolaan royalti bergantung pada tiga hal: Pertama, kejelasan pemilik hak – siapa yang berhak menerima pembayaran. Kedua, kejelasan pengguna – siapa yang wajib membayar. Dan ketiga, kelayakan biaya administrasi – apakah biaya penarikan dan distribusinya sepadan dengan nilai royalti yang dihasilkan.
Pada kasus suara alam, ketiga hal ini bermasalah. Pertama, daftar produser rekaman suara alam yang menjadi anggota LMK dan berhak menerima royalti belum pernah dipublikasikan secara terbuka. Kedua, jumlah pengguna yang secara signifikan memutar suara alam di ruang publik kemungkinan sangat kecil. Ketiga, biaya untuk mengelola skema ini mungkin lebih besar daripada nilai royaltinya sendiri.
Sebaliknya, di ranah musik dan lagu—yang menjadi mandat pokok LMKN—semua syarat itu terpenuhi. Pencipta, komposer, label, dan produser rekaman musik sudah terdaftar di LMK. Pengguna karya seperti radio, televisi, platform streaming, kafe, dan event organizer mudah diidentifikasi. Nilai royalti yang dihasilkan pun jauh lebih besar.
Maka, secara manajemen prioritas, masuk akal jika LMKN menempatkan 100% fokusnya pada penguatan sistem pengelolaan royalti musik sebelum merambah wilayah-wilayah abu-abu seperti suara alam.
Model Sederhana, Hasil Maksimal
Sebenarnya, desain sistem royalti yang sederhana, efisien, dan efektif tidak rumit. Polanya bisa mengikuti empat langkah berikut:
Membangun Database Terpadu: Semua pencipta, pemegang hak, dan LMK terhubung ke database nasional yang sama. Semua pengguna karya (radio, TV, platform streaming, kafe, hotel, EO) terdata lengkap, termasuk kategori usaha dan tarif lisensi yang berlaku.
Pengutipan Otomatis: Penarikan royalti dilakukan berbasis kontrak lisensi tahunan. Pembayaran dapat dilakukan melalui sistem daring, dengan tanda bukti digital (QR code) yang bisa diverifikasi kapan saja.
Pencatatan Pemutaran Real Time: Menggunakan teknologi audio fingerprinting yang memindai pemutaran lagu di ruang publik. Data otomatis terkirim ke server pusat LMKN, lalu dihitung pembagiannya.
Penyaluran Transparan: Royalti disalurkan secara periodik (misalnya setiap kuartal). Pencipta dapat memantau laporan detail pemutaran dan pembagian melalui portal daring. Biaya administrasi diumumkan secara terbuka.
Dengan model ini, LMKN akan meminimalkan potensi sengketa, meningkatkan kepercayaan musisi, dan mengurangi tudingan bahwa lembaga ini hanya mencari-cari objek pungutan baru.
Belajar dari Negara Lain
Negara seperti Australia melalui APRA AMCOS atau Amerika Serikat melalui ASCAP dan BMI telah membuktikan efektivitas sistem digital terintegrasi. Mereka memadukan pelaporan manual dari pengguna dengan data pemutaran yang dikumpulkan otomatis oleh sensor dan perangkat lunak analitik.
Bahkan untuk acara langsung, teknologi pengenalan audio bisa mencatat lagu-lagu yang dibawakan, sehingga musisi penerima royalti tidak hanya yang tenar di radio, tetapi juga mereka yang karyanya hidup di panggung-panggung kecil.
Indonesia punya potensi untuk mengadopsi sistem serupa. Infrastruktur digital sudah ada, tenaga IT dan AI lokal cukup banyak, dan biaya implementasi tidak sebesar yang dibayangkan jika kemitraan dibuka dengan pihak swasta yang berpengalaman.
Mengembalikan Fokus LMKN
LMKN memikul mandat penting: menjadi jembatan yang adil antara pencipta dan pengguna karya musik. Namun, mandat ini bisa terganggu jika fokus lembaga melenceng ke arah yang kurang prioritas, seperti pemungutan royalti suara alam.
Kritik publik yang menyebut kebijakan ini sebagai “mengada-ada” patut dijadikan cermin. Bukan berarti hukum tentang hak terkait fonogram suara alam salah, tetapi penerapannya harus mempertimbangkan konteks dan prioritas. Fokus pada hal-hal yang berdampak besar terlebih dahulu akan menghasilkan legitimasi dan kepercayaan yang lebih kuat, yang pada akhirnya memudahkan pengembangan skema-skema baru di masa depan.
Teknologi informasi dan kecerdasan buatan menawarkan peluang besar untuk membangun sistem royalti yang transparan, efisien, dan efektif. Yang dibutuhkan LMKN saat ini bukanlah regulasi tambahan yang membebani, tetapi kemauan untuk menyederhanakan alur kerja dan mengutamakan kepentingan para pencipta serta pengguna karya musik.
Dengan langkah yang tepat, LMKN bukan hanya bisa memperbaiki citra dan kepercayaan publik, tetapi juga membuktikan bahwa lembaga ini layak menjadi model pengelolaan hak cipta modern di kawasan Asia. Dan semuanya bisa dimulai dari prinsip sederhana: fokus pada yang jelas, kelola dengan transparan, distribusikan secara adil. []
Penulis adalah dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri – Universitas Syiah Kuala (USK)