Oleh: Sulaiman Tripa
Penulis Buku dan Akademisi USK
Malam ini saya shalat wajib Isya dan shalat sunah Tarawih di Masjid Lampineung. Kata yang baku dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah salat, sementara bentuk tidak bakunya antara lain solat, shalat, atau sholat. Kata salat memiliki arti: (1) rukun Islam kedua, berupa ibadah kepada Allah Swt. yang wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam; (2) doa kepada Allah.
Di masjid ini, jamaah terbagi antara yang melaksanakan shalat Tarawih delapan rakaat dan yang menyempurnakannya hingga 20 rakaat. Setelah shalat Isya, diumumkan bahwa shalat Tarawih akan dimulai dengan delapan rakaat, dilengkapi dengan witir tiga rakaat. Saya melihat bahwa jamaah yang ingin melanjutkan hingga 20 rakaat pun tetap mengikuti witir berjamaah. Mereka kemudian meneruskan shalat hingga genap 20 rakaat setelah witir bagi jamaah delapan rakaat selesai.
Pengalaman seperti ini pernah saya alami saat tinggal di Ajun. Prosesnya sama. Namun, akhir-akhir ini, praktik berbagi seperti yang saya temui di Lampineung mulai jarang terjadi. Memang ada masjid yang khusus mengadakan shalat Tarawih delapan rakaat, tetapi umumnya masjid melaksanakan 20 rakaat. Biasanya, jamaah yang hanya melaksanakan delapan rakaat akan mundur ke belakang setelah empat rakaat pertama. Untuk witir, mereka mengerjakannya masing-masing.
Bagaimanapun, pelaksanaan ibadah selama bulan puasa selalu menghadirkan kebahagiaan bagi yang menjalankannya. Bukankah kita sudah bisa merasakan kebahagiaan itu sejak awal menyambut Ramadhan? Pertanyaannya, bagaimana kebahagiaan itu kita gambarkan? Jika Ramadhan adalah tamu agung yang kita nantikan, tentu kita akan bersiap menyambutnya dengan penuh sukacita. Mereka yang benar-benar menantikan bulan ini pasti telah berdoa berbulan-bulan sebelumnya, berharap dapat kembali bertemu dengan Ramadhan. Layaknya seseorang yang menunggu sesuatu yang amat penting, mereka tidak hanya menunggu, tetapi juga melakukan berbagai persiapan.
Dahulu, apakah orang-orang yang menunggu Ramadhan juga melakukan persiapan-persiapan penting? Seyogianya, jika Ramadhan dianggap penting, maka berbagai persiapan pun dilakukan. Hal ini agar bulan suci lebih bermakna dan semangat ibadah semakin meningkat. Namun, apakah ada orang yang tidak merindukan Ramadhan? Tentu ada. Dalam kehidupan, selalu ada dua pilihan: jalan kebaikan dan jalan sebaliknya. Tidak semua orang memilih jalan kebaikan, meskipun mereka sadar sepenuhnya bahwa jalan yang tidak baik berimplikasi buruk bagi kehidupan mereka.
Seseorang yang menganggap sesuatu penting pasti akan menyiapkannya dengan baik. Kita bisa bercermin dari bagaimana kita bersiap ketika hendak bertemu dengan seseorang yang sangat berarti dalam hidup. Persiapan itu tidak hanya sebatas pakaian, tetapi juga mencakup banyak hal—pengaturan waktu, kendaraan yang digunakan, bahkan wewangian yang akan dikenakan. Apalagi jika yang dinanti jauh lebih penting daripada itu.
Oleh karena itu, sulit dibayangkan jika seseorang yang mengaku menanti tamu agung justru tidak melakukan persiapan yang memadai. Persiapan yang dilakukan mencerminkan seberapa besar perasaan seseorang terhadap apa yang ia tunggu. Kita bisa saja mengatakan bahwa kita rindu, tetapi jika tidak tampak dalam tindakan nyata, apakah itu sepadan dengan perasaan rindu yang kita ungkapkan? Sebaliknya, mereka yang benar-benar mempersiapkan diri tidak perlu banyak bicara—persiapan mereka sendiri sudah menjadi bukti nyata dari kerinduan mereka.
Bagaimana kita mengalokasikan waktu selama bulan suci ini? Jangan sampai kita justru tidak memiliki rencana apa pun. Jangankan mencatat agenda secara ketat, bahkan mengingat saja tidak. Sikap seperti ini sulit digolongkan sebagai bagian dari orang-orang yang merindukan Ramadhan. Berbeda dengan mereka yang benar-benar merindukan bulan suci. Mereka sudah menyusun catatan ketat mengenai apa yang akan dilakukan selama sebulan penuh. Mereka telah menentukan target, menyusun daftar amalan, dan merencanakan agenda kunjungan ke berbagai tempat ibadah. Semua ini membutuhkan energi dan kesungguhan—itulah bentuk persiapan sejati.
Orang yang memiliki rencana jelas dapat selalu mengevaluasi pencapaiannya. Jika ada hal yang belum terwujud, mereka akan mencari tahu penyebabnya agar bisa diperbaiki. Dengan demikian, apa yang telah direncanakan dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Jadi, siapa pun yang mengaku merindukan Ramadhan, hendaknya kita lihat sejauh mana mereka berusaha mengimplementasikan tekad mereka dalam aktivitas nyata. Implementasi itu akan lebih rapi jika disiapkan dengan matang, bukan sekadar harapan di angan-angan. Mereka yang benar-benar mempersiapkan diri tidak perlu mengumumkan kepada semua orang, karena kesiapan mereka sudah cukup menjadi bukti dari kerinduan mereka.
Orang-orang yang beribadah—setidaknya hingga malam ketiga ini—menggambarkan betapa mereka bahagia melaksanakannya. Wallahu A’lamu Bish-Shawaab. []