Oleh: Muhammad Irfan Ilmy.
Mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Agama Islam UPI Bandung, Inisiator Komunitas Sayap Cita.
Kapan virus akan lelah menginfeksi dan wabah bakal berhenti, kita tak benar-benar persis tahu. Per 05 Mei 2021 (06.34 GMT) berdasarkan data di www.worldometers.info, jumlah orang yang telah terinfeksi di dunia mencapai 154.998.238 dengan 3.241.462 meninggal, dan dinyatakan sembuh sebanyak 132.485.040 jiwa. Di Indonesia sendiri, per Selasa, 4 Mei 2021 sudah 1.541.149 dinyatakan pulih, 46.137 meninggal dunia, dan dengan total kasus sebanyak 1.686.373 jiwa (Pikiran-rakyat.com).
Meskipun berdasarkan sejarah dinyatakan bahwa jumlah penduduk dunia yang meninggal akibat Covid-19 masih jauh di bawah dampak dari wabah lain, seperti Justinian Plague (541-750 M) yang diperkirakan merenggut korban meninggal 100 juta jiwa, Black Plague (1346-1350 M) dengan perkiraan korban 50 juta jiwa, Flu Spanyol (1918-1920 M) dengan korban meninggal sekitar 20 juta jiwa, dan Modern Plague (1894-1903 M) yang menelan korban sekitar 10 juta jiwa (Sindonews.com, 2020), kita tidak bisa mengabaikan wabah ini. Apalagi jumlah kasus Covid-19 ini pun masih terus mengalami penambahan.
Sekian angka tersebut bukan butiran kerikil di tepi sungai. Atau daun yang berguguran diterpa angin saban hari. Semuanya nyawa manusia yang tingkat berharganya sungguh amat tak ternilai. Kehilangan 1 nyawa saja menjadi sebuah bencana. Lebih-lebih jika yang berpulang adalah orang-orang dengan tingkat intelektualitas tinggi, berpengaruh dalam masyarakat, dan pada dirinya melekat sederet kualitas unggul lainnya. Kita pastinya akan sangat kehilangan. Butuh waktu lama untuk melahirkan orang dengan kualitas yang mendekati sama. Dalam arti yang sama-sama unggul tadi.
Di bidang pendidikan, kondisi pandemi tak pelak mempercepat pemerataan penggunaan perangkat teknologi dalam pembelajaran. Walau sebelumnya hal ini bukan barang baru bagi sekolah-sekolah dan kampus tertentu, tapi jumlahnya masih lebih sedikit dengan yang belum menggunakannya secara optimal—atau bahkan tidak memanfaatkannya sama sekali. Hari ini, dunia pendidikan kita sudah akrab dengan pembelajaran jarak jauh.
Namun, solusi ini tidak berjalan mulus-mulus saja. Ada sederet masalah yang timbul dari pemberlakuannya dalam kurun waktu lama. Buktinya banyak pihak, baik dari kalangan guru, siswa, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pemerhati pendidikan hingga orang tua siswa yang mendesak pembelajaran tatap muka segera diadakan. Sebut saja problem kejenuhan siswa tiap waktu menatap layar gawai untuk menyimak penuturan gurunya, tugas yang berjubel rawan membuat siswa dilanda tekanan psikologis, siswa kehilangan momen kebersamaan bersama kawan-kawannya di sekolah, dan berbagai persoalan lain yang kian hari terus bertambah saja.
Saya sendiri lebih condong pada kebijakan PJJ melihat potensi ancaman besar manakala sekolah dibuka dengan sistem tatap muka. Tak ada jaminan, meskipun dengan protokol kesehatan yang ketat tak bakal ada yang terjangkiti virus karena terbukti virus ini bekerja sangat lihai. Meski kita berharap hal buruk itu tidak sampai terjadi. Naudzubillah.
Ini hanya sebatas pandangan saya saja dari seseorang yang tidak menjalani peran sebagai guru secara langsung di sekolah. Ada banyak guru yang justru merasa pembelajaran daring kurang efektif, baik dalam hal pemberian materi pembelajaran maupun kaitannya dengan transfer of value melalui interaksi secara langsung—meskipun kalau pembelajaran tatap muka berlangsung, physical distancing masih harus dilakukan. Vaksinasi yang sudah gencar dilakukan adalah satu ikhtiar, dan tetap menjaga jarak tentu hal lain yang juga perlu tetap diteruskan untuk menekan jumlah korban.
Pihak yang menginginkan pembelajaran tatap muka (PTM) segera dilangsungkan mengacu pada kenyataan bahwa pembelajaran jarak jauh (PJJ) meninggalkan banyak sekali persoalan. Salah satu dampak negatif tersebut, hasil capaian belajar siswa amat jauh dari yang diharapkan. Hal ini merupakan akibat dari kurang maksimalnya PJJ.
Sejumlah wilayah sudah dan sedang melaksanakan uji coba PTM. Jakarta, Bogor, Bekasi, Bandung, Solo, Kulonprogo, Magelang, Salatiga, Surabaya, untuk menyebut beberapa kota/ kabupaten yang sudah melakukannya. Ini langkah pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan mendesak dalam bidang pendidikan di tengah situasi wabah yang patut diapresiasi. Dengan pelaksanaan uji coba terbatas ini dapat diperoleh gambaran mengenai efektivitas dan tingkat keamanan PTM.
Dalam situasi darurat seperti sekarang, pengambilan kebijakan tidak boleh gegabah tapi tetap juga secara bersamaan harus dengan segera menuntut langkah cepat. Pemerintah tidak bisa mengabaikan hasil penelitian, dalam hal ini soal keamanan melaksanakan PTM dalam waktu dekat.
Seperti salah satu judul film Warkop DKI, persoalan pendidikan kita hari ini tengah dihadapkan pada, “Maju Kena Mundur Kena.” Dilematis untuk memutuskan tetap dengan kebijakan PJJ atau sesegera mungkin menggelar PTM. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Melakukan secara mix learning antara PJJ dan PTM memang dinilai menjadi pilihan terbaik.
Pemerintah harus membuat juklak dan juknis yang jelas sebagai arahan bagi sekolah agar pelaksanaan PTM tidak malah memunculkan klaster baru sekolah. Ini bagian dari ikhtiar terbaik supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak sampai terjadi. Semua elemen harus terlibat aktif dalam menyukseskan penyelenggaraan pendidikan pada kondisi yang tidak menentu ini. Pemerintah merumuskan kebijakan, sekolah melaksanakan arahan dari pusat, orang tua bekerja sama agar pelaksanaan pembelajaran berjalan sebaik mungkin, dan masyarakat turut mengawasi kalau sekiranya ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
Semoga pandemi segera usai. Kita rindu kehidupan yang normal seperti sebelumnya. Berkumpul bersama melakukan berbagai agenda kebaikan. Meskipun normal sebagaimana hari-hari lalu belum tentu akan kita temui lagi. Walau begitu, kita jangan sampai berputus asa terhadap rahmat Allah Swt. Wa la tai`asu min rawhi Allah (Q.S. Yusuf [12]: 87).