Oleh: Sulaiman Tripa
Penulis Buku dan Akademisi USK
Alhamdulillah. Tahun ini, menyambut Puasa 1446 H, nyaris tidak ada perbedaan. Hari pertama Puasa, jatuh pada 1 Maret 2025. Walau simpulan resmi, agak lama diumumkan —pada saat waktu di wilayah Indonesia Timur, sudah selesai waktu isya. Ada yang berbeda. Ada daerah yang sudah berpuasa sejak hari ini. Sebelumnya, sejumlah pihak memperkirakan berbeda. Organisasi Muhammadiyah, berdasarkan hisab, sudah menetapkan lebih awal perihal 1 Puasa pada 1 Maret. Ada peneliti yang menyebut, dengan hilal, ada kemungkinan berbeda.
Hal penting bukan pada perbedaan. Tidak ada masalah dengan berbeda. Tapi pada batin umat sangat penting untuk bersama. Belajar dari beberapa tahun, perbedaan memang terjadi. Masyarakat sudah terbiasa, walau dalam tataran lain, juga pernah bermasalah. Misalnya mereka yang merayakan hari raya yang berbeda dengan hari yang ditetapkan pemerintah, kerap kesulitan dalam mendapat tempat shalat hari raya dengan layak.
Malam ini, saya menyambut Puasa di Gampong Limpok —gampong kami. Di masjid, saya lihat warga menyambutnya dengan gembira. Masjid lumayan penuh. Mudah-mudahan kondisi ini akan bertahan hingga akhir Puasa —sebagai bulan yang ditunggu-tunggu. Tamu agung yang lebih sempurna dibandingkan 11 bulan hijriah lainnya. Semua bulan penting, dan sepanjang waktu perkembangan kehidupan manusia, memiliki momentumnya masing-masing, namun Puasa menempati momentum paling penting bagi kehidupan manusia.
Bulan ini disambut dengan tangisan kebahagiaan, namun juga digelisahkan sebagian manusia. Orang-orang yang bahagia, sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Orang-orang yang bahagia akan menyambut bulan ini secara bersahaja.
Bayangkanlah seperti orang menaruh bunga yang menerbangkan semerbak di ruang tengah rumahnya. Ia berharap bulan ini mampu dia kuatkan semangat dan aktivitas sewangi bunga yang ditaruh itu.
Orang-orang seperti itu, merasa persiapannya jauh berkekurangan bila dibandingkan dengan kenikmatan yang diperoleh sesudahnya. Ketahuilah, mempersiapkan diri secara sempurna, bahkan ketika seseorang sudah merasa tidak dapat menahan rindui berhari dan berbulan sebelumnya. Menunggu tiba.
Sedangkan orang-orang yang gelisah, menunggu bulan ini dengan sia-sia. Selalu merasa takut tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang yang gelisah, jangan pernah gundah, karena masih ada waktu untuk segera berbalik rasa. Jangan menunggu ketika nanti menjelang apa-apa, kita sudah masuk ke dalamnya, sementara batin kita belum merasakan apa-apa. Ketika pada posisi itu, satu pertanyaan penting yang harus teresap mendalam di benak kita, bahwa masukkah kita pada golongan orang-orang yang dipanggil itu? Tidak semua dipanggil. Berdukalah ketika kita merasa terhalang masuk ke dalamnya. Akan tetapi, sekali lagi, masih ada waktu.
Ketika dipanggil, orang-orang juga memiliki pengecualian. Kondisi khusus yang menyebabkan orang tidak mampu melakukan puasa, tetap ada rumusnya. Lalu apanya yang masih kita anggap berat?
Ada satu hal penting yang menjadi hikmah di balik puasa, yakni pada keseyogiaan orang untuk merasakan apa yang dirasakan orang yang sedang terpaksa dalam lapar. Akan tetapi dunia bukankah selalu menghadirkan pembaruan?
Ketika orang yang menahan lapar 12 hingga 16 jam, dengan dibantu pola konsumsi yang baik, mungkin jauh terasa ringan, dibandingkan dengan mereka yang jangankan untuk mengatur pola konsumsi, kebutuhan untuk konsumsi saja tidak ada. Semangatnya tetap merasakan sehati dengan orang lapar, walau dengan pola konsumsi, banyak orang yang tidak merasa apa-apa sepanjang 12 hingga 16 jam tersebut. Saya membayangkan derita yang dirasakan Palestina, yang diperangi Israel tiada habisnya. Memerangi sipil —bahkan anak-anak dan wanita— dengan membabi buta. Puasa, barangkali menjadi salah satu momentum merasakan berbagai derita.
Terlepas bagaimana terasa sesungguhnya, tetapi ini soal keseyogiaan merasa, agar orang pandai merasa kondisi orang yang tak berpunya, bukan merasa pandai. Orang yang pandai merasa, akan memahami betapa orang miskin itu tidak sepatutnya dijadikan alat, sebagaimana dipermainkan oleh orang-orang yang merasa pandai. Orang pandai merasa, tahu bahwa lapar tak saja soal ketiadaan makanan, namun juga keberpihakan. Keberadaan mereka tak semata karena kemampuan dirinya, melainkan turut ditentukan oleh orang-orang yang disekelilingnya. Orang pandai merasa tahu, bahwa lapar itu, jika banyak orang ikhlas menyelesaikannya, maka tidak butuh waktu lama ia akan tuntas.
Kenyataannya tidak. Orang-orang yang merasa pandai, hanya menjadikan orang lapar bagi pencapaian sesuatu yang lebih besar. Mereka yang lapar tetap sebagai atas nama yang dibawa kemana-mana. Mereka ditaruh dalam amplop, dijilid rapi, lalu disorong ke sana ke mari.
Untuk masuk ke dalamnya, kita memang harus banyak berbenah untuk merasakan lahir dan batin orang lapar secara sesungguhnya. Wallahu A’lamu Bish-Shawaab. []