Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry, Banda Aceh.
Istilah “prang hana, damee pih tan” dimunculkan oleh Roger Mac Ginty dalam tulisannya yang berjudul “No war, now peace: Why so many peace processes fail to deliver peace?” Tulisan Ginty dimuat di jurnal International Politics, 2010.
Ginty mengamati, banyak daerah paska perjanjian damai mengalami situasi yang ia sebut “prang hana, damee pih tan.” Situasi ini menggambarkan, meski perang telah usai, senjata telah dimusnahkan, bantuan telah dibagikan, LSM dan pekerja asing telah angkat koper balik ke negara asal, kombatan telah menjadi elit baru, tapi akar konflik belum benar-benar hilang.
Masyarakat masih hidup dalam suasana kesusahan ekonomi dan kemiskinan akut. Pembangunan berjalan sangat lamban. Peluang kerja terbatas. Pengangguran dimana-mana. Penegakan hukum lemah. Di sisi lain, praktek korupsi semakin menggurita, kualitas infrastruktur yang dibangun keropos.
Politisi yang lahir di era damai setali tiga uang dengan politisi era konflik. Mereka hanya pandai memberi harapan palsu setelah menyuap rakyat dengan uang receh pada saat pemilu. Setelah itu mereka duduk manis di kursi empuk parlemen sambil menikmati fasilitas negara.
Demokrasi hanya sekedar slogan dan rutinitas belaka. Tidak ada perubahan bermakna setelah damai disepakati. Pada saat yang sama, tidak ada pula letupan senjata seperti dulu, kala konflik.
Situasi tersebut menurut Ginty sebenarnya rawan, meski di atas permukaan kelihatan baik-baik saja. Ginty tentu tidak sedang berusaha menakut-nakuti. Menurutnya beberapa studi menunjukkan, daerah yang pernah mengalami konflik, biasanya memiliki resiko lebih besar untuk kambuh kembali.
Sama seperti orang sakit, jika pernah punya sejarah sakit, misal asam lambung, maka peluang kembali kambuh lebih besar dibandingkan orang yang belum pernah sakit sama sekali.
Ginty, dalam tulisannya menyebut beberapa contoh kasus daerah yang pernah mengalami suasana ”prang hana, damee pih tan,” seperti Kosovo, Lebanon, Irlandia Utara, dan Sri Lanka.
Semasa masih menjadi provinsi di bawah kekuasaan Serbia, Kosovo sempat selama empat tahun merasakan suasana ”prang hana, damee pih tan.” Namun, disebabkan satu insiden kecil tenggelamnya tiga anak di sungai Ibar dekat kota Mitrovica tahun 2004, perang SARA di Kosovo kembali pecah.
Waktu itu rumor dengan cepat menyebar, menuding anak-anak itu tenggelam karena ketakutan dikejar orang-orang dari etnik Serbia. Setelah itu, etnik Albania langsung menyerang minoritas Serbia. Dua hari setelah peristiwa tersebut, dilaporkan terjadi 33 insiden kerusuhan yang menyebabkan 550 rumah rusak, 27 gereja dibakar, 1000 orang terluka, 9 meninggal dunia dan 4100 orang harus mengungsi ke lokasi yang lebih aman.
Hasil investigasi PBB tidak menemukan bukti keterlibatan etnik Serbia dalam kasus tenggelamnya anak-anak etnik Albania. Kesimpulan PBB, kasus tersebut murni kecelakaan tunggal.
Peristiwa tersebut menurut Ginty menunjukkan bahwa perdamaian di Kosovo pada saat itu masih sangat rapuh, meski PBB sempat berkantor disana selama empat tahun dalam rangka mengawal proses transisi.
Tidak hanya itu, sebelum PBB angkat koper dari Kosovo, semua tahapan proses damai telah dilakukan, mulai dari perjanjian damai, pelucutan dan pemusnahan senjata, pengembalian tentara ke barak, pengadilan pelaku kejahatan perang dan pemilihan umum.
Contoh lain yang disebut Ginty dalam tulisannya adalah Lebanon.
Rekonstruksi paska perang di Lebanon diacungi jempol oleh banyak pihak. Paska perjanjian damai Ta’if 1989, Lebanon berhasil membentuk parlemen baru melalui proses demokrasi yang di dalamnya berisi para pihak yang dulunya saling bermusuhan. Proses power sharing ini dianggap sebagai salah satu contoh terbaik penyelesaian konflik sektarian.
Namun setelah beberapa tahun Lebanon hidup dalam suasan “prang hana, damee pih tan,”tiba-tiba kedaulatan Lebanon diganggu oleh hadirnya tentara Syiria dan invasi Israel ke wilayah berdaulat Lebanon.
Sementara itu, kemampuan Lebanon mempertahankan wilayahnya lemah karena beberapa persoalan domestik mulai muncuk, seperti ketimpangan distribusi ekonomi, korupsi dan buruknya kualitas pelayanan publik. Akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap elit politik menurun yang berujung pada munculnya gelombang demontrasi jalanan.
Mengapa kebanyakan proses damai di beberapa daerah gagal menghasilkan perdamaian yang sebenarnya atau bahkan ambruk kedalam konflik lama? Menurut Ginty karena pendekatan damai yang dipakai seringkali datang dari luar, dari negara atau lembaga kuat seperti PBB, NATO, Uni Eropa, Amerika dan Norwegia.
Model pendekatan yang dipakai acapkali formal, tidak fleksibel, ekslusif dan elitis. Kasus penyelesaian konflik etnik di Kosovo (sebelum Kosovo independen) misalnya hanya melibatkan beberapa elit dari pihak bertikai. Setelah melakukan perundingan damai beberapa putaran, pihak bertikai yang difasilitasi oleh pihak ketiga menandatangani nota kesepakatan yang didalamnya berisi tahapan proses damai seperti pelucutan dan pemusnahan senjata, penarikan tentara ke barak, penyaluran bantuan, dan pelaksanaan pemilu.
Setelah pesta demokrasi digelar, pemimpin baru terpilih, konflik seakan-akan telah usai. Padahal menurut Ginty yang terjadi hanyalah proses pergantian elit politik, sementara perilaku aktor konflik tidak berubah, akar konflik tidak tercabut.
Elit politik baru yang mengisi kekuasaan paska damai tetap dengan perilaku lamanya, memburu kekuasaan, mengumpulkan pundi-pundi uang dan hidup dalam kemewahan. Sementara nasib korban terabaikan, masyarakat terpuruk dalam kemiskinan.
Strategi keluar dari masalah kemiskinan tidak pernah dipikirkan secara serius. Begitu pula strategi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan tersedianya lapangan pekerjaan tidak pernah dibahas secara mendalam di parlemen maupun di pemerintah.
Sikap anti korupsi dan pemerasan hanya menjadi slogan, sementara cara menanganinya tidak benar-benar dirumuskan dan diimplementasikan di lapangan. Luka lama, kekerasan dan penderitaan yang dialami korban konflik tidak lagi menjadi tema penting untuk diperjuangkan karena tujuan mendapatkan kekuasaan telah tercapai.
Menurut Ginty, kondisi Kosovo dipermukaan waktu itu kelihatan memang seperti baik-baik saja (damai), tapi di dalam sebenarnya keropos (berpotensi konflik). Ini dibuktikan dari kasus tenggelamnya tiga anak kecil ke sungai yang kemudian memicu kekerasan baru antara etnik Albania dan Serbia.
Ginty, dalam tulisannya memang tidak memasukkan Aceh sebagai salah satu contoh daerah dengan situasi “prang hana, damee pih tan”. Tapi kita semua dapat merasakan suasana ”prang hana, damee pih tan” saat ini di Aceh.[]