Oleh: Dr. Fahmi Abduh Dahlan.
Analis & Praktisi Kebijakan Publik.
Persoalan isu tingkat kualitas layanan perbankan bergulir deras saat ini dalam ruang diskusi publik Aceh. Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kejadian tersebut, yaitu:
Faktor Regulasi lokal dan Strategi Roadmap Perbankan Syariah Nasional.
(1) Implementasi Qanun No. 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dalam tataran pelaksanaan mengacu kepada Pasal 65 tentang Ketentuan Peralihan.
(2) Integrasi system dari beberapa Bank Syariah Nasional menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Menurut, Direktur Utama BSI Hery Gunardi “integrasi ini direncanakan selesai di penghujung bulan Oktober 2021, sehingga BSI akan memiliki 1.365 cabang di seluruh Indonesia”.
(baca : https://keuangan.kontan.co.id/news/merger-rampung-begini-strategi-bank-syariah-indonesia-di-tahun-2021).
Mengacu kepada 2 point di atas, dalam aspek perencanaan kebijakan Publik Islami ada beberapa hal sangat penting yang tidak menjadi perhatian khusus oleh Para Perumus Qanun dalam menimbang prinsip mengutamakan kemaslahatan dibandingkan dengan kemudharatan, terutama terkait pasal 65 yang menjadi kunci proses titik awal tataran implementasi produk hukum tersebut yang memberi waktu 3 tahun dikaitkan dengan kondisi di lapangan yang dihadapi oleh masyarakat.
Beberapa catatan penting tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Persoalan pertama, strategi roadmap perbankan nasional terkait skenario merger Bank Syariah Nasional belum terintegrasi dengan roadmap strategi Qanun LKS yang dituangkan dalam pasal 65 tersebut. Padahal isue merger Bank Syariah telah bergulir sebelumnya. Issue ini menjadi penting untuk masuk dalam proyeksi hitungan tim perumus dalam kerangka untuk mencari formulasi kerangka waktu masa transisi dan proses antisipasi terkait kesiapan sistem sebelum diputuskan Bank-bank konvensional yang memiliki jaringan infrastruktur secara nasional lebih optimal tidak boleh beroperasi lagi di Aceh sesuai amanat pasal 65. Terlihat, dampak proses integrasi Bank Syariah di level nasional luput dari hitungan Tim Perumus Qanun yang mengakibatkan kejadiaan di lapangan saat ini. Dalam kondisi ini, keberadaan Bank besar dengan jaringan infrastruktur prima relatif masih diperlukan sebagai alternatif pendukung.
(2) Persoalan kedua, terkait dengan pertimbangan teknis lain yang belum cukup matang dalam tataran implementasi seperti, kesiapan modal, infrastruktur, ketersediaan kapasitas SDM dan hal-hal lain sesuai kajian kelayakan utk output pelayanan yang berkualitas.
(3) Persoalan ketiga, strategi yang tidak dilengkapi skenario PLAN B. Jika sudah diperkirakan proses migrasi dan penyesuaian system menuju kondisi optimal tidak semudah membalik telapak tangan, perlu proses yang membutuhkan biaya dan waktu menuju kondisi “level of service” yang optimal, mengapa Opsi Konversi Total yang dipilih?
Sebaliknya, Jika belum ada perkiraan dampak yang timbul sama sekali (dibaca: uncertainty factor) oleh tim perumus, mengapa Bukan Opsi Spin-Off yang dipilih untuk menghindari ketidaksiapan sistem?
Jika persoalan (1), (2) dan (3) dipahami dengan baik, seharusnya Qanun LKS harus mempersiapkan “exit strategi” untuk meresponse kemungkinan pelbagai persoalan layanan perbankan sebagai dampak dari implementasi Qanun LKS tersebut. Memperpanjang masa transisi adalah salah satu “Exit Strategy” yang paling minim risiko untuk menyikapi kemungkinan persoalan dalam proses pematangan kesiapan sistem yang optimal.
Masyarakat harus diberikan pilihan yang Maslahah, bukan untuk mendapatkan bunga dari Bank Konvensional, tapi untuk memastikan bahwa layanan perbankan masih dapat mereka terima di masa transisi sebelum “kondisi layanan Bank Syariah berproses menuju ke level of service yang optimal karena investasi untuk membangun system membutuhkan biaya besar dan hitungan kerangka waktu tertentu. Dalam konteks ini, Bank Syariah harus diberikan waktu untuk berproses yang kemudian harus menjadi catatan penting yang harus digarisbawahi dalam Pasal 65 sebagai rencana kerangka waktu di masa transisi.
Integrasi Prinsip Syariah dalam Kebijakan Publik Islami
Argumentasi menyelematkan masyarakat Aceh dari “spirit ribawi” dari kondisi kejadian yang terjadi di lapangan masih perlu menjadi catatan dan dilihat lebih jernih dan dalam terkait proses formulasi kebijakan publik yang mengacu kepada nilai-nilai Syariah yang esensi realitasnya dapat dirasakan.
Dari berbagai pengalaman, masyarakat masih belum bisa merasakan nilai-nilai Syariah hadir dalam produk layanan perbankan Islami saat ini karena “financial product outcome” dirasakan bebannya relatif sama dengan sistem konvensional atau lebih memberatkan yang harus ditanggung sepenuhnya oleh pengguna layanan perbankan. Tafsir pandangan bahwa produk layanan tersebut telah sesuai dengan prinsip/nilai-nilai Syariah masih sebatas bersandarkan kepada “akad transaksi”.
Lebih jauh, Bank Syariah belum berani keluar dari mekanisme “kerja konvensional” terkait dengan pertimbangan faktor risiko untuk menghadirkan realitas nilai keadilan yang lebih nyata di tengah masyarakat sebagaimana filosofi dan tujuan sebenarnya dari Maqashid Sharia. Diperlukan kesiapan SDM yang mumpuni dan faktor lain untuk bisa berinovasi terkait dengan hal itu (lihat Case : Grameen Bank, Muhammad Yunus ) dan tentu perlu waktu dan proses menuju ke arah sana.
Dalam aspek tataran implementasi strategi kebijakan Publik Islami, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan.(1) Strategi dalam proses Implementasi (the way to reach objectives) memiliki kontribusi signifikan, selain, faktor lain, seperti (2) visi (vision), (3) kondisi faktual (context), dan (4) regulasi (regulation) itu sendiri (Tariq Ramadhan, Maqashid Sharia).
Dalam konteks Aceh, ada beberapa issue/faktor yang dapat menjadi pertimbangan terkait pendekatan Formulasi Kebijakan Publik berbasis “Evidence”.
Pertama, pertimbangan kondisi faktual terkait (kesiapan sistem Infrastruktur dan SDM perbankan) menjadi titik krusial dalam melihat dan mengevaluasi apakah skenario strategi yang dituangkan dalam sebuah regulasi dapat berjalan sesuai rencana ataukah tidak. Kesiapan Sistem dan SDM akan memastikan nilai-nilai/prinsip Syariah e.g. memudahkan, tidak memberatkan dengan tingkat layanan optimal dapat dihadirkan dengan baik kepada nasabah/konsumen.
Kedua, Pilihan Strategi (e.g. Spin-off atau Konversi Total) terkait perumusan Pasal 65 Qanun LKS menjadi titik penting dalam melihat kondisi persoalan saat ini. Dengan pendekatan skenario Spin-Off, Bank Syariah dipersiapkan untuk berkembang dan diberikan waktu mengembangkan kesiapan kualitas layanan perbankannya untuk mencapai tingkat pelayanan yang relatif sama dengan dengan Bank-bank sebelumnya. Di saat yang sama, Pemerintah Aceh melalui Dinas Syariat Islam terus mempromosikan Bank Syariah sesuai tingkat pelayanan Islami yang diberikan untuk meningkatkan jumlah nasabah Syariah secara bertahap melalui berbagai skenario insentif.
Dalam strategi ini, bank konvensional juga diberikan kesempatan untuk mendorong perkembangan Unit Usaha Syariah atau alternatif lainnya (baca : Fatwa MUI terkait Kewajiban Spin-off Bank Syariah 2023), termasuk transfer knowledge dan teknologi terkait sesuai prinsip-prinsip/nilai-nilai syariah Syariah. (e.g. tingkat layanan berkualitas).
Lebih jauh,melalui skenario ini, Pemerintah Aceh bersama pihak perbankan, kampus, pengusaha dan pemangku kepentingan lainnya harus berjibaku untuk medorong kesiapan, permodalan, pengembangan infrastruktur dan SDM yang dilaksanakan secara bertahap secara terukur sesuai roadmap yang jelas menuju proses konversi total sambil menunggu readiness kriteria operasional Bank Syariah berproses secara bertahap untuk menghadirkan produk layanan perbankan yang Rahmatan lil’alamin.
Namun demikian, faktanya Pemerintah Aceh telah memilih strategi Konversi Total. Ada satu hal penting yang dilupakan oleh Tim perumus Qanun LKS dalam mencermati Pasal 65 Qanun LKS tersebut, yaitu kesiapan sistem untuk menghadirkan layanan berkualitas dalam proses implementasi.
Hal ini terbaca dalam ketentuan peralihan Qanun LKS. Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 65 tidak ada klausul pasal yang menyatakan akan mengambil alih tanggung jawab segala dampak langsung terkait layanan perbankan sebagai akibat dari diberlakukan Qanun LKS tersebut dengan skema pemberian kompensasi/insentif yang dapat meringankan dampak negatif yang diterima oleh nasabah.
Padahal, di sisi lain, sebenarnya Bank Syariah mendapatkan “benefit” yang signifikan dari nasabah baru sebagai akibat dari diimplementasikannya strategi konversi total tersebut. Seharusnya dalam tataran pelaksanaan, pihak Bank Syariah membebaskan seluruh biaya layanan sebagai akibat dari proses konversi total tersebut sebagai salah bentuk kepatuhan kepada prinsip Syariah yang melindungi hak-hak nasabah dan memberikan pelayanan paripurna.
Bagaimanapun, esensi sesungguhnya dari layanan perbankan sesuai prinsip/nilai-nilai Syariah bertujuan untuk menghadirkan layanan perbankan paripurna, berkeadilan, dan memberikan perlindungan maksimal kepada nasabah. Sepatutnya, dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat harus dicarikan solusinya mengacu kepada standar pelayanan yang berkualitas sesuai tuntunan Syariat.
Akhirul kalam, di bulan Ramadhan yang mulia ini, mari kita merenung kembali terkait dengan ikhtiar kita bersama untuk mencari strategi terbaik dalam rangka mengintegrasikan prinsip-prinsip Syariah dalam Kebijakan Publik. Jangan dilupakan, mengutamakan kemaslahatan adalah prinsip utama dalam perumusan kebijakan Publik Islami.[]