Oleh: Juanda Djamal
Ketua Fraksi Partai Aceh DPRK Aceh Besar (2019-2024).
Minggu, 26 Desember 2004, adalah hari ujian Allah atas rakyat Aceh, gempa dan tsunami. Diperkirakan 250.000 jiwa rakyat Aceh pulang kerahmatullah “Innalillahiwainna ilaihi rajiun”. Setiap yang bernyawa, maka wajib menghadapi yang namanya maut.
Namun demikian, gempa dan tsunami, memiliki rahasia dibaliknya. Allah berikan ujian maka memberikan hikmah kepada umatnya. Maka setiap kita dapat mengambil hikmah atas sebuah peristiwa. Hikmah tersebut bukan hanya bagi umat manusia yang ada di Aceh, namun Indonesia dan bahkan seluruh penduduk bumi yang masih Allah berikan kehidupan setelah bencana.
Hari ini, Sabtu, 26 Desember 2020, rakyat Aceh memperingati tsnami yang ke-16 kali. Sudahkah kita mengambil hikmah dan memperbaiki diri kita untuk menjadi lebih baik, tentunya jawaban dapat dilakukan oleh masing-masing kita. Setiap kita memiliki jawabannya, dan setiap kita memiliki resolusi sendiri untuk terus menjalani kehidupan. Kata kuncinya “ambillah pembelajaran atas gempa dan tsunami 26 Desember 2004”.
Saya dan kita di Aceh menjadi bagian dari jutaan rakyat Aceh yang masih Allah berikan kesempatan untuk bernafas dan menjalani kehidupan setelah bencana gempa dan tsunami, serta konflik dan perdamaian. Terus terang kami sampaikan, saya sebelumnya masih awam atas tsunami sehingga setelah gempa dipagi minggu tersebut, bukannya menyelamatkan diri ke daerah perbukitan atau daratan yang lebih tinggi. Tapi sebaliknya bersama sahabat karib Koko Hariatna alias Embonk, pergi keliling kota Kutaraja (Kota Banda Aceh) untuk melihat gedung-gedung yang runtuh.
Beberapa kawan seperti Bang Chik (korban tsunami) yang memanggil dipinggir jalan rumahnya, hanya kami angkat tangan sebagai isyarat bahwa kami tidak bisa berhenti. Kami harus terus berjalan karena mau lihat gedung yang runtuh dan bisa membantu warga yang menjadi korban karena keruntuhan itu.
Maklum, saat itu saya adalah aktif di People Crisis centre (PCC) yang dibentuk oleh Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) sebagai sayap kemanusiaan. Kami bekerja membantu para korban konflik, melakukan investigasi kekerasan, dan bahkan mengkampanyekan pelanggaran HAM.
Kantor PCC berdekatan dengan pintu air Lampaseh Kota Banda Aceh. Kawasan padat penduduk dan paling sudut kota Kutaraja. Harapannya jauh dari pantauan para informan republik. Namun tetap saja lokasi tersebut tidak lepas dari pantauan mereka, ada cerita menantang atas situasi ini ketika itu, karena di era revolusi dan Aceh dalam status Darurat Militer/Sipil.
Mungkin Allah menempatkan kami berdua pada posisi yang masih mungkin bagi kami mencarikan tempat aman, kami tepat berada di depan Toko Serikat Jalan Ahmad Dahlan.
Saat itu kami melihat orang berlari. Kami bertanya, “ada apa”, salah satunya menjawab, “ air laut naik”. Kami menjawab lagi, ”tidak mungkin air laut bisa sampai ke sini”.
Namun begitu saya melihat ke sudut Bank BNI. Air laut memang sudah mencapai lantai dua pertokoan seberang BNI. Lantas, Embonk menarik tangan saya, mengajak untuk mencari tempat aman. Kami menunggang kuda besi dan melampaui ramainya warga kota yang juga terus berlari. Seraya meminta tolong dan berzikir, memanggil nama Allah, dan beriighfar.
Kami berdua terjebak dalam lidah tsunami yang melumat setiap warga yang sedang berlari ditengah Blang Padang Arafah. Sehingga Embonk memutuskan untuk berhenti dan memanjat pohon asam yang ada didepan rumah dinas DPRA. Sedangkan saya masih panik dan kaki kaku tidak bisa melangkah maupun perintah untuk memanjat pohon asam.
Lidah tsunami sudah mulai sampai dikaki, namun ada seseorang yang menarik tangan mengajak untuk lari kedalam komplek perumahan pertamina, saya ikuti langkahnya dan malangnya ketika dalam komplek. Saya melihat tembok pagar yang menjulang.
Seakan ada yang membisik, saya mesti memanjatnya. Alhamdulilah ada sebatang pohon mangga yang masih kecil, sambil berlari dan melangkah didahannya seraya melompat (seolah terbang) ke atas tembok. Begitu diatas tembok, tembok dihantam oleh arus deras tsunami sehingga terpelanting keseberang jalan dibelakang Hotel Kuala Tripa. Lalu memanjat ke gardu tiang listrik.
Alhamdulillah. Allah masih memberikan keselamatan sampai 16 tahun peringatan tsunami hari ini.
Hikmah dan pembelajaran atas tsunami
Penulis mengambil himah dibalik, gempa dan tsunami. Salah satunya bencana ini menjadi katalis terhadap berakhirnya perjuangan bersenjata yang dilakukan rakyat Aceh. Sejak 26 Maret 1873, Belanda mengumumkan perang dengan Aceh, rakyat Aceh masih terus berjuang mempertahankan identitas, wilayah, harga diri, harkat dan martabat, kedaulatan, keadilan dan kemerdekaan. Tanggal 26 Desember 2004, ada hari dimana berakhirnya perjuangan bersenjata. Sehingga Aceh menandatangani perdamaian pada 15 Agustus 2005 di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Republik Indonesia.
Perjanjian Helsinki dilanjutkan dengan pengesahan UU No.11/2006 tentang penyelenggaraan pemerintahan Aceh pada 1 Agustus 2006. UU tersebut menjadi “konstitusi” Aceh dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Inilah salah satu kearahasiaan yang Allah nampakkan pada rakyat Aceh, selanjutnya kita masih dihadapkan dengan tantangan baru. Yaitu meneruskan perjuangan rakjyat Aceh secara politik dan diplomasi, tadinya kita perlu senjata bedil dalam berjuang, maka sekarang kita perlu diplomat-diplomat dan politisi-politisi cerdik yang dapat mengkerangkakan perjuangan politik dalam “Aceh National Interest” dan tidak terjebak dalam kekuasaan, harta, tahta dan wanita yang dapat menjerumuskan mereka dalam jurang penistaan rakyatnya. Lawan politik juga sedang menjalankan kepentingannya, melalaikan kita, dan menjerumuskan individu-individu dalam buaian dan belaian, tanpa kita sadari. Maka, bacalah hikmah dan kerahasiaan Allah atas tsunami dan damai agar kita selamat dan terus menjalankan misi mulia, keadilan, kemandirian, kemerdekaan dan kemakmuran.
Semestinya, damai itu menjadi kesempatan bagi rakyat Aceh untuk menarik nafasnya sejenak, menyusun langkah baru perjuangan, menyiapkan Sumber Daya manusia (SDM) agar mampu mengolah dan mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya itu.
Sejak kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, Kerajaan Aceh Darussalam (742 tahun), setiap generasi itu memiliki cita-cita, dan tentunya generasi perjuangan yang dimulai 1873 sampai 2005 juga memiliki cita-cita, dan generasi baru Aceh (2005-2020) dan seterusnya pasti memiliki cita-cita mengembalikan kedaulatan dan kegemilangan Aceh. Namun demikian, legalitas kita hari adalah UU No.11/2006, maka pergunakanlah secara optimal legalitas ini untuk menyusun kembali langkah politik perjuangan Aceh, jadikan UU tersebut sebagai titik tolak kenangkitan kembali Aceh menuju kemajuan, kemakmuran dan menempatkan rakyat Aceh untuk kembali berinteraksi dengan bangsa dan budaya dunia.
Inilah tantangan penulis dan seluruh generasi baru Aceh, membaca dan menjalankan rahasia Allah dibalik gempa dan tsunami.[]