Masyarakat Aceh memiliki ungkapan untuk menggambarkan kepahitan. Watee di laot sapeue pakat, watee di darat laen keunira (Saat di laut bisa satu janji atau kesepakatan, namun saat sudah di darat bisa lain kesimpulan).
Ungkapan ini ingin menggambarkan bahwa orang-orang yang mengingkari janji dengan mudah, adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan. Orang yang berjanji, terutama ketika ada keperluan dan kepentingan, dengan mudah akan berbalik arah saat semua kepentingannya sudah selesai.
Orang-orang yang membutuhkan uang untuk menyelesaikan problemnya, akan datang kepada orang lain secara bersahaja. Ketika semua urusan sudah diselesaikan, orang yang pernah membantu, tidak saja dilupakan begitu saja, bahkan sering justru diserang dengan berbagai senjata.
Betapa banyak orang yang sudah dimodali untuk menyelesaikan urusan kebutuhan dalam hidup, berganti dengan saling rebut. Orang-orang yang sudah mendapat tempat, ingin orang-orang yang sudah mengangkatnya, justru terbenam dalam lumpur berbau dan dalam.
Kata orang Aceh, lagee ta peuteungoh lumo lam mon. Seperti kita naikkan sapi dari dalam sumur. Orang-orang yang membantu sapi, berpotensi untuk digeruduk.
Itulah kehidupan yang digambarkan oleh orang tua kita. Betapa tajam mereka meneropong, yang bahkan ketika ungkapan itu diulang-ulang sekarang, seolah ungkapan itu baru lahir dalam waktu akhir-akhir.
Ungkapan itu seperti kisah raket bak pisang. Sebenarnya rakit itu bisa dibuat dari apa saja, asal bisa terapung. Di sungai depan rumah saya di kampung, kami terbiasa melihat orang-orang pucuk sungai membawa seberkas bambu ke muara. Bambu itu akan dipergunakan untuk kepentingan nelayan di pinggir laut. Sesekali kalau lewat, kami berinisiatif minta tumpangan.
Orang-orang yang kreatif akan menjadikan sarana sungai untuk membawa pulang berbagai barang yang bisa terapung. Bisa disusun dari buluh, bambu, atau kayu. Buluh yang diperuntukkan untuk membuat lemang, terutama saat musim panen tiba, juga diikat dan dibawa lewat sungai.
Rakit itu, pokoknya semua yang bisa membuat sesuatu itu menjadi terapung. Ia mempermudah urusan manusia, terutama barang-barang yang dibawa dari atas ke bawah. Namun semua barang itu, pada akhirnya akan digunakan untuk kepentingan lainnya. Bambu akan dipakai di tempat khusus.
Ada jenis lain yang tidak dipergunakan, ia akan dibuang ketika kepentingan manusia selesai. Salah satu yang dipakai adalah batang pisang. Jenis ini, tidak dipakai selamanya. Jenis pohon pisang, hanya digunakan sekali atau dua kali saja.
Biasanya manusia terbantu dengan adanya pohon pisang, tetapi dari awal disadari, pohon pisang hanya akan digunakan sebatas kepentingan tertentu saja. Membawa orang dari satu genangan air, digunakan raket bak pisang, setelah itu, rakit itu ditinggalkan di situ saja.
Masih mending ia tidak diapa-apakan. Kebanyakan orang justru membuang jauh-jauh rakit yang membantu urusannya itu. Kalau kebetulan saat itu sedang banjir, ketika selesai dipakai, manusia akan menganyutkannya entah kemana. Begitulah manusia. Mungkin mentalitas sebagian manusia. Demikian.