SAGOE | BANDA ACEH – Seratusan seniman dan budayawan, serta puluhan organisasi seni dan kebudayaan di Aceh menyatakan penolakan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh Tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 yang diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Forum SUKAT (Suara untuk Kebudayaan Aceh yang Terarah) yang mewakili para seniman dan budayawan, menegaskan bahwa rancangan qanun tersebut tidak mencerminkan akar masalah kebudayaan yang dihadapi Aceh saat ini.
“Qanun ini disusun tanpa partisipasi yang bermakna, dan proses penjaringan aspirasi dilakukan secara tertutup. Hasilnya, sangat buruk,” ujar Yulfan, juru bicara SUKAT, dalam siaran pers, Jumat (4/10/2024).
SUKAT mengungkapkan bahwa setelah melakukan evaluasi mendalam terhadap Raqan tersebut, baik dari aspek vertikal (membandingkan dengan peraturan lebih tinggi dan lebih rendah) maupun horizontal (membandingkan dengan peraturan setingkat), mereka menemukan adanya tumpang tindih dengan regulasi lain yang sudah ada. “Jika dibiarkan, Raqan ini akan memicu konflik regulasi, baik secara vertikal maupun horizontal,” kata Yulfan.
Menurutnya, rancangan qanun ini membuka peluang terjadinya disfungsi hukum, maladministrasi, dan dominasi oleh dinas tertentu yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik. Yulfan juga menyoroti bahwa tim perumus Raqan Aceh 2024 tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai definisi operasional dalam penyusunan qanun. “Ini adalah keterampilan mendasar dalam penyusunan sebuah qanun, yang tidak boleh diabaikan,” tegasnya.
Yulfan memperingatkan bahwa jika DPR Aceh dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membiarkan Raqan ini lolos tanpa evaluasi mendalam, maka akan muncul potensi ketimpangan dan kerusakan lebih lanjut terhadap kebudayaan dan ekosistem kebudayaan di Aceh. “Ekosistem seni dan budaya di Aceh memang sedang dalam keadaan sekarat. Namun, membiarkan raqan ini lolos hanya akan memperburuk situasi,” katanya.
Dari segi substansi, SUKAT menilai Raqan Pemajuan Kebudayaan Aceh 2024 sangat berbahaya. Sebagai contoh, Raqan tersebut tidak memperhitungkan warisan budaya sebagai bagian integral dari alam dan mengabaikan perspektif ekologis dalam upaya pemajuan kebudayaan. Selain itu, terdapat ketidakjelasan dalam pembagian wewenang antara Badan Pemajuan Kebudayaan dan Dinas Kebudayaan terkait tata kelola cagar budaya. “Ini bisa membuka peluang untuk penggelapan aset cagar budaya,” ungkap Koordinator SUKAT, Tungang Iskandar.
SUKAT meminta agar DPR Aceh dan Kemendagri mengembalikan Raqan tersebut kepada Disbudpar Aceh untuk diperbaiki sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik, keadilan, dan inklusivitas.
Alasan lain di balik penolakan SUKAT adalah karena Raqan ini dinilai tidak berpihak pada ekosistem dan sumber daya kebudayaan Aceh. “Qanun ini tidak disusun untuk kemajuan dan kepentingan kami. Tetapi lebih menguntungkan pelaku bisnis,” kata Tungang. Dia juga menyebutkan bahwa Raqan ini berpotensi mengarah pada pemborosan anggaran.
Dijelaskan, Rancangan Qanun Aceh tentang Pemajuan Kebudayaan Aceh Tahun 2024 merupakan turunan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, yang diinisiasi oleh Banleg DPRA Periode 2019–2024 dan Pemerintah Aceh. []