Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Sepanjang waktu, dalam hidup manusia, sadar atau tidak, selalu bermuatan simbol-simbol. Hal yang kita lakukan saat berinteraksi dengan orang lain, tidak lepas dari berbagai simbol. Sejumlah konsensus dalam masyarakat, juga berwujud pada simbol-simbol. Orang luar tidak selalu paham apa yang terjadi dalam masyarakat tertentu. Termasuk sebagian “orang dalam”, bisa jadi merasakan hal yang sama.
Ketika berbicara simbol, proses pengerucutan bisa dilalui secara formal, tetapi sebagian besar melewati jalur informal. Konteks informal ini, dikaitkan dengan cara berpikir struktur. Sebab sesuatu yang disepakati dalam masyarakat, walau dengan cara mereka sendiri, pada dasarnya juga formal (menurut mereka).
Terkait dengan struktur, ada satu simbol dalam kehidupan kita, umumnya terkait rambu lalu lintas. Beberapa hari yang lalu, saya duduk dengan sejumlah teman yang sama-sama sedang istirahat. Satu pertanyaan menarik yang muncul tiba-tiba mengenai rambu-rambu yang ada di sepanjang jalan raya. Pertanyaan sederhananya, apakah semua orang yang menggunakan jalan raya mampu menafsirkan lambang-lambang yang ada dalam rambu itu? Kalau tidak mampu, bukankah orang tersebut akan berhadapan dengan ancaman hukum? Lantas apa yang sesungguhnya harus dilakukan negara agar pengendara benar-benar memahami rambu-rambu di jalan raya tersebut?
Konteks tiga hal di atas, tampak relasi kuat antara rambu, bahasa, dan perilaku. Rambu sebagai perlengkapan jalan, membutuhkan bahasa untuk memahaminya, yang tujuannya adalah perilaku manusia. Orang harus mematuhi rambu lalu-lintas, tidak saja karena berimplikasi kepada keselamatan bersama, melainkan juga ancaman hukuman atau denda yang akan didapat oleh para pelanggarnya. Dengan demikian, perbaikan perilaku yang diwajibkan melalui ketaatan terhadap rambu, sangat ditentukan oleh bahasa sebagai penjelasannya.
Agar tidak bertukar maksud dari sejumlah kata yang digunakan, ada baiknya masing-masing makna dilihat Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk empat kata utama, yakni rambu, lambang, simbol, dan tanda. Terdapat tiga maksud penyusun kamus untuk menjelaskan kata “rambu”, yakni (1) patok atau tiang (untuk batas); pancang; (2) tanda atau petunjuk; rambu lalu-lintas; (3) tanda atau petunjuk bagi kapal yang sedang berlayar, ditempatkan di tempat tertentu untuk menghindari kecelakaan.
Kata “lambang”, dijelaskan: (1) sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana, dan sebagainya) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu; (2) tanda pengenal yang tetap (menyatakan sifat, keadaan, dan sebagainya); (3) huruf atau tanda yang digunakan untuk menyatakan unsur, senyawa, sifat, atau satuan matematika. Kata “lambang” beranonim dengan kata “simbol”.
Sedangkan kata “tanda”, dimaknai dengan semulah maksud: (1) yang menyatakan alamat sesuatu; (2) gejala; (3) bukti; (4) pengenal; lambang; (5) petunjuk.
Artikel ini ingin mengaitkan maksud rambu terkait dengan tanda atau petunjuk lalu-lintas. Secara teknis, peraturan yang mengatur tentang rambu lalu lintas dimulai dengan lahirnya Keputusan Menteri Perhubungan No. 61/1993 tentang Rambu Lalu-lintas di Jalan Raya. Keputusan ini dikeluarkan tanggal 9 September 1993, masa Menteri Perhubungan dijabat Haryanto Dhanutirto. Keputusan ini menyebutkan ada 216 jenis rambu, baik yang termasuk dalam kategori perintah, larangan, peringatan, dan petunjuk.
Keputusan Menteri di atas, kemudian diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan No. 60/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan No. 61/1993 tentang Rambu Lalu-lintas di Jalan Raya. Perubahan dalam Peraturan ini hanya pada tiga simbol yang diperbaiki, selebihnya tetap berlaku Keputusan sebelumnya.
Sebanyak 216 rambu, tentu bukan jumlah yang sedikit. Setiap orang yang menggunakan jalan raya, tidak boleh abai terhadap rambu. Mereka harus memahami persis ketika menggunakan jalan raya.
Dengan jumlah jenis rambu yang sebanyak itu, adakah jaminan semua pengendara, atau mereka yang menggunakan jalan raya, hafal betul maksudnya? Pertanyaan ini tidak sederhana ketika dikaitkan dengan implikasi hukumnya, terutama yang terkait dengan rambu yang bermuatan perintah dan larangan.
Untuk mereka yang melanggar perintah, mekanismenya sudah tersedia dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. UU ini sendiri diperbaiki dari UU No. 14/1992, yang disahkan tanggal 12 Mei 1992. Konteks pengaturan rambu, sebelum 1992 diatur dengan UU No. 13/1980 tentang Jalan.
UU No. 14/1992 menentukan pengendara wajib memahami dan mengikuti rambu jalan. Ancaman pindana kurungan paling lama 1 bulan dan denda Rp. 1 juta. Pengaturan ini dalam UU No. 22/2009 diperbaiki, menjadi tiga kategori, yakni: (1) penyelenggara yang tidak memberi rambu pada jalan rusak, ancaman penjara 6 bulan, atau denda Rp 1,5 juta; (2) orang yang merusak rambu, ancaman penjara 2 tahun, atau denda Rp. 50 juta; (3) pengendara yang melanggar rambu perintah dan larangan, ancaman kurungan 2 bulan atau denda Rp. 500 ribu.
Mengacu pada konsep UU, yang dimaksud rambu lalu lintas adalah bagian perlengkapan jalan yang berupa lambang, huruf, angka, kalimat, dan/atau perpaduan yang berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah, atau petunjuk bagi pengguna jalan.
Rambu peringatan digunakan untuk menyatakan peringatan bahaya atau tempat berbahaya pada jalan di depan pemakai jalan. Rambu larangan digunakan untuk menyatakan perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu perintah digunakan untuk menyatakan perintah yang wajib dilakukan oleh pemakai jalan. Rambu petunjuk digunakan untuk menyatakan petunjuk mengenai jurusan, jalan, situasi, kota, tempat, pengaturan, fasilitas dan lain-lain bagi pemakai jalan
Disadari atau tidak, pemasyarakatan terhadap simbol dilakukan melalui UU, yang disertai dengan ancaman hukuman atau denda yang tidak ringan. Mekanisme untuk itu juga tersedia melalui jalur hukum yang lain. Seorang pengendara wajib memiliki surat izin mengemudi (SIM). Proses mendapatkan SIM, harus lulus tahap memahami simbol. Dengan demikian, proses SIM juga berpengaruh terhadap seberapa maksimal seseorang memahami akan simbol.
Bagi saya inilah garansi sekaligus paksaan dari negara agar siapapun yang ingin berkendaraan di jalan raya, wajib memahami simbol-simbol yang ada. Garansi lain, bahkan pihak penyelenggara (pejabat) yang tidak memberikan simbol di jalan pun, ada ancaman hukuman atau dendanya.