Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Today, intelligence gathering is like looking in a global ocean for an object that might or might not be a fish-(Letitia A. Long, 2013: 7).
Untuk menjadi seorang intel atau mata-mata bukanlah perkara yang amat mudah. Akan tetapi, sangat mudah seseorang dijadikan sebagai seorang intel/agen/mata-mata. Berbagai testimoni agen menunjukkan bahwa ketika proses rekruitmen menjadi agen dilakukan dengan berbagai cara.
Dalam jalur militer, karir seorang intel benar-benar diambil dari mereka yang memiliki talenta dan bakar, melalui berbagai proses ujian. Karena itu, mereka yang menjadi bakal calon adalah manusia yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Bagi seseorang yang akan menjadi intelijen, di kalangan KOPASSUS, disebutkan bahwa: “Syarat untuk bisa masuk Sandha adalah lulus ujian uji psikotes sebagai kriteria yang telah ditentukan, lulus ujian fisik dan keterampilan militer, mereka juga diharuskan telah menjalani tugas sebagai prajurit parako minimal lima tahun.” BIN sendiri telah merekrut para agen intelijen non-organik dari kalangan mahasiswa, birokrat, pengusaha, wartawan, aktivis, pengamat dan professional.
Menurut Hendropriyono, “BIN sejak tahun 2002 …telah merekrut 100 sarjana dan magister dari berbagai universitas di Indonesia.” Pertanyaannya adalah apakah agen non-organik menyadari betul bahwa mereka telah direkrut oleh institusi intelijen sesuai dengan kapasitas dan peran yang harus mereka jalankan?
Sejauh ini, memang tidak ada karya khusus yang mengupas bagaimana teknik penggalangan yang dijalankan oleh institusi intelijen dalam maupun luar negeri. Hanya saja, kemudian muncul istilah: “orang kita,” “barisan kita,” “our asset” dan istilah lain yang dipakai pada sosok yang telah dibina dan direkrut menjadi agen intelijen. Menjadi agen yang direkrut secara resmi dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup. Adapun secara terbuka dilakukan sebagaimana layaknya pencarian pegawai seperti di perkantoran pemerintah atapun swasta. Di sini polanya dilakukan secara resmi dan terstruktur, sehingga mereka yang memenuhi kualifikasi akan ditetapkan sebagai agen atau intel, kemudian mereka diposkan di berbagai tempat dengan berbagai jenis profesi, sesuai dengan misi yang dijalankan. Adapun secara tertutup, perekrutan dilakukan karena seseorang individu dipandang berbakat atau memiliki kemampuan skill tertentu, yang dipandang sebagai agen yang potensial. Mereka yang direkrut model ini, biasanya langsung dibina oleh salah seorang agen senior. Karena itu, tidak keliru seperti yang dipaparkan oleh mantan Ka BIN di atas bahwa jejaring intelijen datang dari berbagai profesi dan keahlian. Intinya, individu yang memiliki kelebihan dan loyalitas terhadap negara, biasanya akan didekati atau dikondisikan sebagai aset untuk dibina. Ada lagi agen atau intel yang direkrut melalui usaha lintas negara, untuk menyuplai informasi kepada suatu negara. Mereka juga kerap disebutkan sebagai agen ganda (double agent).
Proses pencarian individu yang dilakukan secara tertutup biasanya direkrut dari dunia kampus. Individu tersebut dimonitor secara berterusan, hingga pada satu saat dia memiliki seorang yang akan membinanya sebagai seorang agen. Dalam hal ini, terkadang beberapa individu didekatkan dengan aparat keamanan. Atau, sangat boleh jadi, salah seorang agen senior membimbing dan membina, secara sistematik. Proses binaan inilah yang terkadang membuat sang target menyadari bahwa dirinya merupakan orang penting. Setelah proses binaan tersebut rampung, maka akan muncul proses pengondisian terhadap apapun aktivitas sang individu tersebut. Sementara mereka yang direkrut melalui jalur keamanan, dari militer dan polisi, tentu saja memiliki pola tersendiri. Dalam hal ini, agen-agen terbaik akan disekolahkan ke luar negeri atau diposkan pada posisi-posisi untuk melatih daya intelijen mereka. Setelah selesai studi, mereka biasanya akan mendapatkan tugas untuk membuktikan bahwa telah menguasai betul tingkat intelijen tertentu. Dalam hal ini, jalur intelijen dari pihak keamanan memiliki kode etik, tidak akan membongkar satu rahasia pun, dimana terkadang nyawa harus dipertaruhkan untuk membungkus rapat-rapat suatu informasi penting.
Sebagai contoh, untuk masuk menjadi Komunitas Intelijen di Amerika Serikat, ada beberapa hal yang menjadi syarat mutlak, yaitu:
For a career in the IC, a candidate must be an American citizen and hold at least an associate degree or certificate, although a BA or advanced degrees are preferable. A clean background is obviously important, as this will be investigated.
There are no standard prerequisite courses for candidates to a career in the IC, but some attributes are valuable, especially for those seeking to join State or the CIA: an interest in international affairs; foreign travel and experience; the knowledge of one or more foreign languages, especially non-European languages; inter-personal skills; the ability to adapt to different circumstances; “street smarts”; an analytical mind. In many cases, military experience is either required or highly desired. At the FBI, legal, forensic and cyber/IT training are valued. Engineering and scientific backgrounds are sought at NSA, NGA, the National Reconnaissance Office (NRO), and CIA’s DS&T. Mathematics, hard sciences, information technology and languages are especially important to NSA. DHS looks for people with skills in languages, chemical, biological and nuclear information technology as well as skills in cyber security and law enforcement. For many agencies, a background in political science, criminal justice, psychology, or regional studies can be useful.
A typical class of newly hired State Department or CIA officers will include individuals with business backgrounds, engineers, lawyers, scientists, accountants, IT specialists, artists – to name but a few of the range of backgrounds other than liberal arts majors. Anthropology and sociology, which help to provide the keys to understanding foreign adversaries, are valued disciplines (AFIO, 2013: 7).
Melihat daftar persyaratan untuk menjadi Komunitas Intelijen (KI) di atas, tentu saja tidak akan jauh berbeda dengan talenta-talenta lain yang direkrut oleh negara-negara selain Amerika Serikat. Mereka tentu saja akan sangat mempertimbangkan jika mendapati seseorang individu yang memiliki kemampuan di atas.
Dalam hal ini, status kewarganegaraan menjadi syarat mutlak, namun tidak menutup kemungkin rekruitmen pada agen-agen di luar negeri juga dilakukan oleh beberapa negara. Apakah itu dengan model pemberian bea-siswa pada individu terbaik atau model penghargaan pada diri seseorang yang dipandang memiliki kesamaan misi operasi intelijen dengan negara yang akan merekrut. Karena itu, setiap individu memiliki keahlian dan kelebihan, akan selalu menjadi target rekruitmen oleh pihak intelijen. Hanya saja, lebih banyak pola penggalangan ini tidak atau jarang dibuka ke pihak publik.
Adapun di kalangan Mossad, seorang agen yang direkrut memiliki kriteria sebagai berikut, seperti ditulis oleh Gordon Thomas:
No katsa is accepted into Mossad who is primarily movivated by money. The overly zealous Zionist has no place in this work. It gets in the way of a clear understanding of what the job is all about. It is one that calls for calm, clear, farsighted judgement and a balanced work. People want to join Mossad for all kind of reasons. There is the so-called glamour. Some like the idea of adventure. Some think joining will enhance their status, small people who want to be big. A few want to secret power they believe being in Mossad would give them. None of these are acceptable reasons for joining.
Pola yang dilakukan oleh MOSSAD agaknya juga dipraktikkan di Indonesia. Melalui pola AMOK (Akses, Motivasi, dan Kepribadian-Karakter), seseorang dapat direkrut sebagai agen. Paling tidak, ada calon agen yang hendak mendapatkan akses ke dalam lingkurang jaringan intelijen. Ada juga kandidat yang memiliki motif ekonomi ketika hendak direkrut menjadi intel. Motivasi ideologi untuk balas dendam juga terkadang dapat memicu seseorang untuk mendaftarkan diri sebagai intel negara. Adapun motivasi yang paling banyak ditunggu untuk masuk ke dalam komunitas intelijen adalah motivasi nasionalisme. Ada pandangan yang menyebutkan bahwa “agen yang memiliki motivasi ini, karena kelangsungan hidup negerinya yang berarti juga adalah kelangsungan anak turunnya.” Demikian pula, Supono menyebutkan beberapa syarat umum untuk proses rekrutmen, yaitu: kemampuan, keterampilan, kepemimpinan, dedikasi, rasa memiliki dan syarat khusus lain sesuai ciri khas yang diperlukan oleh setiap profesi, juga harus mempertimbangkan faktor “kepercayaan.”
Beberapa syarat di atas amat sulit ditembusi, terlebih lagi ketika aktifitas intelijen sudah banyak difilmkan. Namun, semakin sulit memasuki suatu institusi intelijen, tidak sedikit yang tergiur untuk bergabung dengan organisasi intelijen. Pengrekrutan secara formal memang akan diformalkan. Namun, pengrekrutan secara non-formal, cenderung akan sering non-formal. Ada kisah bagaimana panggilan wawancara untuk masuk ke dinas intelijen dilakukan secara tertutup. Sang calon agen dipanggil untuk wawancara di suatu gedung. Namun, begitu sampai di gedung tersebut, tidak ada tanda-tanda bahwa bangunan tersebut sebuah perkantoran yang lazim. Calon hanya diterima oleh seseorang, lantas diarahkan pada ruangan yang sudah ditentukan. Setelah wawancara dilakukan, biasanya calon disuruh pulang, untuk menerima panggilan. Model seperti ini terkadang membingunkan calon agen. Karena dia tidak tahu, apa yang sebenarnya dinilai dari sisi kelayakan sebagai seorang agen intelijen. Kisah ini saya dapatkan dari seseorang diluar negeri, saat dia hendak diwawancai oleh suatu lembaga intelijen. Jika proses ini berhasil, maka sang calon akan mengikuti sekian program pelatihan intelijen, sesuai dengan durasi ditentukan.
Ketertutupan atau kerahasiaan menjadi salah satu kunci. Karena publikasi proses pengrekrutan akan mudah diketahui oleh publik atau bahkan oleh negara lain. Ada pula proses pengrektutan secara formal, sebagaimana layaknya penerimaan pegawai baru. Di sini salon calon diuji kemampuan, baik intelektual maupun fisiknya. Sang calon terkadang terkejut, ketika profilnya diletakkan di atas meja, saat terjadi proses wawancara. Hampir semua “kisah hidup” calon tertulis secara rapi. Kapan dia melakukan demonstrasi? Dengan siapa dia sering berkomunikasi? Apa saja yang telah ditulis? Siapa saja sanak saudaranya? Intinya, dalam profil tersebut, institusi intelijen mengetahui dari “A sampai Z” dari sang calon.
Profil calon agen memang disimpan pada kantor-kantor intelijen dengan ditambah setiap perkembangan mengenai sosok individu yang bakal direkrut. File mereka ditambah setiap tahun. Ada juga seorang kawan yang hendak wawancara di suatu kedutaan besar menyebutkan bahwa file dia sangat lengkap. Semua tulisan yang pernah dia hasilkan tertata dengan cukup rapi. Hingga dia tidak dapat mengelak, dari setiap pertanyaan, untuk mendapatkan visa. Singkat kata, data mengenai sosok yang bakal menjadi “apapun” baik sebagai kawan maupun lawan, sudah begitu mudah didapatkan. Seorang kawan dari kepolisian mengatakan bahwa sejauh kita menyimpan chip di dalam dompet, maka kemanapun kita akan pergi akan mudah terdeteksi, mengenai aktifitas kita. Karena itu file atau data dari lembaga yang menangani pertahanan dan intelijen terkadang sangat lengkap. Terlebih lagi, jika data sang calon dapat diakses melalui internet, terutama sosial media.
Karena itu, sebelum calon agen direkrut, data mengenai RH (Riwayat Hidup), telah dimiliki oleh dinas intelijen. Sehingga tidak mengejutkan jika calon tersebut sudah layak atau belum menjadi seorang agen terpercaya. Namun ada juga proses pengrekrutan atas nama kepercayaan seseorang. Bahkan ada juga fenomena agen direkrut melalui faktor kekeluargaan, jejaring organisasi, alumni, dan profesi. Proses ini sangat lazim untuk mendapatkan kepercayaan dalam suatu misi intelijen. Namun, dalam penggalangan di lapangan, mulai dari orang yang paling baik hingga yang paling jahat harus digalang, guna untuk kepentingan di dalam menjalankan operasi intelijen. Karena itu, rekruitmen dan penggalangan, terkadang memiliki arti yang sama, walaupun terkadang tidak begitu sama, ketika dipraktikkan di lapangan.
Rekruitmen sudah pasti mendapatkan pengakuan resmi, walaupun nanti tergantung pada kualifikasi tugas, dimana dia sama sekali tidak diakui sebagai anggota organisasi intelijen yang merekrutnya. Demikian pula, kalau yang digalang, karena loyalitas dan kemampuan menjaga rahasia serta hal-hal lain, yang dipandang sebagai agen terpercaya, boleh jadi akan direkrut secara resmi. Namun, proses ini semuanya memerlukan sistem kerja yang tertutup, karena hanya diketahui oleh agen pengendali atau user. Akibatnya, rekruitmen dan penggalangan terkadang memiliki arti dan makna ganda.
Sebagai contoh, karena seseorang memiliki kualifikasi tertentu untuk sebuah tugas dan misi intelijen, dia sering mendapatkan perlakuan “pengondisian.” Dari sejak SMP, dia sudah sering mendapatkan beasiswa dan selalu mendapatkan tawaran untuk ikut berbagai even, baik di dalam maupun diluar negeri. Masuk SMA dia sudah diundang keluar negeri dalam bentuk pertukaran pelajar. Selalu memenangi berbagai lomba. Ketika masuk ke perguruan tinggi, dia langsung mendapatkan undangan untuk sekolah tinggi atau universitas yang memiliki keahlian khusus. Sampai dia mendapatkan gelar tertinggi akademik, selalu mendapatkan “perlakuan khusus.” Dia sendiri tidak pernah menyadari kalau kemanapun dia pergi, “tiket sudah tersedia,” “orang yang selalu mengarahkan arah perjalanannya,” “selalu berjumpa dengan orang yang seolah-olah menjaganya,” “bertemu dengan orang-orang penting,” hingga mendapatkan “pekerjaan” yang dia tidak sadari, bagian dari persiapan karir sebagai seorang agen.[]