Oleh: Arfiansyah
Akademisi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Pembuka
Sejak diperkenalkan, Artificial Intellegence (AI) atau Kecerdasan Buatan telah membantu pekerjaan banyak orang dalam banyak hal. Dalam dunia akademik dan penelitian, AI telah membantu banyak ilmuwan di berbagai bidang untuk menguak misteri-misteri yang sebelumnya tidak dapat dipecahkan dan dipahami serta menemukan hal-hal baru yang bermanfaat untuk manusia.
Dengan bantuan AI, manusia diberikan ruang berkreativitas dan berimajinasi yang lebih luas dan dalam. Keadaan ini memungkinan ilmuwan untuk menemukan hal-hal baru yang sebelumnya sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Misalnya, AI telah membantu astronom untuk menemukan tata surya dan planet baru, membantu sejarawan membaca tulisan kuno yang sebelumnya tidak dapat dibaca, membantu ahli kimia memprediksi dan memahami reaksi kimia, membantu ahli kesehatan untuk menemukan obat-obatan untuk penyakit tertentu. Terbaru, AI ini telah membantu ilmuwan untuk menemukan materi baru ramah lingkungan untuk pembuatan baterai.
Bagi ilmuwan-ilmuwan tersebut, AI adalah sebuah alat untuk membantu pekerjaan mereka. Sebagai alat, peran manusia (ilmuwan) masih sangat besar. AI hanya digunakan untuk permudah dan mempercepat pekerjaan. Mereka memberikan informasi dan materi-materi yang dibutuhkan untuk AI bekerja. Ilmuwan kemudian melakukan evaluasi dan verifikasi terhadap hasil pekerjaan AI tersebut. Tidak menerimanya begitu saja. Sehingga, semua yang dihasilkan ilmuwan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara moral, etis, dan pragmatis.
Latah AI
Apa yang terjadi bila kelompok akademik yang latah, termasuk mahasiswa S1 hingga S3, menyerahkan sepenuhnya pekerjaan akademik mereka kepada AI dan menerima hasilnya begitu saja tanpa verifikasi dan validasi?
Beberapa hari lalu, saya diminta oleh sebuah program studi di Aceh untuk menjadi penguji ujian skripsi seorang mahasiswi. Saya baca dengan seksama skripsinya yang luar biasa bagus untuk standar jenjang pendidikannya, bahkan saya jarang menemukan kualitas yang sama dari karya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ketika membaca skripsinya, saya yakin banyak dosen ketika masih berstatus mahasiswa S1, termasuk saya sendiri, tidak memiliki kualitas analisis terhadap data penelitian dan kemampuan menulis sebagus mahasiswi tersebut. Caranya begitu luar biasa menghubungkan berbagai variabel, menganalisis perundang-undangan dan peraturan pemerintah, mendiskusikan teori dalam setiap pembahasan, dan menggeneralisasi peristiwa lokal menjadi diskusi yang luas dan besar.
Saya baca dan dalami dengan seksama dan mengecek satu persatu literatur yang digunakan. Saya mulai menemukan kejangalan-kejangalan. Fakta-fakta yang diuraikan membuat saya ngeri. Dia menggambarkan perempuan di sebuah daerah di Aceh yang menyedihkan, terkekang oleh peraturan dan norma sosial serta budaya. Perempuan di sana bak hidup di sebuah penjara. Membaca fakta-fakta yang disuguhkan, mengingatkan saya kepada bacaan tentang perempuan di Afganistan di bawah Taliban dan perempuan-perempuan Muslimah di Asia Tengah pada era Uni Soviet.
Saya juga menemukan kejanggalan pada literaturnya. Selain beberapa berita dari media Online, seperti tempo dan kompas, tidak ada literatur yang disebutkannya sesuai dengan literatur aslinya. Perbedaannya terlalu mencolok dan tidak dapat diterima, seperti ketidaksesuaian halaman pengutipan dari buku yang dirujuk, tidak sesuai pembahasan pada buku dengan yang dikutip oleh mahasiswi tersebut, memalsukan jurnal (nama jurnal tidak pernah ada), memalsukan artikel seolah-olah diterbitkan di jurnal tertentu, bahkan judul artikel yang sudah terbit pun diubah dengan tetap mempertahankan nama penulis dan detail identitas artikel tersebut. Singkatnya, sekitar 98% referensi dan kutipan yang disebutkan tidak sesuai, dibuat-buat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Saya kemudian mengecek peristiwa-peristiwa yang disuguhkan dalam skripsi tersebut kepada teman-teman, salah satunya, pekerja kemanusian dan tokoh perempuan senior di lokasi penelitian mahasiswi tersebut. Saya temukan perbedaan yang sangat mencolok dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Ketua program studi, tempat mahasiswi tersebut berkuliah, membantu pengecekan yang lebih dalam. Dengan menggunakan AI Detector, dia menemukan bahwa skripsi mahasiswi tersebut 100% hasil kerja AI. AI mengumpulkan semua informasi yang tersedia secara online dan meramunya menjadi sebuah artikel. Sehingga, banyak peristiwa yang tidak relevan berdasarkan tahun penelitian dan tidak relevan sebagai hasil penelitian lapangan. Meski dibantu oleh alat pintar sekalipun (AI) ternyata masih ada penggalan-penggalan paragraf yang berulang, membuat aliran tulisan tersendat tidak mengalir dan tidak saling mendukung.
Sering sudah saya mendengar bagaimana sebagian mahasiswa dan dosen saat ini menggunakan AI untuk kerja-kerja ilmiahnya. Rekan peneliti saya sedang belajar menggunakan AI untuk kebutuhan translasi karya ilmiahnya ke bahasa asing yang tidak dia kuasai. Namun dengan tetap mengandalkan manusia untuk verifikasi dan validasi. Rekan saya lainnya juga sedang mengembangkan AI untuk kompilasi pemikiran tokoh tertentu, sehingga ketika sebuah perintah diberikan, semua informasi tentang tokoh tersebut tersedia lengkap. Tapi baru pertama sekali saya menemukan sebuah karya ilmiah yang dikerjakan utuh oleh AI, yang hasil dan dampaknya mengerikan untuk perkembangan seseorang dan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Selain mahasiswi tersebut, beberapa hari sebelumnya saya mendengar pengakuan seorang kolega dosen di Aceh yang secara terang-terangan mengatakan bahwa membuat artikel ilmiah saat ini begitu mudah berkat AI. Kita cukup memberikan perintah-perintah tertentu. Tidak perlu menunggu 4 jam, artikel puluhan halaman selesai. Dari kawan lainnya, saya mendengar mahasiswa program master dan doktoral yang kebelet sidang namun terkendala publikasi sedang “antrean” menunggu pelayanan dari seorang ahli pembuat artikel menggunakan AI. Ini tidak termasuk orang-orang yang menggunakan layanan penulisan artikel cepat dengan menggunakan AI, yang iklannya bermunculan di media sosial. Semua artikel yang disiapkan AI tersebut diterbitkan di jurnal-jurnal yang dapat membantu dosen, mahasiswa S1, S2 dan S3 untuk memenuhi kebutuhan administrasi laporan akademik dan kelulusan.
Tak Sempat Membawa Terang, AI sudah Membawa Kegelapan
Bila skripsi mahasiswi S1 tadi adalah gambaran standar kualitas karya ilmiah yang dihasilkan AI, bisa diprediksi kalau masa depan kita, khusus di Aceh, akan sangat suram dan gelap. Belum sempat terang setelah damai datang, tiba-tiba temaram menghilang, mulai gelap.
Institusi pendidikan, seperti perguruan tinggi, menjadi ruang hampa tanpa nilai dan tujuan. Dia tidak lagi berfungsi untuk pembentukan identitas dan karakter seseorang, transfer pengetahuan dan budaya, mobilitas sosial dan peningkatan taraf hidup, dan ruang eksplorasi untuk tumbuh dan berkembang. Semuanya merupakan fondasi masa depan manusia, yang harus melalui beragam kegagalan dan kemudian belajar dari kegagalan tersebut, terlibat intens dalam proses tanya jawab dan kritik, melakukan percobaan-percobaan, dan menghadapi beragam rintangan. Ini semua diperlukan untuk membangun tanggung jawab, empati, berpikir kritis, kreativitas, imajinasi, kemandirian berpikir dan bersikap, toleransi, kerja sama, kedisiplinan, kejujuran dan karakter lainnya diperlukan untuk manusia berkembang positif.
Ketika oknum akademisi latah teknologi dan kemudian terlibat dalam malpraktek AI seperti oknum dosen, mahasiswi S1 hingga S3 maka kampus tidak lagi menjadi obor di tengah kegelapan, tapi menjadi aktor pemadam obor sendiri. Kampus, disadari atau tidak, kini terlibat langsung dalam proses pembodohan publik melalui karya ilmiah yang dibanggakan. Karya ilmiah, yang seharusnya menyajikan pengetahuan yang valid, faktual, jujur, dan dapat dipertanggungjawabkan, malah menyajikan kebohongan-kebohongan. Kebohongan ini diterbitkan melalui jurnal yang tidak teliti dan ketat dalam mereview dan memberikan umpan balik, sebagiannya sengaja tidak teliti dan ketat karena kepentingan dan transaksi bisnis yang menguntungkan.
Dengan asumsi telah melewati proses peer-reviewed yang ketat, karya kebohongan tersebut kemudian dibaca, dikutip dan disebarkan oleh orang lain yang belum memiliki kemampuan verifikasi atau tidak memiliki akses untuk verifikasi. Mengerikan, apa yang akan kita hadapi ke depan. Alih-alih semakin cerdas, masyarakat kita dipenuhi oleh informasi dan pengetahuan yang penuh kebohongan. Disayangkan, oknum dari kelompok akademia terlibat di dalamnya baik sengaja atau tidak mempromosikan penggunaan AI untuk kebutuhan karya seolah-olah ilmiah tersebut.
Tekan Struktural
Harus diakui bahwa tidak semua orang cocok untuk berkuliah ke perguruan tinggi. Perbedaan bakat dan kecerdasan mengakibatkan orang tidak sukses menempuh bidang pendidikan tertentu tapi malah sukses ketika pindah ke bidang lainnya atau bahkan setelah memutuskan berhenti bersekolah atau kuliah. Beberapa orang terkaya di dunia bahkan tidak sukses berkuliah, namun mengubah arah kehidupan manusia dan memberikan lompatan-lompatan untuk perkembangan manusia. Sebagian penemu bahkan tidak pernah mengecap pendidikan formal. Di lingkungan sekitar, kita menemukan banyak anak cerdas malah meredup dan tidak sukses karena memaksakan atau dipaksakan untuk mengenyam pendidikan tinggi tertentu, dimana bakat dan potensinya tidak sesuai dengan tempatnya.
Namun, imaji berkuliah untuk bekerja semakin membuat perguruan tinggi menjadi pasar ijazah. Di Aceh, hampir setiap kabupaten memiliki perguruan tinggi. Untuk perguruan tinggi negeri saja, Provinsi Aceh setidaknya memiliki 8 perguruan tinggi, belum termasuk sekolah tinggi negeri kebidangan tertentu seperti kesehatan dan teknik. Jumlah ini ditambah dengan perguruan tinggi swasta yang tersebar nyaris di 23 kabupaten, Provinsi Aceh.
Untuk memenuhi tuntutan harus tamat kuliah, orang-orang yang memaksakan diri berkuliah, melakukan hal-hal yang secara akademik tidak wajar dan tidak terukur, serta sebagiannya tidak etis. Hampir semua kampus dan level pendidikan yang disediakan sekarang mewajibkan publikasi (kecuali sebagian S1 yang memberikan pilihan skripsi atau publikasi jurnal). Beberapa minggu lalu saya mendengarkan komplain dari mahasiswi master yang masih semester 1 di salah satu perguruan tinggi di Aceh tentang kewajiban publikasi semua tugas perkuliahan. Memang tidak perlu di jurnal bergengsi, cukup di jurnal yang masih Sinta 5 atau jurnal baru buka lainnya.
Mahasiswa, dalam posisi sangat lemah dalam relasi kuasa di kampus, enggan untuk memprotes karena ketakutan akan konsekuensi yang mereka hadapi. Ditambah tekanan sosial dan tekanan dari orang tua untuk segera selesai kuliah membuat mahasiswa memilih jalan-jalan pintas. Didukung dengan keberadaan AI sekarang, mereka bisa memenuhi tuntutan publikasi karya ilmiah tidak lebih dari 3 jam. Sebesar apa pun tuntutan dosen, mahasiswa sekarang bisa menuntaskan semuanya dengan bantuan AI dalam waktu yang tidak lebih dari setengah hari. Tidak ada lagi latihan pengembangan kedisiplinan, diskusi dan kritik, latihan berpikir kritis, belajar etika ilmiah, tanggung jawab, dan kejujuran. Semuanya dilenyapkan oleh AI dan kelompok akademik yang latah teknologi.
Dosen senang mahasiswa mengerjakan tugas yang diminta. Mahasiswa puas dengan nilai A yang didapat. Universitas bangga karena produksi “pengetahuan” meningkat tajam, yang sangat berguna untuk akreditasi kampus. Namun, dibalik itu semua, kita disuguhkan pada kebanggaan yang semu. Bersama, kita bangga akan kebohongan akademik. Keadaan ini membuat kampus kehilangan peran dan fungsinya untuk membentuk identitas dan karakter, ruang aman untuk berdiskusi dan bertukar pikiran, ruang untuk meningkatkan taraf hidup, tempat latihan berpikir kritis dan merdeka, media untuk belajar disiplin, bertanggung jawab, jujur, dan bekerja sama. Kita sedang disuguhi pengetahuan kosong. Obor pengetahuan secara sistematis dan struktural dipadamkan, bukan oleh orang lain melainkan oleh oknum civitas akademia itu sendiri.
Semua aktor terlibat dalam proses pembohongan dan pembodohan sistematis ini. Dimulai dari oknum mahasiswa semua jenjang, dosen, pejabat kampus hingga struktur yang lebih besar di atas mereka yang menuntut capaian-capaian angka hebat untuk nilai akreditasi, persaingan global dan menuju world class university. Dengan menggunakan AI, oknum kampus memproduksi dan menyebarkan karya yang seolah-olah ilmiah, tapi bohong. Bergantung sepenuhnya pada AI, melewati batas-batas AI sebagai alat bantu dan penunjang, oknum masyarakat akademik sedang terlibat dalam pembunuhan kreativitas dan imajinasi, dua pembeda manusia yang paling unik dari makhluk hidup lainnya.
Penutup
Bila oknum masyarakat akademik ini secara perlahan sedang meruntuhkan kampus sebagai fondasi masa depan masyarakat, kepada institusi mana lagi kita bisa berharap akan masa depan? Orang Aceh, seperti orang Indonesia pada umumnya, terlalu latah terhadap sesuatu yang baru. Harus ada kebijakan dan tindakan yang jelas, tegas, adaptif, dan progresif untuk menyelamatkan masa depan kita yang mulai menunjukkan tanda-tanda kehampaan dan kegersangan. []