Oleh: Tengku Hasan M. di Tiro
Penulis Buku Atjeh Bak Mata Donja dan Pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Redaksi: Ditengah polemik 4 pulau Aceh kini menjadi milik Sumut. Redaksi Sagoetv.com berusaha menanyangkan salah satu chapter tulisan Tengku Hasan M. di Tiro, dalam kapasitasnya sebagai penulis buku Atjeh Bak Mata Donya, yang terbit cetakan pertama di New York tahun 1968, cetakan kedua di Gle Mampree tahun 1977, cetakan ketiga di Stockholm 1984. Tulisan dibawah ini adalah bagian salah satu bab buku “Aceh Di Mata Dunia” yang berjudul aslinya “Wilayah Kerajaan Aceh”, hasil terjemahan dari Bahasa Aceh ke Bahasa Indonesia, yang dilakukan oleh Haekal Afifa, dengan editor Murizal Hamzah, yang diterbitkan Bandar Publishing tahun 2013.
Berikut kutipannya sebagai bagian untuk memperkuat literasi generasi, silahkan dibaca:
Dalam hikayat Malèm Dagang yang menceritakan kisah Perang Aceh dan Portugis pada tahun 1626 dijelaskan batas Kerajaan Aceh meliputi setengah dari Pulau Sumatera; sebelah timur batasnya sampai Sungai Kampar, sebelah selatan batasnya sampai ke Bengkulu. Sedangkan di dataran Melayu kekuasaan Kerajaan Aceh meliputi Negeri Johor, Pahang, Perak, Kedah dan Perlis. Dalam catatan-catatan Aceh yang lain selain Hikayat Malèm Dagang tidak pernah ditemukan referensi yang menyebutkan batas Kerajaan Aceh. Alhamdulillah, apa yang sebenarnya kita sendiri telah melupakannya ternyata masih diabadikan di seluruh dunia melalui catatan-catatan dan bahasa-bahasa yang berbeda.
Batas yang disebutkan dalam Hikayat Malèm Dagang tersebut juga dijelaskan dalam catatan Jerman, Meyers Groszes Lexikons Jilid II Halaman. 63:
“Anfang. des 17 Jahrh., als das Anfang des 16 Jahrh. Begründete Reich Atschin auf seiner Höhe stand, erstreckte sich sein Gebiet längs der Wesküste Sumatra s bis Benkulen und längs der Osküste bis Kampar während ein Teil der angrenzenden Binnen länder und Halbinsel Malakka ihm Tribut zahlte”.
Artinya:
“Pada awal abad ke 17, ketika Kerajaan Aceh pada abad ke 16 mencapai masa kejayaannya yang luas kekuasaannya meliputi pantai barat Pulau Sumatera sampai ke Bengkulu dan di bagian timur Sumatera sampai ke Kampar dan satu bagian wilayah yang mendekati jajahan Aceh serta jajahan Aceh yang meliputi Semenanjung Malaka”.
Sejarawan Prancis C. De Magnin dalam bukunya Atchin ou Achem menyebutkan tentang Kerajaan Aceh dan juga dalam La Grande Encyclopedie Jilid IV. Halaman 402, tahun 1874 :
“En 1582, ils avaint étandu leur prépondérance sur les i`lesde la Sonde, sur une partie de la presqu’iie de Malacca, ils étaient en relation avec tous les pays que baigne l’océan Indien depuis Ie Japon jusqu’à l’Arabie. La lutte qu’il soutinrent contre les Portugais établis à Malacca depuis Ie commencement du XVIe siècle jusqu’au milieu du XVIIe siècle n’est pas une des pages les moins glorieuse de l’histoire des Atchinois. En 1586, un de leurs sultans attaque les Portugais avec une flotte d’environ 500 voiles montée par 60,000 marins.” C. de Magnin, “Atchin ou Achem”, La Grande Encyclopédie, Jilid IV. Halaman. 402. Paris. 1874.
Artinya:
“Pada tahun 1582 Bangsa Aceh sudah memperluas daerah kekuasaannya di Pulau Sunda dan di salah satu bagian Semenanjung Malaka. Dan juga Kerajaan Aceh sudah membangun hubungan diplomasi dengan negara-negara di sekeliling lautan Hindia dari Kerajaan Jepang sampai ke negara-negara Arab. Perjuangan yang dilakukan oleh Bangsa Aceh untuk melawan Portugis saat menduduki Malaka dari abad ke 16 sampai pertengahan abad ke 17 adalah sebagai bukti kebesaran dan kemegahan Kerajaan Aceh. Pada tahun 1586, seorang raja Aceh berperang dengan Portugis dengan membawa 500 Kapal Perang dan 60.000 armada laut.” C. de Magnin, “Atchin ou Achem”, La Grande Encyclopédie, Jilid IV. Halaman. 402. Paris. 1874.
Dalam buku Prancis lainnya yakni Larouse Grand Dictionnaire Universelle disebutkan: “Vers la fin du XVIe siècle et jusqu’ à la moitié du XVUe, les Achins etaient la nation dominante de l’archipel Indien.” Larouse Grand Dictionnaire Universelle, Jilid I, Halaman 70. Paris, 1866.
Artinya:
“Bangsa Aceh adalah sebuah bangsa yang paling besar kekuasaannya di pulau-pulau Asia Timur pada akhir Abad ke 16 sampai pertengahan abad ke 17”. Larouse Grand Dictionnaire Universelle, Jilid I, Halaman 70. Paris, 1866.
H.T. Damste dalam karangannya “Het Volk van Aceh” menyebutkan:
” …in het begin van de 17de eeuw reikte deze op Sumatra naar het Zuiden tot Palembang en Bengkulen, en op den Malakaanschen overwal tot over Pera’, Pahang en Kedah”. H. T. Damsté. “Het Volk van Aceh”, De Volken van Nederlandsch Indië, Prof. J. C. van Eerde, Jilid I, Halaman. 39.
”… pada awal abad ke 17, wilayah Kerajaan Aceh di Sumatera hingga ke Palembang dan Bengkulu, dan di Semenanjung Tanah Malaka wilayahnya sampai ke Kedah, Perak dan Pahang”. H. T. Damste. “Het Volk van Aceh”, De Volken van Nederlandsch Indië, disusun oleh Prof. J. C. van Eerde, Jilid I, Halaman. 39.
Baru-baru ini saya juga menemukan di New York dan Madrid beberapa peta tua benua Asia yang sangat penting untuk Bangsa Aceh karena dalam peta itu secara jelas batas dan luas wilayah Kerajaan Aceh dari abad ke 16 hingga abad ke 19 bahkan sampai Belanda memerangi Aceh. Salah satu dari peta itu dikeluarkan di Prancis pada tahun 1708 yang dibuat oleh Chatelain seorang Ahli Geografi Prancis.
Peta tersebut dinamakan Carte des Indea de la Chine, des iles de Sumatra, Java, ect. (Peta India, China, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan lainnya).
Di bawahnya ditulis; Dressee sur les Memoires les plus nouveaux et sur les meilleurs Observations, tirees des Relations les plus fideles. (Ditulis dengan penemuan yang sangat mutakhir, dan telah dilakukan penyelidikan dengan sangat hati-hati menurut ukuran yang benar seperti keadaan yang sebenarnya).
Dalam peta tersebut, Kerajaan Aceh dalam bahasa Prancis ditulis Roayaume d’Achem. Dalam peta tahun 1708 ditulis batas Kerajaan Aceh yakni sebelah selatan yang ada di dalamnya Negeri Padang (antara Padang dan Bengkulu); sebelah timur berbatasan dengan Sungai Kampar. Maka, benarlah apa yang disebutkan dalam Hikayat Malèm Dagang. Kerajaan Aceh dalam satu riwayat disebutkan wilayah kerajaannya lebih luas dari yang tersebut di atas. Peta itu merupakan dokumen yang sangat penting untuk sejarah Aceh. Di bawah sebelah kirinya (Lihat Gambar II) terdapat keterangan;
“L’ile de Sumatra est une des plus considerables de I’Asie…Java, qui est la plus meridionale des iles de la Sonde apartient Presque toute aux Hollandois…Batavia est le sejour du Gouvernr. General des Indes. 1708.
Artinya:
“Pulau Sumatera adalah sebuah pulau yang sangat luas di Asia… Pulau Jawa, yang sangat jauh ke selatan hampir semua terdapat jajahan Belanda… Betawi, inilah tempat pusat pemerintahan Kolonial Belanda. 1708”.
Jadi, pada tahun 1708 Bangsa Aceh masih merdeka dan memiliki wilayah yang sangat luas dan berkuasa di Asia Timur. Sementara itu, Pulau Jawa sudah dijajah oleh Belanda.
Lebih dari 100 tahun sesudah itu, yakni tahun 1811, Pulau Jawa direbut oleh Kerajaan Inggris dari Belanda dan pulau Jawa menjadi jajahan kolonial Inggris dengan pusat pemerintah di India. Pada tahun 1816, pulau Jawa dikembalikan kepada Belanda. Begitulah, pulau Jawa sudah ratusan tahun menjadi budak bangsa lain, dan pulau Jawa berpindah jajahan dari satu jajahan kepada jajahan lain. Sebaliknya bangsa Aceh sudah menjadi bangsa yang merdeka dan diakui oleh dunia.
Dengan ditemukan peta-peta itu, jelaslah bukti kebesaran dan kemegahan Kerajaan Aceh pada masa lalu. Peta-peta itu merupakan bukti nyata tentang kemasyhuran Aceh yang disebutkan dalam berbagai bahasa dan menjadi sejarah dunia.[]