Oleh: Muhammad Jais, S.E., M.Sc. IBF
Alumni S2 Islamic Banking and Finance di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan juga Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (UNIKI).
Isu penempatan dana Bank Aceh Syariah (BAS) sebesar Rp2,6 triliun di Bank Indonesia melalui instrumen likuiditas syariah belakangan ini memunculkan perdebatan serius. Sebagian publik menganggap dana tersebut “mengendap” tanpa memberi dampak langsung bagi masyarakat Aceh, sementara pihak lain menilai penempatan itu adalah kewajiban regulasi dan strategi prudent yang memang harus ditempuh oleh bank syariah.
Dalam laporan keuangan BAS per 31 Desember 2024, total penempatan dana dalam bentuk surat berharga mencapai Rp7,05 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi terbesar ditempatkan pada Kementerian Keuangan melalui sukuk negara senilai Rp2,91 triliun, diikuti penempatan di Bank Indonesia sebesar Rp2,65 triliun. Selebihnya disalurkan ke BPD Syariah di berbagai daerah, BUMN, hingga perusahaan swasta nasional seperti PT Indah Kiat, XL Axiata, dan PT Indosat. Pertanyaannya: apakah strategi ini benar-benar mencerminkan semangat syariah dan kepentingan masyarakat Aceh, atau sekadar kelanjutan dari pola lama perbankan yang aman, tapi mandul secara sosial-ekonomi?
Antara Regulasi, Syariah, dan Realitas Bisnis
Bank Aceh Syariah (BAS) tidak bisa dilepaskan dari regulasi ketat perbankan nasional. Sesuai ketentuan OJK dan Bank Indonesia, setiap bank syariah wajib memenuhi Giro Wajib Minimum (GWM), cadangan likuiditas, serta rasio keuangan tertentu sebagai bentuk kehati-hatian. Dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) sekitar Rp20 triliun, BAS otomatis harus menempatkan minimal Rp1,4 triliun di Bank Indonesia, dan ini bukanlah pilihan manajemen melainkan kewajiban hukum. Selain itu, dari sisi mitigasi risiko, bank cenderung lebih nyaman menempatkan dana pada instrumen pasar uang syariah atau Surat Berharga Negara (SBN) karena lebih aman dan likuid, dibandingkan menyalurkannya ke sektor riil seperti UMKM, pertanian, atau perikanan yang relatif berisiko tinggi.
Namun, strategi “main aman” ini juga tidak terlepas dari paradigma pemegang saham pengendali (PSP) yang lebih berorientasi pada stabilitas dividen ketimbang keberanian ekspansi riil. Dana besar yang ditempatkan di pusat memang menghasilkan return pasti, tetapi kontribusinya terhadap ekonomi masyarakat Aceh sangat terbatas. Di sisi lain, meski secara formal instrumen yang dipilih berlabel syariah, substansinya masih dipertanyakan. Jika dana hanya diparkir pada instrumen finansial tanpa menumbuhkan sektor riil, maka praktik syariah yang dijalankan berisiko terjebak sekadar formalitas kosmetik, jauh dari nilai substansial syariah yang menekankan keadilan, produktivitas, dan kemaslahatan umat.
Alternatif yang Belum Dijalankan
Sebagian akademisi dan pengamat ekonomi syariah di Aceh menilai bahwa dana Rp2,6 triliun milik Bank Aceh Syariah (BAS) seharusnya dapat “berkeringat” di tanah sendiri, bukan sekadar berputar di pusat melalui instrumen keuangan negara. Dana sebesar itu berpotensi diarahkan ke sektor-sektor strategis yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat Aceh. Pertanian dan perikanan, misalnya, merupakan sektor riil yang menyerap banyak tenaga kerja dan menopang ketahanan pangan. Begitu pula dengan UMKM berbasis produksi, seperti industri halal, makanan olahan, serta produk kreatif yang berpeluang meningkatkan daya saing daerah. Jika diarahkan pada sektor energi dan sumber daya alam lokal, dana tersebut akan memberikan nilai tambah langsung bagi masyarakat, alih-alih hanya menjadi angka di laporan keuangan.
Namun, praktik BAS membeli Surat Berharga Negara (SBN) menimbulkan kritik serius. Sebagai Badan Usaha Milik Aceh, fungsi utamanya adalah melayani masyarakat Aceh. Ketika dana ditempatkan pada instrumen tersebut, muncul pertanyaan apakah manajemen memahami tujuan pokok pendirian lembaga ini. Lebih jauh, langkah tersebut dianggap mengabaikan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang menegaskan bahwa pembiayaan UMKM minimal harus mencapai 40 persen dari total pembiayaan lembaga keuangan di Aceh. Faktanya, Bank Aceh baru menyalurkan pembiayaan UMKM sekitar 12 persen dari keseluruhan portofolio. Padahal, instrumen keuangan syariah memberi ruang lebih luas dari sekadar deposito atau surat berharga. Akad berbasis bagi hasil seperti musyarakah dan mudharabah dapat menjadi sarana produktif untuk menyalurkan dana ke masyarakat. Memang benar, risiko gagal bayar atau ketidakpastian keuntungan akan selalu ada, tetapi dalam perspektif syariah, keberanian mengambil risiko di sektor riil justru bernilai positif karena selaras dengan prinsip keadilan, kerja sama, dan berbagi hasil. Bukankah lebih baik dana tersebut menghadirkan dampak sosial-ekonomi nyata bagi rakyat Aceh, daripada sekadar “tidur nyenyak” di pusat tanpa kontribusi berarti bagi daerah?
Sistemik atau Manajerial?
Persoalan dana Bank Aceh Syariah (BAS) sejatinya tidak semata-mata bergantung pada keberanian manajemen bank. Sistem perbankan syariah di Indonesia masih beroperasi dalam kerangka kapitalistik yang dikendalikan regulasi pusat, sehingga ruang inovasi bank daerah menjadi sangat terbatas. Dalam kondisi seperti ini, problem utama tidak hanya terletak pada direksi bank, melainkan juga pada mindset pemegang saham, regulator, hingga masyarakat luas. Selama dividen dianggap sebagai ukuran tunggal keberhasilan, maka substansi syariah sulit terwujud. Itulah sebabnya BAS, sebagaimana banyak bank syariah lainnya, lebih memilih jalur aman dengan menempatkan dana pada instrumen pasar uang syariah ketimbang mengucurkannya ke sektor ekonomi rakyat yang lebih berisiko tetapi produktif.
Refleksi lain muncul ketika fenomena “dana mengendap” ini dikaitkan dengan budaya pragmatis masyarakat. Jika sebagian orang terbiasa memperoleh ijazah S2 atau S3 tanpa proses akademik yang sahih hanya demi status sosial, maka tidak mengherankan bila lembaga keuangan pun memilih pola instan: aman, cepat, dan minim risiko. Pola pikir instan inilah yang harus dibongkar agar perbankan syariah benar-benar hadir sebagai agen perubahan. Syariah sejati menuntut keberanian mengambil risiko riil, keberpihakan kepada rakyat, serta distribusi yang adil—bukan sekadar mengulang pola kapitalistik dengan wajah baru.
Jalan Perubahanm Siapa yang Harus Memimpin?
Transformasi pengelolaan dana Bank Aceh Syariah (BAS) tidak bisa hanya ditumpukan pada manajemen bank semata. Perubahan menuntut kepemimpinan kolektif dari berbagai aktor strategis. Ulama memiliki peran penting dalam memberikan arahan nilai dan legitimasi moral, sehingga kebijakan bank senantiasa selaras dengan maqashid syariah. Akademisi berperan menawarkan riset, gagasan, dan kritik berbasis ilmu untuk memperkuat fondasi kebijakan. Pemerintah daerah dapat hadir dengan regulasi lokal yang berpihak pada kepentingan ekonomi rakyat. Sementara itu, bank dituntut menjalankan kebijakan teknis dengan model syariah yang autentik, bukan sekadar formalitas. Pada saat yang sama, masyarakat sipil juga memiliki peran krusial dalam memberikan tekanan moral dan intelektual agar dana umat benar-benar kembali pada umat. Jika seluruh elemen ini bergerak bersama, dalam kurun waktu 3–5 tahun, dana Rp2,6 triliun itu dapat berubah menjadi motor penggerak ekonomi Aceh, bukan sekadar angka yang pasif dalam laporan keuangan.
Kisah penempatan dana BAS sejatinya adalah refleksi dari dilema besar yang dihadapi ekonomi umat: memilih aman atau produktif, tunduk pada regulasi pusat atau berani membangun kemandirian daerah, serta sekadar kosmetik syariah atau substansi syariah yang sejati.
Ke depan, pilihan ada di tangan semua pemangku kepentingan: apakah dana umat akan terus “parkir nyaman” di pusat demi mengejar dividen, atau berani diputar di tanah sendiri demi mengangkat martabat ekonomi rakyat Aceh? Seperti salah satu refleksi kritis yang patut direnungkan, “Lebih baik dana itu berkeringat di lapangan, daripada tidur nyenyak di pusat, sementara rakyat tetap miskin.” []