Oleh: Affan Ramli
Praktisi Pedagogi Kritis di Masyarakat Adat.
Suatu hari seorang terpelajar bertamu ke rumah kami. Dengan alasan yang tidak saya ketahui, tiba-tiba ia terlibat diskusi politik agak sengit dengan ayah saya, mantan politisi PPP tingkat desa era Orba dan seorang petani biasa. Tetapi dialognya tidak sempat berlangsung lama, tamu terpelajar kami kaget dan pergi begitu saja setelah satu pertanyaan diajukan ayah kepadanya “kalau begitu, apa itu republik?”
Tadinya saya menduga ia akan mengutip beberapa pernyataan Socrates saat berdialog dengan Thrasymachus di rumah Cephalus. Sebagaimana dialog itu ditulis ulang Plato dalam bukunya ‘Republik.’ Terutama pada bagian-bagian awal dialog itu, saya anggap memberi gambaran esensi dari gagasan republik. Sayangnya, bukan cuma petani, kaum terpelajar kita juga sangat sedikit mempelajari hakikat ide republik. Bahkan setelah belajar puluhan tahun cara menjadi warga negara yang baik. Warga sebuah republik.
Beberapa mahasiswa yang pernah saya tanyai mengatakan, republik berbeda dari kerajaan. Perbedaan terpentingnya terletak pada orang-orang yang memerintah. Kerajaan dikuasai bangsawan dan kekuasan republik berada di tangan orang-orang yang dipilih rakyat pada musim Pemilu (Pileg, Pilpres, Pilkada, Pilkades). Res (urusan) dan publica (rakyat umum), dua kata latin penyusun ide republik dalam hal ini disempitkan sebagai urusan pilih memilih orang-orang yang layak diberi kekuasaan.
Republik telah dibatasi. Tidak membicarakan lebih lanjut bagaimana kekuasaan itu dikelola. Sehingga kita tidak dapat menemukan perbedaan cara penggusuran dan perampasan tanah petani di negara kerajaan dan negara republik. Jika tetap dicarikan bedanya, bisa ada: bangsawan itu orang asing dari menara gading yang mengirim tentara mengusir petani dari tanah mereka. Di negara republik, rakyat sendiri memilih orang-orang yang mengirim tentara mengusir mereka dari lahan-lahan komunal. Dalam makna ini, bukankah republik ide yang lebih mengenaskan?
Itu sebabnya Plato sejak awal menekankan, republik bukanlah gagasan politik dangkal sebatas urusan Pemilu. Ide-ide paling agung dalam gagasan republik terletak pada tatakelola kekuasaan itu. Bagaimana urusan-urusan publik diurus, menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral atau pertimbangan kepentingan semata, dan dalam rangka memenangkan kepentingan siapa. Jika substansi konsep republik dipaksa ringkas dalam sebuah kalimat, maka itu dapat diwakili oleh ungkapan Socrates “lalu sekarang, Thrasymachus, tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintahan tidak mengurus kepentingannya sendiri, mereka memerintah untuk mengurus kepentingan rakyatnya, mengutamakan orang-orang yang lebih lemah, bukan demi kepentingan orang-orang yang lebih kuat dan berkuasa” (Plato, Republik; 2015).
Saya tidak melihat, orang-orang yang mengelola pemerintahan di negara kita masih percaya pada aspek substansial dari ide republik seperti disampaikan Socrates. Kebanyakan mereka percaya unsur aksidentalnya saja, tentang kuantitas-kuantitas tertentu yang dapat diukur dan dihitung. Seperti berapa banyak Pemilu, partai politik, jumlah undang-undang, dan indikator-indikator permukaan lainnya yang nirmakna dihadapan moral keadilan republik. Bahkan nirmakna di hadapan moral Pancasila yang dipandang sebagai gagasan otentik pendiri negara menerjemahkan ide republik. Keraguan ini tidak hanya menyerang para politikus. Kabanyakan kaum terpelajar dan cendikia kita juga meragukan republik dalam makna dasar-dasar moralnya dapat bekerja dalam sistem kekuasaan negara modern saat ini.
Keyakinan moral republik tidak mungkin lagi mudah diinstal begitu saja di lembaga-lembaga negara. Kepolisisan, kejaksaan, militer, partai politik, dan lembaga-lembaga bisnis bekerja hampir dengan model penalaran yang sama. Meminjam kaedah Ali Shariati membaca politik, kekuasaan negara modern bekerja dalam lingkar segitiga simbolik ‘fir’aunisme-qarunisme-bal’amisme’. Suatu persenyawaan ‘otoritas kekerasan-kekuatan finansial-narasi pengetahuan’ membangun kepatuhan rakyat tanpa perlu melayani mereka dengan baik. Keyakinan moral republik sebagai dasar kekuasaan bekerja, jikapun masih ada, mungkin tersisa cuma di ruang-ruang diskusi belaka.
Pun begitu, Socrates masih menyisakan satu jalan menghidupkan kembali spirit dan moral republik saat para penguasa dan elit suatu negara cuma mengejar kepentingan tunamoral. Kepada Adeimentus, Socrates berkata “teman ku yang baik, satu hal yang cenderung aku sebut bukanlah besar, melainkan cukup untuk tujuan kita, adalah pendidikan dan pengasuhan. Jika warga negara kita dididik dengan baik, menjadi orang bijak dan berpikir sehat, maka mereka dengan mudah melihat jalan mereka melalui semua ini.”
Pendidikan Bisa Apa?
Sebagaimana Socrates dan Plato, kita menggantungkan masa depan moral republik di negara ini pada lembaga-lembaga pendidikan. Apakah harapan ini berlebihan di era negara modern? Negara-negara Skandinavia atau Nordik (Eropa Utara), seperti Finlandia, Denmark, Norwegia, Islandia dan Swedia memberi bukti emperis sistem pendidikan nasional mereka berkontribusi lansung pada tingginya kualitas moral politik di negara-negara itu. Nordik adalah bukti ‘hidup’ di era kita bahwa politik negara berbasis moral bukan masa lalu, juga bukan dongeng masa kini. Asalkan rakyat dan warga dididik dengan sebenar-benarnya pendidikan. Bagaimana hal itu dapat dijelaskan?
Setidaknya saya mendapat penjelasan itu dari dua artikel di Jurnal Penelitian Pendidikan Skandinavia (Scandinavian Journal of Educational Research). Pertama, In Search of the Nordic Model in Education ditulis oleh Ari Antikainen dari Universitas Joensuu, Finlandia. Dan kedua, Still Social and Democratic? Inclusive Education Policies in the Nordic Welfare State ditulis berdua oleh Anne-Lise Arnesen dari kampus Universitas Oslo, Norwegia dan Lisbeth Lundahl dari Universitas Umea, Swedia. Masih banyak lagi artikel jenis ini, sebagai usaha keilmuan mengargumentasikan model pendidikan Nordik penopang utama moral politik. Termasuk moral politik republik yang diimajinasikan Plato dan para cendikia awal peletak ide itu.
Di negara-negara Nordik, merujuk Antikainen, orang-orang haqul yakin (seyakin-yakinnya) bahwa pendidikan adalah produser utama sumberdaya untuk mengejar capaian-capaian kebudayaan dan sosio politik, seperti keadilan, demokrasi, kesetaraan, toleransi atau pluralisme. Tidak banyak yang tahu, sekolah-sekolah publik di kawasan Skandinavia menerapkan sungguh-sungguh teori-teori pendidikan progresif dunia, dari John Dewey sampai Paolo Freire (Antikaenen; 2006).
Hal pertama menarik perhatian saya, bagaimana pendidikan membangun budaya kesetaraan dalam masyarakat dan dalam bernegara di Nordik? Itu dimulai sejak dini, peserta didik di negara-negara kawasan itu tidak boleh diseleksi dan diuji saat masuk sekolah hingga usia 16 tahun. Sekolah berkualitas disebarkan merata hingga semua siswa dapat menemukan sekolah terbaik tidak jauh dari rumah mereka. Para siswa dan orang tua karena itu tidak perlu berkompetisi mengakses sekolah-sekolah swasta atau sekolah berlokasi jauh karena menjanjikan mutu lebih tinggi.
Di banyak negara lain, termasuk Indonesia, lembaga-lembaga pendidikan berperan menjaga strata dan kelas sosial tetap eksis, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak dari keluarga kaya mengakses sekolah-sekolah atau pesantren-pesantren bergengsi dengan biaya sangat mahal. Keluarga kurang mampu mengirimkan anaknya ke sekolah negeri dengan mutu biasa saja. Stratifikasi semacam ini terus dijaga hidup sebagai kebudayaan dan membentuk iklim dan moral politik Indonesia. Mengikut teori Bourdieu, pendidikan mereproduksi ketimpangan sosial yang sudah sedia-ada agar ketimpangan itu tetap kekal dalam masyarakat.
Masyarakat Nordik juga terkenal dengan tradisi solidaritas sosial dan empati. Tidak terbatas sesama mereka. Solidaritas Skandinavia melampaui garis-garis batas apapun. Itulah kenapa orang-orang Aceh yang terusir karena pemberontakan mendapat pelayanan swaka politik di Norwegia, Denmark, dan Swedia. Ini bukan kasus khusus Aceh, orang-orang dari sudut bumi lain dengan pengalaman sejenis ditampung dan dilayani secara manusiawi di kawasan Skandinavia.
Bahkan orang-orang Nordik seperti ingin mengatakan, perang boleh dilakukan di berbagai belahan bumi manapun, tetapi proses perdamaian monumentalnya selalu di negara-negara Nordik. Perdamaian GAM-RI salah satu dari ratusan sejenis itu diselenggarakan di kawasan itu. Sebut saja perdamaian Taliban, Suriah, Palestina, Yaman, dan perang-perang lain Timur Tengah nyaris semuanya berlangsung di salah satu negara Nordik.
Kebudayaan bersolidaritas dan penuh empati tidak mungkin terbangun dalam masyarakat dengan sistem pendidikan penuh persaingan dan sikat sikut. Apalagi pendidikan yang dikelola dengan penalaran bisnis dan kalkulasi pasar. Sebaliknya di Skandinavia, seperti ditekankan Anne-Lise Arnesen dan Lisbeth Lundahl (2006), pendidikan lebih fokus pada kapasitas peserta didik membangun komunitas, kohesi sosial, dan kolaborasi. Fokus utama pendidikan bukan membangun kapasitas individu siswa bersaing dan berebut rangking seperti di Indonesia. Sekolah-sekolah kita masih mementingkan budaya persaingan, bahkan setelah kebijakan negara melarang sistem perangkingan.
Kurikulum pendidikan negara-negara Nordik, sekalagi lagi mengutip Antikaenen, Arnesen dan Lundahl, disusun berbasis pemikiran ‘negara kesejahteraan’ (welfare state). Itu artinya, meskipun pada akhirnya lembaga-lembaga pendidikan membekali peserta didik dengan capain sains dan teknologi, tetapi hal utama dan pertama-pertama sebelum itu semua adalah pembangunan mental, kebudayaan, nilai-nilai, dan tradisi negara kesejahteraan di dalam lingkungan sekolah. Proses belajar mengajar dikelola secara demokratis, siswa-siswa dilatih berpartisipasi secara deliberatif dalam agenda-agenda organisasi kesiswaan sendiri dan dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat pengelola sekolah dan pengelola ruang belajar. Ini semua dimaksudkan mempersiapkan peserta didik terlibat aktif dalam masyarakat dengan budaya ‘negara kesejahteraan’ saat dewasa nanti (Mikkelsen, 2003).
Negara Kesejahteraan
Apa itu negara kesejahteraan? Gösta Esping-Andersen (1990) membagi tiga tipe negara kesejahteraan: tipe liberal model Anglo-Amerika, tipe konservatif model Eropa Tengah dan Barat, dan tipe sosial demokratik model eropa utara (negara-negara Skandinavia). Erik Allardt (1993) menyederhanakan penjelasan negara kesejahteraan model Skandinavia dalam tiga kecirian utama. Pertama, negara memastikan seluruh warga memiliki standar kekayaan minimal untuk bisa hidup secara manusiwi (Living or Having), kedua, hubungan-hubungan sosial keseharian dibentuk penuh solidaritas, kohesi, toleransi dan kolaborasi (Loving), dan ke tiga, semua orang mendapat peluang sama besarnya untuk mengaktualisasikan diri lewat ekspresi keyakinan, pandangan, identitas tertentu dari kebudayaan dan pilihan gaya hidup (Being).
Pencapaian negara kesejahteraan model sosial demokratik ini, mengikut Stein Rokkan (1970) merupakan tahapan ke empat dari tingkat kemajuan pembangunan negara modern. Bagi Rokkan, negara modern dibangun dalam empat tahapan sejak tahun 1700an. Tahap pertama, ia menyebutnya negara pajak dan militer, kedua, negara-bangsa, ketiga, negara berbasis penggunaan kuasa demokratik, dan ke empat, negara kesejahteraan berbasis ‘kewargaan sosial.’ Dalam fase ke empat ini, semua warga negara punya hak dan keuntungan sosial yang sama dan setara, melengkapi capaian hak politik dan kebebasan yang harusnya sudah diwujudkan pada fase negara-bangsa.
Indonesia, tampaknya masih bergelut pada tahapan kedua, fase negara kebangsaan. Itupun, pembangunan kebangsaannya (nation building) dianggap proyek yang masih belum selesai. Pertanyannya, dapatkah Indonesia melompat dari negara kebangsaan ke fase negara kesejahteraan? Selama pendidikan nasional dirancang bukan untuk visi pembangunan kebudayaan sosial politik bermoral republik, maka negara ini tidak bakal mampu bergerak ke fase berikutnya, menjadi negara demokratis dan negara kesejahteraan.
Kaum terdidik kita, tampaknya sudah pasrah. Biarkan republik tersisa sebagai nama negara saja. Selebihnya berputar-putar pada permainan kontestasi, bertarung pamer taring. Diskusi ini akhirnya menyimpan satu pertanyaan besar, hal apa yang membuat sebagian kawasan seperti Nordik punya kaum intelektual yang ngotot membangun sistem progresif (sosdem), padahal mereka pernah mengalami krisis parah seperti kita. Atau kawasan Amerika Latin, meski kondisi politik dan ekonominya tidak stabil namun basis gerakan rakyatnya tidak pernah surut. Di Indonesia, arus keyakinan perubahan yang datang dari kaum intelektual cenderung mengecil dari waktu ke waktu. Apa yang salah dengan kaum terdidik Indonesia?[]