Oleh: Ari J. Palawi
“Esai ini membantu kita memahami seni bukan dari hasil akhirnya, tetapi dari proses berpikir yang melahirkannya. Dengan pendekatan lintas disiplin dan keterbukaan ilmu, seni hadir bukan sebagai wilayah eksklusif, melainkan sebagai medan belajar yang inklusif, kritis, dan relevan bagi siapa pun yang peduli pada masa depan pendidikan.”
Seni sebagai Proses Belajar, Bukan Sekadar Ekspresi
Di banyak ruang pendidikan seni—baik di kampus, komunitas, sanggar, maupun ruang sosial—berlangsung proses belajar yang lebih dalam dari sekadar penguasaan teknik atau hasil akhir sebuah karya. Seni membuka pengalaman belajar yang menyentuh aspek persepsi, intuisi, sejarah, teknologi, dan empati sosial secara sekaligus. Ia menjadi tempat di mana pikiran dan tubuh, logika dan emosi, teori dan praktik bertemu dan bernegosiasi.
Yang terjadi di sana bukan sekadar pelatihan kemampuan estetik, tetapi pematangan cara berpikir: bagaimana mengamati dengan jujur, membaca konteks sebelum menyimpulkan, dan menyusun respon kreatif terhadap masalah yang kadang rumit dan tak terdefinisi jelas. Mahasiswa belajar bukan hanya untuk bisa, tetapi untuk memahami mengapa dan untuk siapa sesuatu itu dibuat.
Proses ini tidak selalu tampak mencolok. Tidak banyak terdokumentasi dalam laporan akreditasi atau peta kompetensi lulusan. Tetapi di balik layar studio, dalam sesi latihan kolaboratif, atau saat mahasiswa merekam lagu tradisional bersama warga di kampungnya, terjadi proses pembentukan nalar kritis dan kesadaran sosial yang tidak diajarkan secara eksplisit dalam silabus.
Seni mengajarkan bagaimana berpikir secara reflektif dan kontekstual. Di ruang seni, belajar adalah proses yang organik—berakar dari realitas, terbuka terhadap perbedaan, dan membentuk kepekaan terhadap relasi kuasa, sejarah, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Transdisiplin sebagai Modal Belajar Masa Kini
Satu hal yang tak terelakkan dari praktik seni adalah sifatnya yang lintas batas. Seni tidak bekerja di dalam kotak keilmuan yang tunggal. Seorang koreografer tak bisa hanya mengandalkan gerak; ia perlu memahami ruang, musik, sejarah tubuh, bahkan teknologi pencahayaan. Seorang desainer visual tak cukup hanya bermain dengan bentuk dan warna; ia mesti membaca psikologi khalayak, narasi sosial, hingga tafsir budaya yang melekat dalam visualisasi.
Artinya, seni mengandaikan cara kerja transdisipliner sejak awal. Bukan sebagai jargon baru dalam dunia akademik, melainkan sebagai keniscayaan dalam proses kreatif. Praktik-praktik seperti ini mendahului tuntutan zaman yang kini mulai menekankan pentingnya kerja lintas ilmu di semua bidang.
Namun, sistem pendidikan tinggi kita belum cukup tanggap terhadap kenyataan ini. Kolaborasi lintas program studi masih bergantung pada inisiatif personal. Penilaian kerja mahasiswa lebih sering mengutamakan hasil yang terukur secara administratif daripada proses kreatif yang bermakna. Kurikulum tetap disusun secara sektoral, dengan batas-batas disiplin yang kaku dan sulit ditembus.
Justru dalam situasi inilah pendidikan seni memberi teladan: ia menunjukkan bahwa kompleksitas dunia hari ini tidak bisa dijawab dengan spesialisasi tunggal, dan bahwa pembelajaran yang matang menuntut kemampuan untuk menjembatani cara berpikir yang berbeda-beda, merawat dialog, dan menyatukan perspektif.
Inklusivitas Ilmu dan Pembacaan Kembali Tradisi
Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia menyimpan khazanah tradisi yang luar biasa kaya. Tapi kekayaan ini sering kali diperlakukan secara simbolik belaka—sebagai identitas visual, produk wisata, atau bentuk pelestarian yang dangkal. Hikayat dibacakan dalam seremoni, tari-tarian ditampilkan dalam acara perayaan, tetapi sedikit yang menjadikannya sebagai bahan belajar yang serius dan kritis.
Padahal, seni tradisi adalah sistem pengetahuan. Di dalamnya terdapat nilai-nilai sosial, etika komunitas, filosofi tubuh, sistem komunikasi, bahkan pemikiran ekologis. Jika diolah secara lintas disiplin, ia bisa menjadi ruang belajar yang sangat produktif—bukan hanya untuk mahasiswa seni, tapi juga untuk bidang lain: antropologi, pendidikan, teknologi, bahkan kebijakan publik.
Di ruang seni, pembacaan ulang terhadap tradisi dilakukan tidak untuk memuja masa lalu, tetapi untuk menautkannya dengan masa kini. Misalnya, motif kerawang tidak hanya dilestarikan sebagai bentuk visual, tetapi ditafsir ulang untuk menjawab soal identitas perempuan dalam masyarakat kontemporer. Musik tradisi tidak hanya didokumentasikan, tetapi digunakan sebagai alat dialog antar generasi.
Melalui pendekatan ini, seni menunjukkan bagaimana ilmu bisa bersumber dari berbagai tempat—bukan hanya jurnal dan laboratorium, tetapi juga dari lisan, dari gerak, dari motif, dan dari pengalaman bersama warga. Inilah bentuk inklusivitas ilmu yang menjadikan pendidikan lebih demokratis, kontekstual, dan relevan.
Pendidikan yang Membentuk Martabat, Bukan Hanya Standar
Kita hidup dalam sistem pendidikan yang makin terukur: semuanya diuji, dinilai, diklasifikasi. Tapi di tengah obsesi terhadap efisiensi dan indikator numerik, kita perlu bertanya ulang: pendidikan untuk siapa? Dan untuk apa?
Ruang seni mengingatkan kita bahwa belajar bukan hanya soal keterampilan atau hasil akhir, tetapi soal proses menjadi manusia. Mahasiswa yang belajar seni bukan hanya mengasah kepekaan, tetapi juga membangun integritas intelektual—kemampuan untuk mendengar yang berbeda, mengakui keterbatasan, dan tetap berpikir kritis dalam ketidakpastian.
Kematangan berpikir yang lahir dari ruang seni bukan soal usia atau gelar, tetapi tentang bagaimana seseorang mampu mengelola perbedaan, menyatukan gagasan, dan mencipta sesuatu yang relevan dengan konteks sosialnya. Proses ini tidak selalu terukur dalam angka, tapi sangat terasa dalam cara seseorang bersikap, membaca dunia, dan bertindak secara etis.
Dalam dunia yang semakin cepat dan kompetitif, seni justru mengajarkan pentingnya pelambatan—mengamati, menyusun, menunda kesimpulan. Ia menjadi pengingat bahwa standar pendidikan yang kita perjuangkan tidak cukup hanya akurat secara teknis, tetapi juga harus adil secara manusiawi. Dan itu berarti menempatkan martabat sebagai ukuran utama dari mutu pendidikan.
Belajar matang dari ruang seni bukan hanya penting bagi mereka yang berada di fakultas seni atau komunitas budaya. Ia penting bagi semua pihak yang percaya bahwa pendidikan adalah jalan untuk membentuk manusia yang utuh—yang tidak hanya cerdas secara fungsional, tetapi juga peka, adil, dan mampu berpikir lintas batas.
Ruang seni telah memberi contoh bagaimana ilmu bisa hadir secara kontekstual, kolaboratif, dan reflektif. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian untuk menjadikannya sebagai bagian sah dari strategi pendidikan masa depan—bukan pelengkap, bukan penghibur, tapi sumber daya epistemik yang setara. []
Tentang Penulis
Ari J. Palawi lahir dan tumbuh di Banda Aceh. Ia menempuh pendidikan seni di ISI Yogyakarta, melanjutkan studi ke University of Hawai‘i at Mānoa, dan meraih gelar doktor di Monash University. Sampai tulisan ini hadir ke pembaca, ia masih tercatat sebagai lektor di Universitas Syiah Kuala, sembari menimbang langkah baru dalam perjalanannya. Ia menulis karena gelisah—dan karena percaya, bahwa perubahan adalah hak semua orang, baik yang tinggal, maupun yang memilih berjalan.