Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Dalam esai ini dikupas salah satu bentuk perang yang marak dibicarakan oleh masyarakat yaitu Psy War (Perang Psikologis). Di Indonesia, istilah yang sering digunakan adalah Perang Urat Syaraf (PUS). A.M. Hendropriyono menjelaskan definisi perang psikologis sebagai berikut:
Perang psikologis, adalah perang masa kini, yang dikenal juga sebagai perang urat syaraf (PUS), yang ditandai dengan beradunya pikiran manusia, bukan untuk memperebutkan teritorial, tetapi hegemoni kultural. Perang generasi keempat ini bersifat universal (global). Dalam perang urat syaraf, kekuatan masing-masing pihak berada pada konsistensi keberpihakan opini masyarakat, yaitu opini massa pendukung masing-masing. Untuk memperoleh opini tersebut, dilakukan oerapa-operasi penggalangan massa oleh intelijen dan pembinaan teritorial oleh aparat teritorial dari kedua belah pihak yang berperang … Dalam perang ini media masaa memegang perang yang paling strategis.
Ada latarbelakang saya menulis esai ini, ketika memahami satu hal di dalam dunia intelijen yaitu ketika salah seorang mantan agen KGB yaitu Yuri Bezmenov alias Tomas Schuman menguraikan panjang lebar mengenai bagaimana intelijen Uni Sovyet menjalankan satu operasi intelijen yang berkelanjutan di tengah-tengah masyarakat Amerika. Dalam hal ini, Yuri menyebutkan bahwa proses subversi terhadap masyarakat Amerika Serikat, dengan memperkenalkan ideologi-ideologi yang merusak masyarakat Amerika Serikat, dipandang sebagai keberhasilan operasi jangka panjang KGB di negara Paman Sam tersebut. Pengakuan ini menjadi sangat kontroversi. Bahkan Yuri menyebutkan diri sebagai deception was my job! (penyesatan adalah pekerjaan saya!). Dalam Youtube dan Google, nama Yuri Bezmenov sangat terkenal, karena dia kemudian “berbakti” pada negara yang dimusuhi oleh negaranya sendiri, yaitu Amerika Serikat.
Yuri menyebutkan ada empat tahapan yang dilakukan di dalam operasi intelijen Sovyet yang dia sebut proses Psycological Warfare Techniques, Subversion & Control of Western Society. Secara singkat, proses operasi intelijen ini dikenal dengan istilah ideological subversion (subversi ideologi). Secara sistematis, Yuri menyampaikan teknik-teknik tersebut sebagai berikut:
Pertama, proses propaganda demoralisasi melalui mengimpor gagagasan dari luar negeri. Proses pertama ini dilakukan selama 10-30 tahun. Di situ adanya proses dekonstruksi agama, kemunculan materialisme, feminisme, dan homoseksual. Di sini proses subversi ideologi dilakukan dalam semua level kegiatan nasional dan manusia: kesadaran (ideologi), otoritas (kekuatan sosial politik dan administrasi), materi (ekonomi). Adapun tujuan utamanya adalah adanya perubahan psikologi nasional dan individu terhadap persepsi realitas yang ada di depan masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan adalah manipulasi semantik atau polusi terhadap istilah-istilah, dimana makna asli dari suatu kata atau konsep diganti seara perlahan-lahan, yang berlawanan dengan realitas yang ada.
Mengingat begitu panjangnya proses ini dilakukan (10-30 tahun), maka tampaknya ini merupakan proses “cuci otak” di dalam satu generasi. Proses demoralisasi ini pada dasarnya tidak diketahui secara pasti, karena dilakukan secara simultan. Konsep-konsep dari negara luar atau tradisi luar, diterapkan untuk menjelaskan realitas yang ada di dalam suatu bangsa yang menjadi target operasi. Proses ini dilakukan sebagai proses subversi di dalam bidang ideologi. Misalnya, orang menjadi begitu kagum dengan ideologi Marxisme dan Sosialisme. Mereka menjadi begitu maniak dengan ideologi tersebut. Ketika selama beberapa tahun mereka “mandi informasi” tentang ideologi-ideologi tertentu, maka tanpa disadari, kemudian mereka menjadi orang-orang terpandang di dalam masyarakat. Kelompok feminisme diback up, supaya mereka mampu merusak tatanan nilai yang ada di dalam suatu negara, untuk mendukung moralitas, mulai dari keluarga hingga ke wilayah publik.
Adapun pada level otoritas, dilakukan proses infiltrasi di dalam lembaga-lembaga domestik di suatu negara, termasuk di dalam lembaga-lembaga pengambil kebijakan di luar negeri. Adapun tujuan dari penyusup tersebut adalah memperlemah pertahanan suatu negara. Metode yang dilakukan adalah melalui mendeskreditkan proses administrasi lembaga-lembaga strategis suatu negara. Hal yang dilakukan adalah melakukan investigas secara terus menerus pada kesalahan aparatur negara, termasuk dalam bidang korupsi dan skandal seksual. Intinya, apa yang memperlemah suatu citra sebuah negara melalui kesalahan aparaturnya, akan ditampilkan secara internasional. Akhirnya, otoritas lembaga-lembaga negara menjadi lemah dan citranya akan buruk, baik di level nasional, maupun di tingkat internasional.
Dalam subversi ekonomi lebih parah lagi, yaitu membuat deal-deal yang sama sekali untuk menciptakan kegaduhan di suatu negara. Pola ini sebenarnya melalui dumping policies. Tidak mengejutkan jika kemudian negara yang melakukan operasi subversi ekonomi ini mendirikan beberapa perusahaan di negara-negara target. Mereka akan melakukan usaha-usaha untuk memperlemah daya tawar suatu negara, baik dengan program hibah maupun melalui program bantuan ekonomi, yang sebenarnya merupakan proyek parasit negara pelaku. Perusahaan akan dimunculkan di semua lini, untuk seolah-olah membantu negara target di dalam bidang pembangunan ekonomi.
Adapun tahap kedua adalah fase de-stabilisasi yang memerlukan proses selama 2 tahun sampai 3 bulan. Di sini mulai dilakukan provokasi melalui infiltrasi dalam semua bidang. Misalnya, provokasi terhadap buruh, penyerangan yang tidak beraturan, inflasi, menurun tingkat produktivitas sementara permintaan sangat banyak, militerisasi terhadap masyarakat bawah (kelompok minoritas dan kelompok-kelompoak sosial lainnya). Intinya proses ini akan menciptakan kepanikan di suatu negara. Situasi yang yang tidak menentu adalah nama lain dari de-stabilisasi. Ketika terjadi kericuhan dan kekacauan merupakan puncak dari strategi yang kedua ini. Negara tidak mampu mempersatukan warganya. Sabotase di mana-mana, mulai dari kecelakaan alat transportasi hingga bencana alam yang terkondisikan. Negara-negara lain akan menyorot untuk menunjukkan bahwa negara tersebut sebagai negara gagal.
Sementara tahap ketiga adalah kolap atau meledaknya suatu kekacauan yang tidak menentu arah di dalam suatu negara. Dalam proses ini ekonomi menjadi jatuh, muncul kejahatan dimana-mana, kemunculan aksi-aksi teror, krisis mata uang, kejatuhan pemerintah. Kekuasaan berada pada kelompok militan, dimana kelompok ini pada akhirnya akan dihilangkan dari pentas. Inilah tahapan dari teori subversi ideologi, yang dikemukakan oleh Yuri Bezmenov. Harus diakui bahwa beberapa negara hampir pernah mengalami pola yang disampaikan oleh Yuri tersebut. Hanya saja, tahapan-tahapan ini merupakan suatu operasi yang berkelanjutan.
Adapun tahap terakhir adalah “normalisasi”. Di sini pemimpin nasional baik sipil maupun militer akan dihilangkan dari kekuasaan atau dieksekusi seperti yang terjadi,ketika perpindahan rezim. Perlawanan muncul dari rakyat kepada kekuasaan. Mereka bergerak secara massif untuk menurunkan rezim yang berkuasa. Biasanya, gerakan-gerakan rakyat, selalu didukung secara tersembunyi oleh negara-negara yang menjalankan subversi ideologi. Dalam keadaan tidak menentu tersebut, muncul kegaduhan untuk mencari siapa sebenarnya musuh. Biasanya, penangkapan besar-besaran atau teror akan dilakukan secara terstruktur. Para diplomat akan dicurigai, mata-mata asing akan dianggap sebagai penggerak massa. Setelah itu, pergantian rezim akan dibantu oleh negara-negara yang menghendaki ideologi tertentu. Jika Amerika Serikat dan berada dibelakang proses subversi ideologi, maka akan diucapkan berulang-ulang kata demokrasi. Sementara, jika negara-negara komunis sebagai penggerak subversi ideologi, berbagai istilah dari ideologi komunis, akan dikampanyekan. Setelah itu, negara tersebut akan menjadi bagian dari satellite state atau bahkan negara boneka.
Apa yang terjadi di Timur Tengah, apakah itu melalui istilah revolusi atau reformasi, gejala subversi ideologi dilakukan untuk menjatuhkan suatu rezim. Mesir, Irak, Syria, Afghanistan merupakan contoh dari negara-negara yang runtuh, melalui pola subversi ideologi. Pemimpin mereka yang sudah berkuasa puluhan tahun, dijatuhkan dihadapan rakyat mereka sendiri. Hanya saja, di Timur Tengah, strategi untuk menciptakan “normalisasi” bukan untuk membuat negara tersebut sejahtera, melainkan dilakukan melalui proses adu domba. Misalnya, di Aghanistan Amerika Serikat bersama sekutu membantu Taliban, untuk menghadapi Uni Sovyet. Setelah Afghanistan berhasil hancur dan Uni Sovyet runtuh, maka dimunculkan al-Qaeda. Demikian pula, proses “normalisasi” Irak, melalui penghancuran rezim Saddam Hussein, kemudian dimunculkan ISIS. Untuk menghadapi kekuatan PLO di Palestina, maka dimunculkan HAMAS. Demikianlah seterusnya. Sehingga upaya damai di Timur Tengah tidak pernah mendapat akhir yang pasti.
Di Indonesia, ketika merdeka pada tahun 1945 berpuncak pada kebangkitan komunisme yang 30 tahun kemudian, rezim Orde Lama ditumbangkan bersamaan dengan kejatuhan ideologi komunis. Rezim Soeharto juga bertahan selama 30 tahun, setelah itu dalam masa beberapa bulan pada tahun 1998, yang dimulai sejak krisis ekonomi tahun 1997, menyebabkan rezim Orde Baru tumbang. Saat itu, dua istilah yang menjadi “konsep keramat” Orde Baru adalah “Stabilitas” dan “Pembangunan.” Tentu saja, amat sulit untuk mengatakan negara mana yang telah berhasil melakukan operasi intelijen jangka panjang di Indonesia. Ketika Orde Baru muncul, berbagai teori ekonomi diperkenalkan oleh “Mafia Berkeley” di Indonesia. Di dalam bidang studi Islam, diperkenalkan “Mafia McGill.” Berbagai peristiwa terjadi di dalam rentang 30 tahun. Sehingga ketika tahun 1998, Orde Baru “terkondisikan” sebagai musuh bebuyutan di hadapan rakyat. Kelompok akademisi asing berlomba-lomba untuk mencitrakan bahwa rezim Soeharto adalah rezim yang paling otoriter. Padahal, Soeharto sendiri juga dibantu oleh para lembaga-lembaga asing, ketika menata Indonesia pada era Orde Baru.
Kelompok Islam yang menjadi penentu di dalam membabat habis sel-sel komunis menjelang Orde Baru, ditempatkan sebagai “musuh baru” negara. Kekuatan Islam ketika meruntuhkan Orde Baru kemudian sama sekali tidak diberikan tempat di dalam perjalanan Indonesia paska-Order Baru. Ketika gerakan-gerakan Islam mampu menghalau Orde Baru, pada saat yang sama, muncul gerakan-gerakan radikal dan terorisme di Indonesia. Mereka dicitrakan sebagai “musuh” yang harus diwaspadai. Ini sesuai dengan teori bahwa mereka yang menjadi pelaku di lapangan, akan dihilangkan peran strategis mereka, jika suatu tujuan operasi subversi ideologi, telah berhasil.
Dalam studi gerakan religi, berbagai konsep dari negara Barat diperkenalkan ke dalam dunai Islam. Istilah sekularisme, modernisme, fundamentalisme, dan post-modernisme, dipakai untuk menjelaskan gerakan Islam. Proses manipulasi semantik dilakukan oleh para akademisi. Ummat Islam dibuat panik dengan istilah tersebut. Namun, kehancuran Timur Tengah hari ini, tampaknya tidak dapat dipisahkan dari manipulasi semantik yang dilakukan selama lebih 30 tahun. Karena itu, operasi intelijen melalui jalur propaganda melalui berbagai teknik menjadi contoh bagaimana intelijen bekerja dibelakang layar, didalam mengancurkan negara target operasi.
Adapun yang kedua adalah tentang kemunculan Psy War yang dijalankan untuk meruntuhkan suatu rezim. Bahkan ada juga istilah hybrid war, suatu perang yang tidak pernah dideklarasikan dan juga tidak jelas musuhnya siapa. Intinya, model peperangan ini telah menghancurkan beberapa negara, terutama negara-negara berkembang. Adapun definisi Perang Psikologi adalah sebagai berikut:
Psychological warfare employs all moral and physical means, other than orthodox military operations, which tend to:
- destroy the will and the ability of the enemy to fight.
- deprive him of the support of his allies and neutrals.
- increase in our own troops and allies the will to victory.
Psychological warfare employs any weapon to influence the mind of the enemy. The weapons are psychological only in the effect they produce and not because of the nature of the weapons themselves. In this light, overt (white), covert (black), and gray propaganda; subversion; sabotage; special operations; guerrilla warfare; espionage; political, cultural, economic, and racial pressures are all effective weapons. They are effective because they produce dissension, distrust, fear and hopelessness in the minds of the enemy, not because they originate in the psyche of propaganda or psychological warfare agencies (E. Valley dan Aquino 1980, 5).
Definisi tersebut memperlihatkan bahwa Psy War merupakan perang yang menggunakan moral dan fisik, bukan melalui operasi militer. Artinya, di sini tidak ada perang secara terbuka, sebagaimana perang-perang yang dilakukan di medan perang. Namun, target dari Psy War adalah pikiran musuh. Artinya, Psy War sangat boleh jadi adalah Mind War (perang pemikiran), jika sang musuh juga melakukan hal yang sama. Model perang ini, dapat dilihat misalnya antara pihak Amerika Serikat dan sekutunya di dalam menghadap Psy War yang dijalankan oleh negara Russia. Masing-masing negara tersebut menggunakan “segala cara” untuk mempengaruhi pikiran atau opini rakyatnya.
Adapun senjata di dalam Psy War adalah segala cara seperti: operasi intelijen, propaganda, subversi, sabotase, operasi khusus, perang gerilya, spionase, politik, budaya, ekonomi, dan tekanan-tekanan rasis terhadap negara target. Tampaknya, Psy War atau Mind War merupakan puncak dari operasi intelijen dari suatu negara ke negara lain. Di Amerika Serikat, upaya Mind War dilakukan setelah kegagalan negara tersebut di dalam operasi perang terbuka di Vietnam. Adapun Mind War didefinisikan sebagai: “delibarate, aggresive convincing of all participants in a war that we will win that war.” Mereka akan menggunakan segala cara untuk mempengaruhi pikiran negara target. Di sini, istilah mind control (kontrol pikiran) akan menjadi salah satu cara ampuh di dalam penyerangan Psy War. Dalam operasi ini, Psy War dalam bentuk perang gerilya adalah: “the essential elements for the deconstruction of the enemy’s structure.” Karena itu, sangat sulit untuk mendeteksi Psy War, karena terkadang berlaku di dalam durasi waktu yang cukup lama.[]