Oleh: Sulaiman Tripa
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Saya pulang kampung, Pante Raja, sehari sesudah banjir. Kondisi ini praktis setelah hujan pertama 22 November 2025, dan hingga tanggal 25 November memuncak. Sejak pagi, adik saya mengirimkan satu foto kondisi dalam rumah. Soal foto, sudah tidak terlalu ambil pusing. Sebenarnya salah jika sudah pada titik imun. Tetapi mau bilang apalagi, ketika awan di selatan kampung tampak menggumpal, ibu selalu menyuruh anaknya untuk bersiap-siap. Bahkan perintah itu sering saya dengar saat saya sedang ditelepon ibu.
Apa yang saya sebut imun, pada dasarnya karena bagi warga kampung, orang tua seperti ibu saya, nyaris tidak lagi gugatan setiap saat banjir bisa menghinggap ke dalam rumah. Bahkan, sangking seringnya, ibu saya yang sudah terbatas daya pandang, selalu mengingatkan untuk bersiap-siap itu: menaikkan lemari makanan ke atas meja; karung-karung padi dinaikkan ke atas dipan bekas yang sudah tak terpakai; semua peralatan masak dibawa naik ke rumah atas –rumah panggung yang masih kami pertahankan.
Itulah alasannya, ketika adik saya mengirimkan foto, saya hanya melihat sekilas, dan mungkin setelah itu pun, saya sendiri lupa. Tetapi dalam hujan lebat, tiba-tiba listrik mati, alat komunikasi tidak bisa digunakan, dan kami sudah tidak bisa bertukar kabar: baru kami tersentak. Dari senyap-senyap, terdengar delapan tiang listrik raksasa, roboh diterjang angin dan banjir. Para ahli menyebut siklon senyar.
Saat berpikir buntu, terlihat di samping rumah yang sudah penuh genangan air. Di Gampong Limpok (Darussalam), saya juga tinggal tak jauh dari sungai –persis seperti posisi rumah di kampung. Hanya saja sungai di sini, nyaris tidak pernah meluap. Selama tinggal di sini, baru dua kali –tapi kali ini lebih tinggi. Genangan ini pun tidak terlalu ambil pusing karena mengira besoknya, akan mengering sendiri. Apa yang terjadi, ketika besok pagi, ternyata air semakin meninggi, dan saat itu sudah mendengar gemuruh pintu air yang dibuka dengan suara yang menggelisahkan. Kendaraan kami bawa keluar, nyaris persis seperti off road, untuk diparkir di pinggir jalan. Pada posisi ini pun, kami juga nyaris tidak ambil pusing. Saat merenung-renung di kala senggang, ternyata nyaris sudah sampai pada tingkat tidak mau sebegitu posisi saya terhadap lingkungan sekitarnya.
Lalu saya berpikir, apakah dalam konteks lingkungan, posisi kita memang sudah tidak berdaya? Soal bagaimana idealnya kita melihat lingkungan. Ketika ada yang persoalkan kebijakan, bisa jadi kita berpikir, toh, bukan urusan kita; ketika ada aktivis lingkungan yang koar-koar tentang ada yang salah dengan kebijakan, kita malah berpikir, kok, rumit amat. Maka bukankah ada yang sakit dalam diri kita ketika tidak mau tahu tentang apa yang terjadi dengan lingkungan?
Saya agak takut pada posisi imun, sudah menjalar ke titik yang lebih dalam: soal tidak mau tahu terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan lingkungan. Semua yang dilakukan pada satu hal, pasti akan berdampak pada hal yang lain. Terawang ibu saya, yang selalu memerintahkan siap-siap saat awan menggumpal di selatan, sungguh sebagai alarm bahwa alam kita sedang bermasalah. Tapi bermasalah alam ini harus dilihat kontribusi tangan manusia sebagai pemicunya.
Saya kira inilah alarm alam. Apa yang terlihat sepanjang 22-27 November 2025, yang dampak seriusnya mungkin akan terasa hingga bertahun, sungguh disebabkan oleh serangkaian aktivitas lainnya dari manusia yang secara tak beradab dalam memperlakukan alam. Kerusakan saat ini, berasal dari untaian yang terjadi jauh sebelumnya –yang kita sudah tidak peduli bahkan sudah imun untuk sekedar menolaknya.
Soal bagaimana keterkaitan itu, izinkan saya yang masih belajar ingin menyentuh sedikit apa yang disebut Fritjof Capra dalam bukunya The Web of Life, A New Synthesis of Mind and Matter (Capra, 1997). Buku ini menarik, karena sejumlah gagasan di dalamnya begitu penting dengan cara berpikir yang holistik.
Izinkan terlebih dahulu saya sentuh nama Capra. Seingat saya, ada dua kesempatan saya mendapatkan nama ini –yang membekas hingga sekarang—nama yang kemudian begitu mengena, dengan sejumlah karya yang selaras dengan daya tangkap keilmuan saya yang masih minimalis.
Kesempatan pertama kali saya tahu nama Capra, dari Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala, Darni M. Daud, Ph.D –menjadi Rektor Universitas Syiah Kuala periode 2006-2010 dan 2010-2014—yang saat itu berkenan memberi sambutan untuk buku kedua yang saya tulis saat masih menjadi mahasiswa, yang berjudul Mencari Bumi yang Tak Gelisah. Dalam pengantar tersebut, Darni M. Daud menulis, “Sejumlah ilmuan telah mengakui pentingnya membangun jaring kehidupan, termasuk dengan alam sekali pun, agar manusia dalam menggapai kedamaian. Fritjof Capra, misalnya, menyatakan betapa kehidupan di alam semesta ini didasari dan disarati nilai sistemik di mana antara satu komponen dengan yang lainnya memiliki benang merah yang tidak dapat dipisahkan. Ilmuan ini bahkan mengatakan bahwa suatu bidang ilmu yang telah dispesialisasikan sedemikian rupa ternyata tidak dapat dipahami lebih jelas tanpa menerima bantuan ilmu lain. Maka, seirama dengan Capra, realitas semakin banyak tumbuh bidang keahlian yang membutuhkan lintas ilmu yang sekarang merupakan sesuatu yang niscaya” (Tripa, 2002).
Kesempatan kedua, dan saya semakin terpesona, selalu mendengar nama ini dalam kuliah-kuliah guru saya, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo (dikenal sebagai begawan hukum progresif). Saat kuliah magister tahun 2008, saya hanya berkesempatan ikut kuliah bersama. Saat itu, Prof. Tjip hanya mengajar di program doktoral dan program sarjana. Soal deep ecology itu nyaris diulang-ulang dalam sejumlah kesempatan. Bahkan saat membaca gagasan hukum progresif, soal ini juga dibahas secara detail. Prof. Tjip yakin bahwa kehidupan yang dilihat dengan deep ecology ini, harus melibatkan semua entitas di kehidupan ini –dengan tanpa ada yang tercecer—mulai dari organisme, sistem sosial, dan lingkungan. Itulah yang disebut holistik. Saat semua ruang kehidupan dilihat dalam terhubung sebagai satu kesatuan.
Fitjof Capra memetakan bagaimana pada masa depan semua permasalahan saling terkait satu sama lain. Capra menggunakan ’ecology’ sebagai cermin bahwa ekosistem harus dilihat dengan holistik–bahwa cara pandang baru terhadap sesuatu masalah, tidak bisa dilepaskan dengan masalah lain yang selalu berkaitan dengannya. Cara pandang ini kemudian dipadukan saling berhubungan dengan proses pemahaman, penjelasan, hingga pemecahan masalah.
Saya tertarik pada cara Capra mempermasalahkan soal gagalnya para pemimpin kita dalam melihat berbagai masalah yang muncul secara berkait-hubung satu sama lain. Dan posisi semacam ini, oleh Capra dianggap secara lebih keras: cara pemimpin kita dalam melupakan generasi-generasi masa depan. Dalam konteks cara berpikir sistemik, sesungguhnya mereka sedang membunuh kita pelan-pelan (Capra, 1997).
Saya takut sekali, ketika membaca Capra, seperti sedang mendengar bagaimana perintah ibu kepada anak-anaknya untuk bersiap-siap ketika awan menggumpal hitam di selatan. Ibu saya, tentu tidak pernah membaca Capra. Tapi karena imun dan tak mau tahu, daya tangkap seorang ibu yang secara terhubung melihat relasi, jika ini maka itu, jangan-jangan kita sedang melupakan generasi masa depan. Apalagi kalau secara tidak terjaga akuntabilitas kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam, kita sedang berada dalam –apa yang disebut Capra—menunggu terbunuh secara pelan-pelan.
Saya ingin menyebut ini terkait “yang memulihkan”. Bisa saja terlalu jauh jika bicara ekologi. Energi ini, mudah-mudahan akan membangunkan kita dari tidur panjang untuk selalu peduli terhadap lingkungan –dan kebijakan yang lahir atas namanya. Jangan biarkan kita memiliki imun yang kuat dalam urusan lupa.
Entah kapan kita akan terjaga dari imun ini. Kita akan memberi waktu untuk mengawas berbagai kebijakan yang terkait dengan kehidupan kita. Alam ini, tentu bukan milik sekelompok orang yang memegang kekuasaan. Ragam dampak dari kerusakan alam, pasti milik kita. Milik semua. Kita sedang berada dalam ruang kehidupan itu.
Ya Allah, maafkan ketidakpedulian kami!





















