Oleh: Dr. Muna Yastuti Madrah, MA
Sosiolog, Dosen Fakultas Agama Islam UNISSULA.
Pandemi COVID-19 telah mengubah aspek-aspek kehidupan secara fundamental. Salah satu yang kita rasakan dalam bidang pendidikan. Pemangku kebijakan, institusi pendidikan, praktisi, Guru, Dosen seakan tergopoh-gopoh menghadapi situasi ini.
Meskipun pembelajaran berbasis TIK telah lama didengungkan dan menjadi tren dengan kemunculan berbagai platform belajar online, nampaknya lembaga pendidikan belum benar-benar siap dihadapkan pada situasi yang menuntut pembelajaran daring secara menyeluruh. Ketidaksiapan lembaga pendidikan tidak hanya pada infrastruktur teknologinya, akan tetapi sumber daya insani yang mempunyai peran penting didalam pendidikan.
Teknologi baru secara radikal akan mengubah apa yang orang pelajari, bagaimana kita belajar dan di mana kita belajar. Masa pandemi ini menjadi percepatan dimana semua orang dipaksa untuk melakukan penyesuaian secara cepat. Namun Apakah perubahan yang sangat cepat dari teknologi ini akan berdampak pada sifat pembelajaran dan literasi? Teknologi tentunya tidak hanya memberikan hasil (outcome), tetapi juga proses belajar mengajar dan pengalaman individu, termasuk kelas, interaksi , dan proses belajar. Pengalaman menggunakan teknologi secara umum adalah fenomena yang berbeda dengan bentuk-bentuk mengajar dan belajar secara tradisional. Karenanya, sudah merupakan kebutuhan bagi guru untuk memahami karakteristik media dan teknologi secara lebih mendalam dalam rangka merespon bagaimana budaya baru ini dibangun dalam proses belajar dan mengajar. Paradigma baru perlu dibagun sehingga tidak hanya semata-mata memindahkan pengajaran kelas aktual kedalam kelas virtual, padahal dibutuhkan metode dan strategi yang berbeda.
Kita meyaksikan beberapa gejala terkait proses literasi terutama apa yang dibutuhkan oleh siswa untuk belajar pada ruang kelas digital (virtual). Proses belajar mengajar tidak sekedar mentransferkan informasi yang dimiliki guru kepada siswa, namun bagaimana memastikan informasi tadi menjadi pengetahuan dan nilai bagi peserta didik. Hal ini menjadi tantangan pada pembelajaran moda daring. Sangat membosankan tentunya bagi siswa melihat dan mendengarkan guru berbicara lebih dar 30 menit pada kelas virtual. Sementara dalam hitungan detik mereka bias mencari informasi tersebut melalui internet. Padahal guru sendiri sudah melakukan persiapan lebih agar materi pelajaran tersampaikan kepada siswa, sementara hanya sebagian kecil yang akan benar-benar menjadi pengetahuan bagi mereka. Pendekatan pendidikan pada masa pandemi seharusnya menunjukkan komitmen pada konservasi budaya, yang selaras dengan kemajuan pengetahuan dengan karakteristik generasi saat ini. Menempatkan “mengajar” pada posisi sebagai sarana mediator dalam konservasi dan produksi pengetahuan. Meskipun dalam hemat saya, hal ini akan terjadi melalui apresiasi pertemuan personal, tatap muka, menghadapi dan menyelesaikan konflik secara langsung. Sangatlah sehat jikalau murid dan guru melakukan eksperimen dalam kelas sebagai ruang untuk bertukar budaya, pengalaman belajar yang akan membangun sensitifitas kemanusiaan. Terobosan membangun sensifitas kemanusiaan melalui fitur-fitur teknologi inilah yang perlu dipikirkan oleh guru dan dunia penddikan secara umum.
Guru dalam Pusaran teknologi
Beberapa lembaga dan mungkin orang per orang mulai digantikan peranya oleh seperangkat sistem informasi. Namun demikian generasi saat ini pun tidak serta merta mengadopsi secara radikal dan mengikuti trend teknologi. Sikap dari siswa lebih dipengaruhi oleh metode yang digunakan oleh guru. Peran guru justru semakin penting di situasi seperti ini. Selain memahami karakteristik siswanya, guru dituntut memahami karakteristik teknologi untuk lebih mengeksplorasi dinamika pedagogik, sosial dan budaya yang melekat pada kultur pendidikan. Guru juga perlu meningkatkan pengetahuan tentang pengalaman mengajar dan teknologi serta bagaimana pengaruh dari pengalaman ini dalam praktik mengajar dan bagaimana murid-murid belajar atau layanan teknologi dalam pendidikan dengan tidak menghilangkan nilai-nilai yang melekat pada tujuan pendidikan.
Guru diwajibkan memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, profesionalitas dan kecakapan sosial yang tidak dimiliki oleh teknologi. Guru dan teknologi harus berjalan selaras untuk saling melengkapi. Teknologi tidak akan berjalan tanpa manusia yang menggunakannya, sebaliknya guru dituntut memiliki kompetensi teknologi dalam menjalankan perannya. Teknologi informasi dan komunikasi memang diciptakan dengan kemampuan luar bisa untuk menampung begitu banyak data yang seolah tidak ada batasnya. Sebesar kemampuannya menampung, teknologi mampu memperbaharui dan menyebar dengan kecepatan luar biasa. Teknologi dirancang dengan kecerdasan buatan yang seolah-olah mampu mendeteksi apa yang ada dalam fikiran manusia. Namun teknologi tidak dibekali dengan hati untuk mengajarkan agama, budi pekerti, moral melalui contoh dan perbuatan.
Teknologi mampu mengajarkan dan memberikan informasi tentang segala sesuatu, namun mereka tidak mempunyai kemampuan mendidik siswa. Sebuah peran yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia dan peradaban. Bahkan ketika teknologi bisa menggantikan berbagai profesi di abad ini, peran guru tetap tidak terganti. Kita saksikan bagaimana keluhan orang tua dimasa pandemi ini, karena berbagai kekhawatiran. Tidak hanya kekhawatiran terkait pengetahuan dan ketrampilan yang seharusnya sudah di capai oleh anak-anak mereka, lebih dari itu kekhawatiran pada aspek-aspek lain yang tidak terwakili oleh teknologi. Harapan masyarakat akan kompetensi guru ditengah gelombang teknologi pada situasi pandemi seperti saat ini, melebihi harapan masyarakat tentang pendidikan pada masa-masa sebelumnya. Dalam pusaran teknologi di masa pandemi, guru harus tetap bertahan, berinovasi dan beradaptasi dengan teknologi dan pandemi. Diluar itu, urusan digitalisasi birokrasi dan administrasi pendidikan juga harus dipenuhi karena akan berdampak pada remunerasi dan kesejahteraan.[]