Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki akar sejarah ke beberapa negara tetangganya. Misalnya, dengan Indonesia (Nusantara), beberapa Kerajaan di negeri ini pernah melakukan ekspansi kekuasaannya sampai ke tanah Melayu (Malay Land).
Adapun dengan Singapura, Malaysia telah memberikan ‘tanahnya’ atas nama tanah Melayu bagi para pendatang dari daratan Cina. Sementara dengan Thailand, beberapa warga Melayu yang lebih merasakan Malaysia, juga telah dijadikan sebagai bagian dari Kerajaan Thailand. Dalam sejarah, Malaysia lebih dikenal sebagai Tanah Melayu atau Malaya. Disini konon merupakan salah satu tempat tumbuh dan berkembangnya puak Melayu. Di samping itu, di semenanjung tanah Melayu juga terdapat dua suku bangsa lainnya yang telah berkembang pesat yaitu Cina dan India. Di tanah Melayu pula, terdapat salah satu suku asli yang telah lama mendiami semenanjung ini, jauh sebelum migrasi orang Melayu yang dikenal dengan istilah Orang Asli.
Jadi, berbeda dengan negara tetangganya (Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, dan Indonesia), Malaysia dapat dikatakan sebagai ”panggung” tempat pertemuan berbagai identitas dan etnisitas selama ratusan tahun. Jika di Indonesia, bangunan identitas keindonesiaan lebih banyak terdiri dari suku tempatan, sementara di Malaysia, identitas kebangsaan harus dibagi sama rasa dan sama rata. Inilah yang mendorong buku ini ditulis yakni ingin mengetahui apa yang menjadi faktor penting dalam sejarah identitas dan etnisitas di Malaysia.Walaupun sudah begitu banyak kajian mengenai identitas dan etnisitas Malaysia, namun dalam bahasa Indonesia, kajian tentang topik ini masih jarang. Jika di Thailand, model pemerintahan monarkhi-Budha dan telah berjalan selama puluhan tahun, sementara di Malaysia model monarki-Islam yang telah memperlihatkan bagaimana keserasian pemerintahan dan keislaman, khususnya setelah negara ini merdeka pada 31 Agustus 1957. Sementara, puak Cina di Singapura telah berhasil mengasingkan Melayu dari panggung politik, di Malaysia puak Cina tetap bertahan dan dipertahankan, baik dalam persoalan ekonomi maupun sosial-politik. Pada saat yang sama, jika di Brunei Darussalam, masih mempertahankan sistem kerajaan Melayu-Beraja, maka di Malaysia kontestasi dalam sistem pemerintahan cukup mengundang sejumlah perdebatan politik, mulai dari isu perkauman hingga bentuk negara. Jadi, Malaysia memang merupakan satu negara yang unik dari segala hal.
Awal perkenalan dengan Malaysia, ketika saya menginjakkan kaki pada tahun 2000. Saat itu, situasi politik di Malaysia sedang memanas, karena dampak krisis ekonomi, persoalan Anwar Ibrahim, dan perdebatan mengenai keinginan Negeri Kelantan dan Terengganu untuk memberlakukan Hukum Islam. Di samping itu, persoalan lainnya yang amat mencuat adalah mengenai negara Islam. Sejak tahun tersebut, berulang kali keluar masuk Malaysia, mulai dari menjalani studi, transit, pelisiran, dan penelitian. Semua aktivitas ini tentu saya lakukan untuk memahami persoalan yang mengganjal saya yaitu bagaimana persepsi Melayu di kalangan orang Malaysia. Tentang sudah banyak sekali kajian yang mengkaji persoalan identitas Melayu. Ada yang mencoba melakui pendekatan sejarah, sosiologi, arkeologi, antropologi, dan filologi. Di tengah-tengah disiplin ilmu tersebut, Melayu ditempatkan dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Jadi, buku ini bukan hendak menulis sejarah Melayu, melainkan ingin mengkaji bagaiman proses evolusi ’Melayu’, ’Tanah Melayu,’ ’Malaya,’ ’British Malaya,’ ’Malaysia’, ’Bumiputera’, ’Trully Asia,’ dan yang terakhir ’1Malaysia.’ Inspirasi menulis beberapa esai tentang Malaysia, datang ketika membaca karya Joel S. Khan – guru saya – yang berjudul Other Malays. Dalam buku ini, Joel mengkaji secara sosial sejarah dan antropologis bagaimana perjalan konsep Melayu dan bagaimana orang Melayu di Malaysia tidak mengakui orang lain yang berasal dari Tanah Melayu yang dianggap sebagai Other Malays.
Adapun kegusaran kedua adalah curahan hati Mahathir Mohammad pada tahun 2002 yang terus mengkritik Melayu. Saat Mahathir memberikan ceramah dalam acara Perhimpunan Agung UMNO pada 20 Juni tahun tersebut, saya mencoba menukilkan kekecewaan Mahathir terhadap puak Melayu. Dalam ceramah tersebut, dia menangis karena kecewa tidak mampu membawa Melayu pada sebuah bangsa yang dia inginkan:
Kerana perpecahan di kalangan mereka, kuasa politik mereka pun sudah susut. Mereka belum sedar akan hakikat ini tetapi hari ini apabila hak dan kedudukan mereka dicabar secara terbuka mereka tidak berupa untuk mempertahankan diri mereka. Mereka mencari perlindungan daripada kuasa politik. Tetapi kerana perpecahan kuasa politik mereka tidak sebegitu kuat seperti dahulu. Dan satu hari kuasa ini boleh luput sama sekali.
Ini tidak mengapa jika individu Melayu sudah menjadi orang yang gagah yang memiliki kebolehan yang tersendiri, kebolehan bersaing tanpa keistimewaan yang hari ini mereka anggap sebagai hak mereka. Tetapi mereka bukan sahaja tidak menjadi individu yang gagah; sebaliknya mereka tidak sanggup menghadapi persaingan barang sedikit pun. Tanpa pengalaman bersaing dengan orang lain, jika perlindungan tiba-tiba hilang maka tidak mungkin sama sekali mereka survive.
Dalam penggalan pesan ”kecewa” Mahathir pada orang Melayu bisa diterjemahkan bahwa dia telah gagal membina mental orang Melayu untuk bisa tampil gagah. Bahkan disini, Mahathir menulis orang Melayu dalam kata ”mereka”, bukan ”kita” atau ”kami.” Bahkan, Mahathir seperti menyindir diri sendiri karena telah gagal membangun orang Melayu. Dalam kalimah ini, Mahathir menunjukkan puak non-Melayu sebagai ”orang lain.” Secara tersirat, bisa ditafsirkan ”orang lain” tersebut adalah India dan Cina. Tidak hanya disitu, Mahathir juga menyinggung bagaimana orang Melayu tidak bisa ”bersatu” satu sama lain. Suhaimi Mokhtar dari Kumpulan Utusan-Malaysia, ketika melihat kegelisahan Mahathir, menulis sebagai berikut:
Sebagai Perdana Menteri dan pemimpin, beliau … dianggap pemimpin kaum-kaum-kaum lain, tetapi adakah beliau gagal memimpin orang-orang Cina dan India … beliau telah berjaya memandu dan memimpin rakyat keturunan lain k[a]rena beliau bukan hanya peimpin Melayu.
Kenapa beliau berjaya memimpin kaum lain tidak kaum Melayu? Jawa[b]annya k[a]rena kaum-kaum lain bukan setakat berjaya dalam lapangan-lapangan tertenty terutama ekonomi dan pendidikan tetapi mereka tetap menyokong kerajaan terutama dalam pilihan raya November 1999. Orang Melayu diberi segalanya tetapi menentang kerajaan.
Dr. Mahathir kecewa k[a]rena beliau tidak dapat membawa orang-orang Melayu dalam satu persatuan dan kesatuan. Orang Melayu terpecah dua secara dasar dan besarnya. Mereka yang menyokong kerajaan yang dipimpin UMNO, dan mereka yang menentang establishment kerajaan Barisan Nasional (BN) yang dipelopori UMNO.
Harus diakui, selama Malaysia merdeka, puak Melayu memang mendapatkan perlakuan khusus, baik secara politik maupun ”kebijakan ekonomi.” Sebagai PM dia menuturkan: ”Orang Melayu sudah berasa begitu terselamat dengan kemajuan yang sedikit yang mereka telah capai sehingga bukan sahaja mereka tidak mahu meningkatkan lagi usaha mereka atau meneruskan usaha di tahap sekarang tetapi ramai dari pada mereka sendiri yang bosan dengan usaha ini dan sebenarnya menghalang proses memajukan orang Melayu.” Lagi-lagi Mahathir menyebutkan ”mereka” untuk orang Melayu yang sedang bermasalah dengan ketidakmauan ”mereka” untuk terus maju. Tentu saja, ungkapan Mahathir bisa menjadi semacam kritikan dari seorang pemimpin yang telah menjadi PM selama dua puluh tahun lebih. Mahathir tetap tidak mau memanggil ”kita” bagi puak Melayu. Ini menyiratkan bahwa dia sama sekali ”tidak mau” menjadi Melayu seperti ”mereka.” dalam menyampaikan pidato ini, Mahathir berulang kali menyeka air mata. Karena dia merasa ”gagal” membina mentalitas orang Melayu selama kepemimpinannya.[]