Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Celakanya, di Indonesia pada saat bersamaan muncul satire yang bernama “intel melayu”, yang dipersepsikan oleh sebagaian masyarakat dengan sosok petugas serem, bertubuh kekar, berkumis tebal, berambut cepak, berkacamata hitam dan pistol di pinggang di balik baju-(Soegirman, 2014: 5).
Dalam esai ini, saya ingin menarasikan tentag beberapa literature kajian intelijen, sebagai upaya untuk memperlihat pekerjaan akademis dengan perkembangan intelijen di Indonesia. Di sini hanya beberapa karya saja yang disenaraikan. Misalnya, karya A.M. Hendropriyono, Filsafat Intelijen Negara Republik Indonesia dan Operasi Sandhi Yudha yang mengisahkan tentang persoalan intelijen dari perspektif pelaku dan pelaksana tugas dari dunia kemiliteran hingga sebagai Kepala Badan Intelijen Negara Republik Indonesia. Studi ini juga berbeda dengan karya Kunarto, Intelijensi Pengertian dan Pemahamannya, dimana ditulis oleh seorang yang pernah memahami betul dunia intelijen dari kepolisian. Karya ini juga tidak mirip dengan studi Peter Kasenda mengenai Zulkifli Lubis: Kolonel Misterius Balik TNI AD yang merupakan Bapak Intelijen Indonesia kelahiran Banda Aceh tanggal 26 Desember 1923. Studi ini juga tidak serupa dengan karya Ken Conboy mengenai peran Badan Intelijen Negara dalam buku Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Namun, beberapa data mengenai intelijen di Indonesia, sangat boleh jadi merujuk pada karya-karya tersebut, untuk memperkuat argumen mengenai tekhnik operasi intelijen (spionase) yang dijalankan di Indonesia.
Misalnya, studi Supono Soegirman yang berjudul Etika Praktis Intelijen yang membeberkan berbagai persoalan intelijen dari kisah-kisah yan diangkat oleh penulis sebagai bahan analisa. Karya ini benar-benar mengungkapkan bagaimana teknik operasi intelijen di lapangan. Sebelum menerbitkan buku tersebut, Supono telah menulis buku Intelijen: Profesi Unik orang-orang Aceh. Buku ini dapat dikatakan sebagai langkah awal bagi penstudi intelijen yang disajikan secara sederhana, yaiti bagaimana proses rekrutmen, jenis agen, pola pengambilan keputusan, dan hal-hal teknis lainnya yang dilakukan dalam operasi intelijen. Selain karya tersebut, studi yang dilakukan oleh Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati dalam Komunikasi dalam Kinerja Intelijen Keamanan. Studi ini merupakan hasil disertasi penulis yang lebih memfokuskan pada operan intelijen di kalangan Polisi Republik Indonesia (POLRI). Adapun buku lain yang menguraikan tentang strategi di dalam menjalankan pertahanan dan keamanan nasional adalah karya yang berjudul Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional yang ditulis oleh Daoed Joesoef. Buku ini menawarkan paradigma pertahanan nasional Indonesia serta persoalan-persoalan keamanan yang harus dipikirkan oleh peminat atau pemangku pertahanan negara Indonesia. Sementara itu, karya terkini yang membawah arah masa depan kepemimpinan di Indonesia dapat dibaca dalam buku Menggagas Indonesia Masa Depan, karya Djoko Santoso.
Adapun karya-karya yang paling banyak dirujuk di dalam studi pertahanan dan keamanan, tidak terkecuali intelijen adalah karya A.H. Nasution yang berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Konon, karya Jenderal Besar ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan terus menjadi perhatian utama, di dalam menyusun strategi pertahanan, tidak terkecuali dalam operasi intelijen. Untuk studi klasik mengenai persoalan intelijen adalah pemikiran Sun Tzu yang memberikan pengaruh terhadap studi pertahanan hingga dewasa ini. Untuk memahami hasil operasi intelijen, salah satu karya yang paling bagus adalah hasil penelitian disertasi doktor Busyro Muqoddas mengenai pembentukan Komando Jihad oleh aparat intel pada era Orde Baru.
Mengkaji dunia intelijen atau spionase, tentu saja tidak semata-mata berasal dari karya-karya mengenai intelijen. Namun juga dari berbagai wawancara, secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan berbagai unsur dan lapisan. Wawancara dalam bahasa intel kerap disebut dengan istilah sharing (tukar menukar informasi/pandangan/analisa). Dengan nara sumber, saya selalu menempatkan diri sebagai seorang peneliti, dimana mereka, walaupun tidak semuanya, memahami betul sepak terjang dunia intelijen. Dari akademisi juga dihimpun data mengenai pemikiran mereka tentang operasi intelijen. Uniknya, mereka yang studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ternyata mengerti betul bagaimana operasi intelijen dilakukan pada suatu kawasan. Para aktivis pun, baik yang sudah masuk dalam jaringan intelijen, maupun yang menjadi target potensi menjadi intel juga memiliki perspektif mereka mengenai dunia intelijen. Anehnya, mereka juga paham akan pola-pola kerja intelijen, baik intelijen dalam negeri maupun intelijen luar negeri. Namun, ketika sharing dengan kalangan tersebut, satu hal yang mengusik saya adalah kebanyakan orang memahami intelijen itu di dalam arti spionase. Padahal, spionase adalah salah satu bagian dari ilmu intelijen.
Membaca karya-karya di atas memperlihatkan bagaimana operasi intelijen di Indonesia dilakukan di dalam menanggapi berbagai persoalan, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Harus diakui bahwa negara yang kuat, tentu saja memiliki jejaring organisasi intelijen yang utuh dan saling berkoordinasi antara satu sama lain. Jika dilihat jejaring intelijen negara luar, sebagaimana terlihat dalam karya Thomas Gordon untuk kasus MOSSAD dalam judul Gideon’s Spies: The Secret History of the Mossad, terlihat bahwa kebangunan negara Israel, sangat ditentukan oleh jaringan intelijen mereka. Karya ini memperlihatkan bagaimana operasi demi operasi intelijen MOSSAD di seluruh dunia. Dalam konteks, Amerika Serikat, karya-karya mengenai sejarah intelijen dan operasi intelijen negara adi daya ini telah banyak dikupas. Misalnya, karya Lisa Krizan, Intelligence Essential For Everyone yang memaparkan apa dan bagaimana operasi intelijen itu sebenarnya. Demikian pula, studi mengenai jaringan Five Eyes kerja sama yang cukup erat antara negara sekutu Amerika, seperti yang terlihat dalam James S. Cox, Canada and the Five Eyes Intelligence Community. Hal yang sama juga dilakukan oleh negara Rusia yang membangun jaringan intelijen yang cukup disegani, seperti yang terlihat dalam studi Fredrik Westerlund Russian Intelligence Gathering for Domestic R&D – Short Cut or Dead End for Modernisation? Salah satu jejaring intelijen yang juga cukup diperhitungkan adalah Cina. Saat ini, studi mengenai operasi intelijen Cina sudah mulai banyak ditampilkan ke publik, seperti terlihat dalam studi Tobias Feakin, Enter the Cyber Dragon: Understanding Chinese intelligence agencies’ cyber capabilities.
Tentu saja masih banyak studi mengenai organisasi intelijen yang telah ditampilkan ke hadapan publik. Di Indonesia, ada juga para penulis yang berusaha mengupas jaringan intelijen asing seperti yang terlihat dalam studi FX Sutopo. Dinamika Intelijen Dunia: Membongkar Operasi Rahasia atau A. Zaenurrofik, Operasi Gelap CIA: Sepak Terjang CIA Menguasai Dunia. Jadi, dapat dipastikan bahwa kehidupan dunia modern ini adalah kehidupan yang dipenuhi dengan berbagai strategi dan operasi intelijen yang dilakukan di setiap negara, baik yang maju, berkembang, dan sedang berkembang. Jadi, mengkaji persoalan intelijen, pada prinsipnya bukanlah kajian mengenai studi kerahasiaan. Sebab penopang penting dari kekuatan intelijen bukanlah hanya kekuatan militer, tetapi juga kekuatan para ilmuwan yang menjadi penopang dari kebijakan negara. Semakin canggih dan hebat suatu negara, akan semakin canggih dan hebat pula jejaring intelijen. Demikian pula, semakin maju kekuatan intelijen sebuah negara, juga ditandai dengan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Karena itu, kait hubungan intelijen – kebijakan negara – ilmu pengetahuan adalah ranah studi intelijen. Tiga hal inilah yang menjadi penopang argumen utama studi ini dilakukan. Namun menurut Hendropriyono, gambaran ilmu intelijen adalah teori penyelidikan (observation/detection), teori pengamanan (security/concealment) dan teori penggalangan (conditioning/pre-conditioning). Namun, studi dalam karya yang sedang dibaca ini tidak akan masuk pada persoalan detail, karena bukan wilayah keilmuan penulis.
Dengan kata lain, perlu karaya menganalisasi tentang operasi intelijen atau menstudi sebuah rahasia suatu dinas intelijen. Tetapi bagaimana melihat studi intelijen ini sebuah kajian akademik, sebagai salah satu bidang keilmuan, tentang pengelolaan kecerdasan manusia untuk kepentingan strategis suatu negara. Diharapkan, dengan kehadiran studi ini dapat menunjukkan kait kelindan intelijen – kebijakan negara – ilmu pengetahuan dalam membangun suatu negara. Sebagai contoh, A.M. Hendropriyono dalam Filsafat Intelijen menulis:
[A]nggota BIN semula direncanakan diisi oleh para bekas menteri, duta besar, dirjen, dan lain-lain yang setingkat. Mereka dibantu oleh para pakar berbagai disiplin ilmu, untuk menjamin ramalan atau perkiraan intelijen (Kir Intel) yang disampaikan kepada Kepala BIN selain strategis juga bernuansa ilmiah.
Inilah alasan mengapa disebut intelijen ada dimana-mana. Intelijen bukan lagi pada persoalan mengumpulkan atau menggalang serta membikin huru hara, tetapi juga bagaimana mereka mampu akrab dalam dunia ilmu pengetahuan. Karena itu, negara yang kuat, sebenarnya ditopang oleh tiga hal di atas: intelijen, kebijakan negara, tingkat penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, tentu saja tidak mungkin diabaikan keberhasilan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan institusi intelijen di dalam merumuskan strategi-strategi yang menjadi pedoman bagi pelaksanaan keamanan negara. Inilah maksud dari falsafah intelijen ada dimana-mana.[]