Oleh: Novendra Deje.
Analis Geopolitik di Komunitas Studi Agama dan Filsafat (KSAF).
Setelah dua puluh tahun lamanya, Amerika Serikat bersama NATO pada akhirnya harus angkat kaki dari Afghanistan dengan tanpa capaian hasil yang jelas, selain menyisakan kehancuran di sana. Mereka telah datang dalam misi invasi militer terhadap negara itu atas nama “War on Terror,” hingga Afghanistan porak-pranda melebihi dari sebelumnya, dalam kecamuk perang saudara. Sementara Taliban yang menjadi sasaran penghapusan dari invasi tersebut, justru menunjukkan bahwa mereka secara devacto adalah kekuatan nyata, yang tak bisa disingkirkan begitu saja bagi desain masa depan Afghanistan. Lalu China, setelah militer Amerika angkat kaki, tampaknya akan lebih leluasa untuk memajukan capaian skema “Belt and Road Initiative” yang menempatkan Afghanistan bagian dari komponen utama dari jalur perlintasan ekonominya.
Narasi “War on Terror” yang terus didengungkan Amerika seantoro dunia pasca serangan teroris 9/11 (2001), telah mendorong kebijakan invasi militer simetris negara itu terhadap Afghanistan, dan juga Irak. Washington mengkampanyekan serangan militer untuk menghancurkan jaringan teroris Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Presiden George W Bush ketika itu menyatakan Al Qaeda sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan 9/11. Media arus utama — yang narasinya memang dalam kontrol Pentagon — memandu opini publik untuk meyakini bahwa rezim Taliban menyediakan Afghanistan sebagai tempat perlindungan yang aman bagi para teroris. Lalu, framing narasi dirajut sedemikian rupa untuk menempatkan kedua kelompok itu (Taliban dan Al Qaeda) sebagai satu entitas yang sama.
Terkait Taliban dan Al Qaeda
Saya ingin kita lebih kritis untuk memahami posisi Taliban dan Al Qaeda, terkait dengan peristiwa serangan 9/11. Karenanya, kita perlu menyinggungnya secara sekilas disini. Pertama, sebagaimana yang diungkapan Josh Scott, Talibat tidak terbukti sama sekali memiliki peran apapun dalam peristiwa 9/11. Mereka juga tidak memiliki pengetahuan atas itu sebelumnya, apa lagi untuk terlibat dalam perencanaannya. Taliban bahkan secara terbuka mengutuk aksi teroris 9/11 tersebut. Kontrol narasi oleh Amerika seputar Afganistan — melalui media arus utama — telah membuat Taliban begitu terpojok dalam framing penyatuan posisinya yang dicitrakan sebagai entitas yang sama dengan Al Qaeda.
Hal yang tak begitu terekspos informasinya ke publik, bahwa Taliban sebenarnya telah memberikan banyak alternatif pilihan kepada pihak Amerika untuk mengadili Osama Bin Laden atas kejahatannya. Kedua, bahwa Taliban dan Al Qaeda juga sama sekali berbeda antara satu sama lain. Masing-masing dari keduanya memiliki tujuan, ideologi dan sumber rekrutmen yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk pada makalah Josh Scott yang ditulis di Stanford University dengan judul “The Differences Between the Taliban and Al Qaeda,” Maret 2012.
Taliban dengan motif sejarah berdirinya, memiliki perspektif lokal, dengan cakrawala yang terbatas, berupaya langsung menangani masalah yang dihadapi internal negaranya di lapangan. Mereka adalah kalangan penduduk asli Afghanistan yang ingin memperbaiki Afghanistan saat dilanda perpecahan antar kelompok, dan tercabik oleh perang saudara pasca menghadapi 10 tahun invasi Unisoviet. Bagaimanapun, Taliban telah berperan menyatukan antar friksi diantara banyak kelompok yang sebelumnya hanya bertindak untuk kepentingan masing-masing. Mereka. Taliban juga memerangi para panglima perang yang kejam, yang kerap menindas warga Afghanistan itu sendiri.
Sementara Osama Bin Laden — dengan Al Qaeda-nya — berupaya membentuk legiun jihad dari kalangan Arab-Afghanistan di sana, dan dipersiapkan untuk melancarkan perang di berbagai belahan dunia atas nama “jihad Islam.” Kehadiran Osama ke Afghanistan, semenjak awal adalah dalam misi jihad Islam transnasional. Lalu, ia ingin membangun basis utama Al Qaeda yang kuat di sana, meskipun banyak terjadi penentangan oleh para tokoh setempat atas peran dan misi yang dimainkannya, termasuk penentangan dari Taliban sendiri. Dan perlu segera di garis bawahi, bahwa Taliban secara sangat jelas sama sekali tidak mengambil bagian apapun dari visi dan misi jihad transnasional Al Qaeda, termasuk segala sesuatu terkait pra dan pasca serangan 9/11.
Kembali pada tujuan invasi militer Amerika yang membual tentang misi untuk mencapai keamanan dan perdamain global, kebijakan itu justru seperti menabur garam pada luka rakyat Afghanistan yang memang telah lama menderita oleh rentetan perang panjang sebelumnya, sejak era Perang Dingin berlangsung. Pasalnya, Amerika tidak membedakan antara Taliban dengan Al Qaeda. Hal ini disebabkan oleh tujuan lain dari invasinya. Selain memerangi Al Qaeda, invasi juga ditargetkan untuk mengubah Afghanistan menjadi negara liberal sekuler yang menginduk ke Barat. Tujuan itu secara otomatis tentu harus menyingkirkan Taliban yang berupaya menjaga kedaulatan negaranya dengan ideologi politik lokal dan agama.
Secara sangat jelas, invasi militer Amerika dari sisi dalihnya, menjadi layak dimasukkan dalam soal sebagai misi yang kesia-sia. Tidak ada operasi teror dari jaringan teroris transnasional yang telah dimutilasi gerakannya dari invasi militernya bersama NATO di Afghanistan. Bahkan terorisme semakin menggila dan meluas operasinya ke berbagai belahan dunia, tidak terkecuali dari sel-sel teroris Al Qaeda itu sendiri. Jaringan itu masih saja melenggang malang ke berbagai kawasan menjalankan misi terornya atas nama jihad Islam dalam skala global. Menariknya, kita jarang menemukan data para teroris transnasional adalah warga asli Afghanistan, kecuali warga Afghanistan keturunan Arab yang memang menjadi sasaran rekrutmen Al Qaeda di sana.
Hingga bergulirnya fenomena “Arab Spring” yang telah membakar Suriah, Irak dan juga Libya ke dalam api konflik, adalah bukti lain dari kegagalan misi perang melawan teror di Afghanistan. Jelas aspek ini mesti dipertimbangkan, mengingat Afghanistan — yang dianggap basis dan pusat kepemimpinan Al Qaeda — telah dianggap sebagai bagian dari sumbu utama radikalisasi, transmisi dan distribusi jaringan teror di berbagai belahan dunia. Dan jaringan teroris Al Qaeda, ataupun pecahannya (seperti halnya ISIS), terlibat aktif mengobarkan teror Arab Spring. Invasi militer Amerika tersebut tidak berkonstribusi apa-apa dalam menahan dan atau memutuskan matarantai jaringan terorisme transnasional. Dalam banyak indikasi dan bukti, tentang peran yang dimainkan Amerika dan sekutunya di tiga negara yang tengah berjibaku melawan serangan terorisme itu, War on Terror telah lebih terdengar sebagai omong kosong belaka.
Washington ingin menggiring Afghanistan untuk menjadi negara sekuler liberal, berarti perlu memusnahkan kekuatan Taliban. Demi tujuan itu, Amerika telah menanamkan rezim bonekanya di Kabul, menjadikannya sebagai pemerintahan yang diakui di dunia Internasional. Namun rezim tersebut kini menghadapi dilema dalam menangani situasi bagi keberlanjutan eksistensinya. Pasalnya, setelah militer Amerika mulai angkat kaki dari sana, wilayah-wilayah strategis pun mulai dikuasai kembali oleh Taliban.
Diperkirakan, telah banyak personil militer yang selama ini berperang di pihak pemerintah melarikan diri ke negara-negara tetangga, disebabkan oleh kekuatiran terhadap serangan balasan dari Taliban. Khassan Sultanov, seorang Komandan utusan Tajikistan di Collective Security Treaty Organization (CSTO), mengkonfirmasi bahwa ada sekitar 1.500 personil militer Pemerintah Afghanistan telah melarikan diri menyeberang ke negaranya. Namun Taliban sendiri telah menyatakan dengan terbuka bahwa mereka tidak akan melakukan pendekatan militer untuk melawan Pemerintah Kabul saat ini.
Militer Amerika, saat meninggalkan pangkalan basisnya di bandara Bagram, yang terbesar di Afghanistan, bahkan tidak memberi tahukan kepada otoritas baru yang akan menggantikan mereka di sana. Tidak ada fasilitas militer yang berarti ditinggalkan di sana, semua diangkut bersama personil militernya. Jika pun ada, seperti sejumlah kendaraan sipil dan lapis baja yang berat untuk dibawa, sebagaimana dilaporkan oleh media Associated Press (6/7).
Fasilitas peninggalan militer Amerika itu pun tampak sia-sia bagi militer Pemerintah Afghanistan saat ini, sebab tidak bisa digunakan. Tidak ada kunci yang ditinggalkan untuk bisa mengidupkan dan mengoperasikannya. Dilaporkan, militer Amerika menyelinap pergi meninggalkan bandara Bagram pada dini hari, saat setelah memadamkan listrik di pangkalan itu. Pihak militer dari Pemerintah Afghanistan menyebut itu seperti memberi sinyal kepada penjarah, yang mungkin maksudnya adalah Taliban atau kelompok lain, untuk masuk bebas ke areal kamp, tanpa penjagaan.
Mulai dari saat kedatangan yang buruk, militer Amerika pun telah mengakhiri kehadirannya dengan cara yang buruk pula. Tanpa melakukan serah terima formal pada otoritas Afghanistan yang mereka percaya untuk menempati pangkalan dan pendelegasian hak menggunakan fasilitas yang ditinggalkan, itu menunjukkan suatu bentuk kepergian dengan kemarahan atau mungkin rasa malu (kalau ada). Artinya, tujuan dari kehadiran militer mereka di sana berakhir dengan kekecewaan, dengan tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
Kini saatnya China untuk hadir dengan pendekatan skema hubungan yang lebih bermartabat dan beradab serta telah lama dirintis, yaitu melalui kerja sama membangun infrastuktur ekonomi di Afghanistan. China telah mengklaim kemitraannya dengan Afghanistan setara dan pada ruang kerja sama pembangunan untuk kepentingan bersama.
Pendekatan China Bangun Kemitraan Dengan Afganistan
Kehadiran China di Afghanistan tentu bukan perkara yang tiba-tiba, bukan hanya setelah invasi militer Amerika dan NATO dinyatakan berakhir di sana. Melainkan telah jauh hari, setidaknya, setelah H.E Chief Executive Afghanistan Dr Abdullah melawat ke Beijing pada Mei 2016 lalu. Di sana Afghanistan dan China pun menandatangani Nota Kesepahaman untuk kedua negara untuk meningkatkan kerja sama dalam berbagai bidang di bawah skema proyek infrastruktur ekonomi dan perdagangan Belt and Road Initiative, atau yang disingkat dengan “BRI”.
Penting untuk diketahui, China telah merancang peta jalan BRI dalam skala regionalnya dengan pembangunan sabuk Utara melalui Asia Tengah dan Rusia ke Eropa. Sabu Tengah melintasi Asia Tengah dan Asia Barat menuju Teluk Persia dan Mediterania. Sedankan untuk sabuk Selatan mulai dari China menuju Asia Tenggara, Asia Selatan dan Samudera Hindia. Sementara Afghanistan telah diharapkan pada posisinya untuk dapat berkonstribusi pada tujuan yang lebih luas dari pentas Road Silk ini.
Perlu segera disinggung reaksi Amerika atas kehadiran China di Afghanistan, untuk menandai telah lama berjalannya prakarsa BRI di negara itu, sejak Presiden Xi Jinping mengumumkannya di Jakarta pada tahun 2013 lalu. Kolonel Larry Wilkerson — sebagai salah seorang yang paling dalam terlibat saat pengambilan keputusan untuk menginvasi Afghanistan — pernah memberi tahukan aspek strategis lain dari upaya mempertahankan kehadiran militer Amerika bersama aliansi NATO di Afghanistan, yaitu untuk memberi gangguan secara militer terhadap jalannya proyek BRI. Atau menyediakan markas bagi operasi intelijen Amerika dalam upaya mengeksploitasi ketegangan rasial di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang China.
Sebagaimana termuat dalam op-ed jurnalis Bradley Blankenship, tidak diketahui sejauh mana kematangan perhitungan bagi pertimbangan aspek strategis memberi gangguan terhadap China sepeninggal Wilkerson. Bagaimana pun, Amerika pada dua periode Pilpres terakhir telah disapu badai ketidak stabilan politik internal. Kontestasi antar faksi politik di Washington, masing-masing ingin mengambil chek poin di Afghanistan demi dapat mengkapitalisasi pengaruh dalam kampanye elektoral, sehingga nasib dari aspek strategis itu menjadi tidak begitu jelas nasibnya.
Tampaknya, seperti yang terlihat hari ini, aspek strategi untuk memberi gangguan terhadap China di dan melalui Afghanistan dapat dinyatakan telah gagal untuk berjalan secara efektif. Setelah militer Amerika angkat kaki dari sana, terbuka ruang lebih leluasa bagi China untuk memajukan setiap langkah BRI sebagai platform perdagangan dan ekonomi yang melibatkan Afghanistan. Masa depan Afghanistan telah dipertaruhkan dengan konsekuensi risiko terburuk yang sangat tinggi oleh Amerika. Hanya dengan justifikasi melalui narasi War on Terror, misi berakhir dengan menyisakan puing-puing kehancuran. Kini saatnya kita mencoba mengikuti konsep pendekatan China di Afghanistan, akan seperti apa negara itu untuk satu dekade kedepan.
Pada Agustus 2016, kereta api kargo China berangkat dari belahan barat negara itu menuju Afganistan. Kargo yang mengangkut barang senilai USD $4 juta itu tiba di pelabuhan darat Hairatan setelah menempuh jarak sekitar 7.300 Kilometer, selama 14 hari perjalanan, melalui jalan berliku melewati rute Kazakhstan dan Usbekistan. Perjalanan perintis tersebut menandai tonggak baru konektivitas penting bagi dimulainya kehadiran proyek BRI di Afghanistan. Dari itu, kemudian berlanjut dengan rencana menghadirkan kereta api khusus China-Afghanistan, ditargetkan dapat memangkas biaya perdagangan antar kedua negara hingga 30 persen.
China tidak hadir ke Afghanistan dengan derap langkah sepatu serdadu, sembari menjulurkan laras senjata. Tidak seperti torehan kehadiran Amerika ke negara itu yang membawa misi militer intensif untuk mengubah negara dan menyingkirkan kekuatan yang berseberangan dengan kepentingan Washington. Menjadi sangat wajar, ketika Amerika terus dilayani dengan bisingan deru senjata dan kekerasan sebagai respon dari mereka yang menginginkan kedaulatan atas negaranya.
Washington tidak pernah serius dan sabar untuk membawa Taliban dapat duduk setara di meja perundingan untuk mendilogkan masa depan Afghanistan. Sementara China melakukannya. Beijing telah melakukan pembicaraan dengan Taliban, walaupun rincian hal-hal yang didiskusikan diantara mereka tidak diungkap secara publik. Konfirmasi dari pihak Pemerintah India menyebutkan China dan Taliban membicarakan mengenai pembangunan infrastruktur Afghanistan yang hancur, dengan pendanaan melalui jalur Pakistan yang menjadi mintra dan sekutu terkuat China di kawasan itu.
Mengacu pada MoU antara Kabul dan Beijing, “kedua belah pihak akan bersama-sama mempromosikan kerja sama di Belt and Road Initiative dalam upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan bersama, dan mengkalkulasi keuntungan dari hubungan politik yang solid, komplementaritas ekonomi, pergukaran masyarakat-ke-masyarakat menjadi kerja sama pragmatis dalam mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi”.
Sebagaimana dilaporkan pada bagian halaman Regional Economic Cooperation Conference On Afghanistan (RECCA) pada situs Ministry of Foreign Affairs Islamic Republic of Afghanistan, sejumlah kegiatan akademik bersama dan kunjungan lapangan pun telah diadakan, baik di China maupun di Afghanistan dalam skema BRI. Hal itu termasuk menyepakati kerangka kerja sama tiga pihak, antara; China, Pakistan dan Afghanistan untuk misi mempromosikan skema kerjasama dalam platform BRI dan RECCA.
Saya terus mengulang untuk mengatakan, sepenting apapun perang harus dilancarkan, tetap saja diharapkan ada saat berakhirnya. Pembangunan peradaban manusia akan harus kembali dengan jalan pendekatan kebudayaan, dialog antar pemahaman dan kerja sama saling pengertian diantara berbagai perbedaan. China — sejauh ini — tampak melakukanya dengan baik di Afghanistan. Sedang Amerika telah memberi kehancuran melebihi dari sebelumnya terhadap berbagai aspek di negara itu. Perbedaan pendekatan yang jauh berbeda diantara dua kutub kekuatan dunia hari ini mengkonsekuensikan hasil yang berbeda pula. Namun yang terpenting untuk disingkap, mana di antara duanya lebih bermartabat dan menghargai hak kedaulatan rakyat Afghanistan atas negaranya.
Kini Amerika, di bawah kepemimpinan Joe Biden, telah memutuskan militernya untuk angkat kaki dari Afghanistan setelah kehadiran selama 20 tahun lamanya. Pergi dengan tidak ada sesuatu yang dapat dibanggakan rakyat Afghanistan untuk dapat mengucapkan rasa terima kasih. Kecuali rasa terima kasih karena telah bersedia pergi untuk mengurangi rasa sakit yang telah lama mereka derita, sembari meratapi menjamurnya puing-puing kehancuran serata negeri mereka yang diwariskan Washington ke tangan Kabul.[]