Oleh: Arfiansyah.
Penulis adalah tenaga pengajar di Prodi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry dan Peneliti di ICAIOS.
Kä ù dalam (Aceh) atau ì was (Gayo) atau sudah di dalam adalah ekspresi yang umum digunakan oleh masyarakat di Aceh untuk mengatakan bahwa seseorang telah menjadi bagian dalam lingkaran kekuasaan, kelompok pemerintahan atau sudah menjadi bagian penting sebuah lembaga.
Ungkapan ini kerap digunakan untuk menggambarkan seseorang telah dapat mengakses beragam sistem layanan, termasuk keuangan, dari sebuah lembaga pemerintah dan non pemerintah. Seorang yang telah “masuk ke dalam” akan mendapatkan itu semua dengan mudah dan tanpa prosedur rumit.
Seseorang yang memiliki kenalan yang sudah menjadi “orang dalam” juga akan mendapatkan kemudahan yang hampir sama. Bila dia tidak memiliki kenalan itu, dia akan berusaha mendapatkannya. Bila tidak juga ketemu, dia akan pasrah dengan semua kesulitan yang akan dia hadapi.
Kä ù dalam setidaknya memiliki dua tingkatan akses terhadap layanan lembaga. Tingkatan pertama tentu saja dia adalah orang dalam itu sendiri, yang mengatur sistem atau mampu mengelabui atau memanipulasi sistem untuk keuntungannya sendiri. Tentu saja jumlah orang ini sedikit. Jumlah pastinya sesuai jumlah jabatan yang tersedia di lembaga tersebut baik di pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dan non pemerintahan. Tingkatan kedua adalah orang yang memiliki “orang dalam”. “Orang dalam” tadi tentu saja memiliki keluarga, sanak famili dan sahabat. Atau mereka mampu mengontrol “orang dalam” sehingga memiliki akses yang sama ke sebuah lembaga bahkan terkadang lebih besar daripada “orang dalam” sendiri. Dari mereka, orang-orang yang tidak memiliki “orang dalam” akan mencoba mengakses kemudahan dari lembaga, atau dalam konteks tulisan ini lembaga pemerintahan.
Setidaknya, ungkapan Kä ù dalam ini juga menggambarkan dua hal. Pertama adalah dikotomi, dalam konteks tulisan ini, antara negara dan rakyat. Gambaran pertama ini menghasilkan gambaran kedua bahwa untuk mendapatkan kekayaan dan kemudahan hanya mungkin dengan menjadi “orang dalam” atau memiliki “orang dalam pemerintah”. Kedua gambaran ini juga menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan di Aceh, yang dijelaskan lebih rinci sebagai berikut.
Kä ù dalam; tembok batas antara negara dan rakyat.
Negara dan rakyat dibatasi oleh pemerintah (sekelompok orang yang menjalankan amanah negara untuk mencapai tujuan negara). Kewajiban negara untuk menyejahterakan, memberi perlindungan dan lainnya dijalankan oleh pemerintah, yang merupakan “orang dalam” itu sendiri. Di Aceh, dan di banyak tempat di Indonesia, orang-orang yang sedang memerintah atau berada di dalam sistem pemerintahan akan mendapatkan fasilitas negara dan segala kemudahan yang diimpikan oleh banyak rakyat Indonesia. sudah menjadi pengetahuan umum, bahkan nenek-kakek tetangga saya pun meyakini bahwa bila tidak ada orang dalam maka semua urusan ke pemerintahan akan sulit sekali.
Hampir semua urusan memerlukan orang dalam, baik untuk pendidikan, pelayanan Kesehatan, keamanan, hukum dan lain sebagainya. Tidak memiliki orang dalam untuk urusan Kesehatan dan hukum adalah keluhan yang sering dilontarkan oleh masyarakat kecil. keinginan mereka untuk mendapatkan kamar penginapan di rumah sakit, misalnya, atau keinginan mereka terbebas atau menuntut hukum seseorang sering terkendala oleh orang dalam. Apalagi bila orang dalam itu terikat jasa orang lainnya yang memiliki modal.
Orang yang sudah di dalam pun merasa bahwa mereka bisa menggunakan kekuatan dan fasilitas negara yang mereka kelola tanpa perlu memikirkan dampak positif dari pekerjaan mereka terhadap masyarakat. Ini juga sudah menjadi pengetahuan umum di mana pegawai menengah sering sekali pelisiran ke daerah-daerah dengan alasan pekerjaan. Atau, misalnya, seseorang, dengan kekuasaan yang dimilikinya, dengan mudah menuntut hukum orang lain yang dia tidak sukai.
Namun, pelesiran itu tak bisa dihindari dan mungkin dikurangi karena pemerintahan harus terus berjalan untuk melaksanakan amanat rakyat. Mereka harus membuat perencanaan, yang kerap disusun tanpa perencanaan, dan mengeksekusinya. Semua perencanaan mereka akan mengeluarkan uang negara yang besar, seperti pembangunan jalan, bendungan, pembelian kursi dan buku sekolah hingga ambal mesjid yang harus dilakukan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga perlu orang dalam untuk mengakses dana besar itu.
Untuk mendapatkan dana itu, pihak ketiga perlu mengeluarkan modal. Memancing ikan besar harus dengan udang, memancing uang besar harus dengan modal. Dengan demikian, uang negara berputar pada lingkaran “orang dalam”. “Orang luar” tak bisa mendapatkan apa-apa selain siraman uang receh. Selebihnya harus hidup selayaknya “orang luar” yang tak punya andalan siapa-siapa. Keadaan ini memunculkan gambaran kedua, di mana pemerintah dianggap sebagai ladang uang. Seseorang harus ù dalam (masuk ke dalam) untuk mengakses ladang itu, atau minimalnya kenal pekerja di ladang itu.
Pemerintahan adalah ladang uang
Dengan keadaan pada gambaran pertama maka banyak sekali orang berpikir bahwa hanya bekerja pada sektor pemerintahan lah seseorang akan dimudahkan hidupnya. Menjadi bagian dari orang dalam akan memudahkan keluarga, sanak famili dan sahabat untuk mendapatkan modal dan segala fasilitas negara. Memiliki anggota keluarga penegak hukum diyakini oleh banyak orang dapat membantu keluarga dalam urusan hukum. Memiliki anggota keluarga sebagai petugas Kesehatan di sebuah rumah sakit umum diyakini akan membantu anggota keluarga lainnya mengakses kemudahan di rumah sakit, seperti mendapatkan kamar inap tanpa harus mengikuti antrean yang panjang.
Keyakinan itu menunjukan bahwa pada semua level pemerintahan, ada agen-agen kecil yang menjadi “orang dalam” untuk “orang luar”. Oligarki-oligarki kecil ini berhubungan langsung dengan oligarki yang besar. Atau mereka bisa saja mengambil manfaat langsung dengan cara memanipulasi dan mengakali sistem untuk sesuatu yang nilainya tidak terlalu mencolok untuk pejabat menengah dan rendahan. Atau mungkin tanpa nilai uang sama sekali tapi memiliki makna kekeluargaan yang tinggi, seperti membantu keponakan dengan mempermudah jalur masuk ke sebuah lembaga pendidikan.
Keuntungan-keuntungan yang dimiliki oleh “orang dalam” atau seseorang yang memiliki “orang dalam” seperti di atas menginspirasi orang untuk selalu menjadi Aparatur Sipil Negara. Mereka meninggalkan pekerjaan tradisional mereka seperti bertani dan berkebun. Meski sudah terbukti sudah tahan banting pandemi, masyarakat menganggap bertani dan berkebun bukanlah sebuah pekerjaan. Orang-orang tua juga menginginkan atau bahkan memaksa anak-anak mereka untuk mengambil studi lanjutan ke jenjang strata satu untuk mempersiapkan mereka menjadi “orang dalam”.
Di Aceh, minat untuk berkuliah sangat tinggi. Ini bisa ditunjukkan dengan berdirinya delapan perguruan tinggi negeri. Terbanyak di Indonesia. jumlah tersebut belum termasuk sekolah tinggi kejuruan negeri, minimalnya ada tiga buah Poltekkes and politeknik tersebar di seluruh Aceh. Selain itu, di setiap kabupaten, dua puluh tiga kabupaten di Provinsi Aceh, minimalnya berdiri satu perguruan tinggi swasta.
Semua perguruan tinggi memiliki mahasiswa dan alumni. Dengan jumlah perguruan tinggi tersebut; minimal 31 perguruan tinggi, setiap tahun ada ribuan sarjana satu yang akan memperebutkan ratusan meja kerja di pemerintahan. Mereka berupaya menjadi orang dalam. Sayangnya, ujian untuk menjadi ASN tidak dibuka setiap tahun, terkadang dibuka lebih dari 4 tahun. Artinya, bakal ada ratusan ribu pemegang ijazah S1 memperebutkan ratusan kursi ASN baru yang disediakan.
Orang-orang yang gagal atau tidak sabar menunggu seleksi menjadi “orang dalam” ini akan mengambil pendidikan lanjutan ke tingkat master (S2) dan doktor (S3). Banyak sekali sekolah pascasarjana yang juga menampung orang-orang ini. Lembaga ini menjadi lembaga alternatif untuk orang yang tidak mendapatkan pekerjaan tetapi membutuhkan uang. Mereka membantu mahasiswa, yang artinya juga membantu keuangan pascasarjana, untuk mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah. Sehingga, banyak sekolah pasca sarjana juga memproduksi sarjana tanpa pengetahuan dan skil, padahal mandate utama sekolah pasca sarjana ini adalah memproduksi calon cendekia benaran.
Di Aceh, dan di banyak tempat di Indonesia, Kebanyakan dari perguruan tinggi ini berperan sebagai “perusahaan penerbit ijazah”. Berdasarkan jumlah ijazah yang diterbitkan setiap tahun, pemerintah menghitung capaian indeks pembangunan manusia, yang mereka klaim sebagai capaian pemerintahan. Padahal, orang tua menyekolahkan anak-anak mereka dengan uang dari usaha sendiri. Tentu ada bantuan pendidikan. Tapi jumlahnya sedikit.
Ketika orang gagal menjadi orang dalam, dia akan berusaha mengakses uang negara dengan beragam usaha, sehebat-hebat usaha adalah dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bupati dan sebagainya. Banyak anggota dewan, bupati dan pejabat politik yang layak kita hormati. Banyak juga dari mereka tidak berhati mulia. Politik saat ini sering terjemahkan sebagai bisnis; bisnis silat lidah, bisnis janji, bisnis argumen, dan bisnis kelicikan. Singkatnya, politik saat ini adalah “bisnis olah-mengolah”.
Untuk mendapatkan satu kursi di kantor dewan atau menjadi bupati misalnya, seorang calon harus mengeluarkan modal yang besar. Dia meminjam ke sana ke mari dan memberi janji ini itu. Karenanya, salah bila kita berharap pada semua anggota dewan atau bupati untuk memikirkan rakyatnya dulu baru kemudian diri mereka sendiri. Mereka memperjuangkan diri mereka sendiri dengan modal besar untuk berada di kantor dewan atau di meja kerja bupati. Toh, rakyat pun tidak membantu mereka untuk menjadi bersih, benar dan jujur.
Usaha orang yang gagal atau tidak memenuhi syarat menjadi ASN lainnya adalah dengan, misalnya, mengajukan proposal kegiatan atau apa saja yang bisa menarik uang negara. Usaha-usaha ini kerap berhasil setelah pengaju dan orang dalam mencapai kesepakatan tertentu. kita semua tahu bahwa tidak ada kenduri yang gratis. Kita harus selalu membawa sesuatu, kalau pun bukan uang, minimalnya minyak makan.
Usaha-usaha lainnya adalah langsung meminta “uang tiket pulang”, “uang rokok” atau “uang kopi” ke para pejabat birokrat atau ke politisi. Permintaan-permintaan ini memaksa para pejabat dan politisi untuk memanipulasi atau mengakali keuangan negara. Mereka harus mengusahakan lebih dari negara dari yang seharusnya mereka dapatkan. Kalau tidak, peminta itu “tidak dapat pulang”. Masyarakat akhirnya mendukung atau bahkan memaksa mereka untuk korupsi. Bila para pejabat atau orang dalam ini tidak tertangkap karena dugaan korupsi, maka mereka akan dianggap pejabat yang baik, memperhatikan rakyat, ringan tangan, dan tidak bisa melihat rakyat dalam kesusahan. Bila mereka tertangkap, mereka akan mendapatkan hujatan dan hinaan.
Kä ù dalam dan kemiskinan di Aceh
Ka u dalam adalah mentalitas orang yang ingin instan untuk mendapatkan kekayaan. Seseorang yang sudah di dalam cenderung mengamankan sumber daya untuk dirinya dan lingkarannya. keadaan ini menghancurkan semua prosedur legal yang ada dan mengarahkannya untuk keuntungannya sendiri. Misalnya, untuk menjadi ASN, kerap seseorang mengandalkan orang dalam yang dia miliki. Kerap sekali, orang dalam itu akan memudahkan urusannya meski dia tidak memiliki kualifikasi sama sekali untuk berada di sana. Peristiwa ini bahkan terjadi di perguruan tinggi, yang seharusnya mulia.
Orang-orang ini kemudian terlibat dalam pemerintahan, ikut membuat perencanaan dan mengeksekusi program. Meski pun ada beberapa orang yang memang memiliki kualifikasi di pemerintahan, tetapi keahlian mereka diterjemahkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang tidak memiliki kualifikasi ditahap eksekusi. Meskipun banyak ahli dari luar lembaga pemerintahan yang terlibat dalam eksekusi, tetapi mereka diatur oleh orang-orang tak mengerti tadi namun mengatur administrasi dan capaian program. Akhirnya, semua program dilaksanakan asal ada laporan. Tidak perlu berdampak dan berkelanjutan.
Tujuan menjadi bagian dari pemerintahan untuk mendapatkan akses keuangan negara ini mempengaruhi cara pikir dan gaya komunikasi sebagian mereka. Misalnya, ketika Provinsi Aceh ditetapkan provinsi termiskin di Pulau Sumatera, maka yang miskin adalah rakyat. Dan salah satu penyebab rakyat miskin adalah rokok yang dihisap rakyat dengan uangnya sendiri. Pemerintah, dalam hal ini, tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari rakyat yang juga harus dilihat dengan seksama dan teliti sekali sebagai penyebab kemiskinan itu sendiri. Mereka adalah “orang dalam”, yang kaya dan mengontrol keuangan negara. Rakyat adalah orang luar yang tidak memiliki akses ke sana.
Pada gaya komunikasi mereka, kita dapat melihat, misalnya, melalui kewajiban memberi pelayanan kepada rakyat mereka sebut dengan kata “bantuan” seperti “bantuan untuk korban bencana”, “bantuan langsung” dan beragam bantuan lainnya. Padahal uang negara berasal dari uang rakyat, yang sebagiannya sedang terkena musibah. Pengunaan kata “bantuan” ini jelas memisahkan antara kita, pemberi bantuan, dari mereka, yang dibantu. Pemerintah lupa kalau mereka tidak memiliki sereceh receh uang. Semua adalah milik rakyat. Mereka juga lupa bahwa mereka adalah pengelola saja yang diberi upah oleh rakyat. Mereka adalah budak yang melayani rakyat.
Cara berpikir dan gaya komunikasi ini juga diadopsi oleh masyarakat. masyarakat tidak berpikir bahwa mereka telah membiayai dana perjalanan ASN, para pejabat dan politisi. Mereka tidak berpikir bahwa mereka memiliki pelayanan yang mereka beri seragam. Mereka tidak pernah berpikir bahwa satu suara yang mereka berikan ketika pemilihan adalah suara untuk memilih pelayan terbaik untuk mereka sendiri.
Cara berpikir juga ini mengakibatkan masyarakat melempar tanggung jawab ke pemerintah ketika Aceh dikatakan miskin. Keadaan ini membuat masyarakat dan pemerintah semakin berjarak, lempar tanggung jawab, dan saling tuding sebagai penyebab. Pemerintah tidak becus atau masyarakat lebih suka merokok daripada membeli lauk pauk dan membangun WC di rumah. Untuk berdamai secara simbolis, mereka sama-sama menuduh “BPS salah instrument survei. Instrumennya tidak cocok untuk Aceh”.
Kä ù Dalam akhirnya adalah sebuah ekspresi tentang keadaan mental yang miskin dan terbelakang yang membawa kita ke dalam kemiskinan. Ekspresi yang menggambarkan sikap individualis yang cenderung memisahkan satu dari lainnya, menjadi bagian kelompok atau membentuk kelompok tertentu untuk mengamankan kelompoknya sendiri. Mental miskin dan individualis ini tidak akan pernah mampu merubah batu menjadi emas. Dengan mental ini, orang hanya mampu mengubah emas menjadi kotoran dengan sangat mudah. Yang terakhir ini sudah dibuktikan oleh pemerintah dan masyarakat Aceh.[]