oleh: Ari J. Palawi
(Akademisi Seni Universitas Syiah Kuala — tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili institusi)
Saya menulis ini sebagai lanjutan dari kegelisahan yang belum reda—tentang universitas yang tampak tenang, namun menyimpan kebisuan panjang di jantungnya sendiri. Setelah menulis “Paradoks Darussalam”, saya sempat berpikir sudah cukup berbicara soal demokrasi yang beku di kampus. Ternyata belum. Kebisuan itu perlahan berubah menjadi kekuasaan yang sangat terkonsolidasi. Rasionalitas akademik kini seolah tersandera oleh sistem yang lebih menekankan ketertiban daripada keberanian berpikir.
Sebagai dosen seni di Universitas Syiah Kuala, saya hidup di tepi dua dunia yang kontras: dunia gagasan yang seharusnya cair dan kreatif, serta dunia birokrasi yang cenderung hierarkis dan formal. Di antara keduanya, saya menyaksikan kampus perlahan kehilangan kemampuan dasarnya: berpikir bebas. Debat gagasan semakin langka, ruang refleksi makin sempit. Yang tersisa sering kali hanyalah kepatuhan, keseragaman, dan rasa sungkan untuk berbeda.
Kini saya melihat tanda-tanda yang lebih dalam: sebuah pola kepemimpinan yang tampak stabil di permukaan, namun justru menumpulkan vitalitas intelektual di kedalaman.
Tradisi yang Bergeser: Dari Giliran ke Patronase
Pada awal 2000-an, pergantian kepemimpinan di kampus ini masih mengikuti semacam tradisi giliran dan senioritas akademik. Meskipun tidak selalu progresif, pola itu menjaga kesinambungan dan rasa hormat antar kolega. Keputusan dapat diprediksi karena berlandaskan tata krama akademik, bukan transaksi kepentingan.
Namun, dalam dua dekade terakhir, mekanisme formal tetap ada tetapi rasionalitas di dalamnya tampak melemah. Proses seleksi dan penunjukan jabatan sering kali lebih dipengaruhi oleh loyalitas struktural atau kedekatan sosial dibanding kapasitas substantif. Dalam situasi seperti ini, reputasi akademik menjadi atribut administratif, bukan penentu utama kepercayaan ilmiah.
Kepemimpinan kampus pun beralih dari collegial governance menuju patronage management: hubungan kuasa dibangun atas dasar rasa aman, bukan dialog gagasan. Struktur tampak stabil, tetapi daya hidup intelektual kian tumpul. Kritik dianggap mengganggu harmoni, padahal seharusnya memperkaya pemikiran. Akibatnya, yang bertahan bukanlah gagasan, melainkan kepatuhan. Keheningan dianggap etika, padahal sering kali hanyalah strategi bertahan dalam sistem yang lebih menghargai kesetiaan daripada integritas. Dalam iklim semacam ini, keberanian intelektual terasa seperti penyimpangan moral.
PTNBH dan Lahirnya Logika Manajerial Baru
Transformasi Universitas Syiah Kuala menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) pada 2021 seharusnya menjadi tonggak otonomi akademik. Namun dalam praktiknya, status baru ini juga membawa konsekuensi: munculnya lapisan manajemen yang semakin vertikal.
Fenomena ini tidak unik bagi satu universitas. Penelitian dan laporan kebijakan di Indonesia menunjukkan bahwa model PTNBH di berbagai perguruan tinggi kerap menghadapi persoalan serupa: patronase, intervensi eksternal, dan terbatasnya transparansi. Rizqiyanto (2025) misalnya, mencatat bahwa hubungan personal dan tekanan struktural dapat memengaruhi independensi rektor serta kebebasan akademik.
Dalam kerangka Weberian, birokrasi ideal didasarkan pada rasionalitas formal: aturan tertulis, prosedur, dan seleksi kompetensi. Namun universitas, berbeda dengan birokrasi administratif, memiliki fungsi substantif—mencari kebenaran dan mengembangkan nalar. Jika logika manajerial mendominasi tanpa keseimbangan nilai-nilai akademik, maka institusi akan kehilangan arah epistemiknya.
Penelitian Rohmah et al. (2024) juga menunjukkan bahwa dalam model PTN-BH, kekuasaan internal kampus semakin menekankan efisiensi dan branding, sementara ruang deliberasi akademik menyempit. Dalam konteks ini, otonomi institusional justru dapat melahirkan sentralisasi baru.
Kebekuan Inovasi dan Isolasi Intelektual
Pertanyaan yang terus mengganggu saya: mengapa gairah intelektual makin sulit ditemukan? Forum ilmiah non-seremonial makin sepi, kolaborasi lintas bidang jarang, dan mahasiswa semakin pragmatis. Kampus terasa lebih seperti pabrik administrasi ketimbang ruang pencarian makna.
Salah satu penyebab utamanya adalah penyempitan ruang otonomi kreatif. Di bidang seni, kami hidup dari keberanian bereksperimen. Namun kini semua tunduk pada indikator kinerja: publikasi, hibah, sitasi. Dalam sistem seperti ini, kreativitas mudah berubah menjadi komoditas administratif.
Altbach (2016) dalam Global Perspectives on Higher Education mencatat bahwa globalisasi dan orientasi manajerial mengubah universitas menjadi entitas korporatif yang mengutamakan efisiensi dibanding refleksi. Shin (2014) menambahkan, ketika otonomi struktural tidak diiringi demokrasi internal, kampus justru mengalami erosi otonomi akademik.
Gejala ini terasa di sekitar kita: dosen muda berhitung dengan karier, mahasiswa berhitung dengan nilai, dan kolaborasi ilmiah bergeser menjadi strategi administratif. Bidang humaniora dan seni makin termarjinalkan, karena dianggap tidak ekonomis. Hasilnya: universitas menjadi tenang—tapi tenang yang membeku.
Krisis Etik dan Epistemik
Masalah utama yang muncul bukan hanya regulasi, tetapi krisis etik dan epistemik. Jabatan akademik sering dipahami sebagai hak istimewa, bukan amanah intelektual. Sementara logika eksakta yang seragam cenderung menyingkirkan keberagaman cara berpikir.
Padahal, keberagaman epistemik adalah fondasi kemajuan. Academic Freedom Index 2023 (V-Dem Institute) mencatat penurunan signifikan kebebasan akademik Indonesia empat tahun terakhir—sejalan dengan penguatan struktur administratif di kampus-kampus negeri. OECD (2022) juga mengingatkan bahwa otonomi tanpa partisipasi akademik justru mengurangi vitalitas riset.
Aceh memiliki modal moral yang besar. Kampus di Darussalam seharusnya menjadi simbol peradaban, bukan sekadar institusi administratif. Namun hubungan antara universitas dan masyarakat kini terasa berjarak, seolah kampus kehilangan denyut etiknya sendiri.
Agenda Pemulihan Akal Sehat Akademik
Universitas masih bisa disembuhkan, asal berani bercermin. Beberapa langkah penting yang perlu dipertimbangkan:
1. Mengembalikan fungsi substantif Senat Akademik.
Perlu revisi statuta agar fungsi pengawasan akademik tidak berhenti pada aspek administratif.
2. Debat gagasan terbuka bagi calon pemimpin kampus.
Forum semacam ini meneguhkan transparansi sebagai dasar legitimasi moral.
3. Kode etik kepemimpinan akademik.
Diperlukan aturan tegas untuk mencegah patronase dan konflik kepentingan.
4. Keterbukaan kebijakan dan pendanaan.
Publikasi rutin mengenai keputusan dan penggunaan anggaran akademik akan memperkuat kepercayaan komunitas ilmiah.
5. Revitalisasi bidang humaniora dan seni.
Humaniora bukan beban, melainkan sumber makna dan refleksi bagi universitas.
Tanpa transparansi, tidak ada kepercayaan; tanpa kepercayaan, universitas kehilangan wibawa; dan tanpa wibawa moral, pendidikan tinggi kehilangan maknanya.
Iktibar: Darussalam Masih Bisa Diselamatkan
Darussalam bukan sekadar kampus; ia simbol akal sehat Aceh. Namun akal sehat itu kini tengah diuji oleh ketenangan yang meninabobokan, dan intelektualitas yang perlahan kehilangan keberanian.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyerang siapa pun, melainkan untuk mengingatkan bahwa universitas yang terlalu tenang belum tentu sehat. Ketenangan tanpa kritik, tanpa perdebatan, dan tanpa keberanian adalah tanda kemunduran.
Universitas Syiah Kuala masih punya kesempatan untuk pulih—bukan dengan slogan, tetapi dengan keberanian etis untuk jujur. Sebab ketika universitas kehilangan keberanian untuk berkata benar, ia berhenti menjadi ruang pengetahuan. Dan ketika nalar berhenti bekerja di Darussalam, maka sejarah Aceh kehilangan tempat di mana pengetahuan seharusnya masih berani hidup. []



















