Selama dua pekan ini, kita menyaksikan pertandingan dari klub sepak bola tertentu, yang pemainnya tetap berpuasa. Terutama di Inggris, yang saat tiba waktu berbuka, sejumlah pertandingan dihentikan sejenak untuk memberi kesempatan para pemain Muslim berbuka puasa –walau dengan menu alakadar. Mereka minum sebotol mineral, plus beberapa butir kurma atau pisang.
Keadaan ini sepertinya bukan sesuatu yang aneh di liga-liga Eropa. Menyaksikan laga yang pemain di dalamnya ada yang sedang puasa. Tidak makan minum secara total, bukan hanya sejak menjelang pertandingan. Mereka sudah puasa sejak dari pagi –tepatnya saat fajar. Lalu bermain menjelang berbuka. Hal lain, karena pemain ini rata-rata juga bermain dengan bagus. Puasa seperti tidak menjadi alasan untuk tampak lebih lemah dari yang lain.
Jika merujuk ke belakang, fenomena ini sesungguhnya sudah lama terjadi. Sejumlah pemain Muslim yang berlaga di Eropa, dan mereka tidak malu mengungkap identitasnya sebagai Muslim. Para penonton dan fans mereka juga tahu di dalam tim ada pemain yang Muslim. Fenomena Muhammad Salah, misalnya, ternyata jika dibuka rekaman berita tahun-tahun yang lalu, di dalam bukan Puasa dan dia sedang menjalani puasa, tapi juga mencetak gol.
Saya jadi teringat orang yang bisa tampak lebih kuat atau lebih lemah pada bulan ini. Sekali lagi –karena sudah pernah saya tulis—puasa itu urusan hati. Orang yang tidak berpuasa, bisa berlagak sangat lemas melebihi mereka yang berpuasa. Orang yang di belakang layar bisa melakukan apapun, namun di depan manusia bisa melakoni apapun. Lantas apa yang membuat seseorang bisa atau tidak melakukan sesuatu yang manipulatif terhadap manusia?
Saya membayangkan ini adalah urusan hati. Semacam kita berbicara mentalitas, yang harus menyatu antara fisik dan mental. Orang yang berpuasa, saat memilih benar-benar berpuasa, tidak melibatkan fisik, melainkan sudah menyatukan mentalnya dalam urusan itu.
Atas dasar itulah, kita membutuhkan penataan terhadap inti dari kekuatan untuk membangun mental, yakni hati. Perlu ditata karena puasa yang paripurna harus melibatkan semua energi positif dalam diri kita sebagai manusia. Tujuan akhir mencapai kualitas puasa yang paripurna, dimungkinkan dengan menjaga diri dari berbagai hal yang membuat kita tergoda.
Orang-orang yang berada di berbagai tempat, memiliki pengalaman yang berbeda saat puasa. Beberapa kali puasa, saya tidak sepenuhnya berada di daerah saya sendiri. Di daerah lain, tidak semua sama dengan daerah kita. Terutama dalam hal bagaimana warung-warung makan tetap buka seperti biasa. Berbeda di tempat kita, karena hanya sedikit orang yang tidak berpuasa. Masalahnya adalah ketika makanan tidak saja dijajakan untuk mereka yang tidak berpuasa, melainkan turut serta dijual untuk orang-orang yang wajib berpuasa.
Bisa jadi ada orang yang akan mempertanyakan bagaimana mereka yang tidak wajib berpuasa untuk mengakses makanan. Tentu hal ini bukan sesuatu yang sulit, bahkan juga bukan sesuatu yang mudah. Ketika pengalaman saya berada di tempat lain, warung-warung terbuka dan sering melihat orang-orang yang makan atau minum. Di tempat ini, banyak warung yang buka, dengan berbagai alasan. Tidak semua warung menutupinya dengan sesuatu. Bahkan sejumlah warung sangat terbuka. Apakah yang makan di sana semua orang yang tidak wajib berpuasa? Ternyata tidak juga.
Keadaan lain, ketika saya melakukan sejumlah perjalanan, karena ada suatu kepentingan. Sebenarnya bukan perjalanan jauh. Dengan durasi empat jam per perjalanan, bagi saya bukanlah perjalanan yang jauh. Dalam setiap perjalanan, juga demikian. Tiap naik maskapai, setelah lampu tali keselamatan padam, sudah datang pramugari yang membawa berbagai makanan. Untuk perjalanan pendek biasanya hanya diberikan beberapa potong kue. Akan tetapi perjalanan yang lebih dua jam, akan diberikan nasi atau mie. Sebelum diberikan, khusus pada bulan ini, ada pertanyaan terlebih dahulu. Pertanyaan pertama, apakah mau menggunakan fasilitas makan atau tidak? Pertanyaan kedua, apakah mau makan di sana atau dibungkus?
Ketika dalam perjalanan, teringat sebuah fasilitas pengecualian. Beriring dengan itu, saya juga ingat hal lain, bahwa hanya sejauh itu perjalanan, apakah semua fasilitas pengecualian puasa harus diambil? Bagi saya terlalu menyederhanakan masalah bila perjalanan satu jam pun sudah mengorbankan kewajiban, walau dalam agama juga dibolehkan. Jangan sampai bepergian hanya satu jam, lantas menyamakan berbagai fasilitas yang diberikan. Orang yang dalam perjalanan lalu ditafsir boleh memakai pengecualian itu.
Akan tetapi mengapa penting atau tidak menggunakan fasilitas itu, bisa jadi masalah lainnya. Bagi saya yang menarik, ada fenomena lain, bahwa apakah Anda akan tergoda hanya karena ada orang yang sedang makan? Mungkin ada alasan tertentu yang membuat seseorang tidak bisa berpuasa? Lalu karena ada sejumlah layanan yang diberikan maskapai, lalu mengorbankan sesuatu yang lebih penting?
Lagi-lagi, ada dua hal lain yang juga tidak boleh disederhanakan. Pertama, orang makan, karena berbagai alasan, bukan berarti boleh tidak menghargai orang yang sedang menunaikan kewajiban ini. Kedua, mengapa untuk yang demikian, tidak boleh diatur ketertibannya, terutama untuk daerah-daerah khusus. Dalam melaksanakan kewajiban ini juga ada konteks untuk melindungi satu sama lain.
Sebagai catatan, kita yang berpuasa juga harus menahan diri. Kita harus ingat tujuan puasa itu sangat paripurna. Seseorang tidak hanya menggantungkan harapan pada fisik. Kita harus melampaui dari sekedar fisik. Puasa kita harus memiliki tujuan perbaikan mental kita sebagai manusia. Dengan puasa, seyogianya akan ada banyak perubahan dalam diri manusia. Logika membangun mental, seyogianya menjadi alasan orang bisa berubah ke arah yang lebih baik.
Terus-terang saya teringat bagaimana para pemain sepak bola di Eropa tetap berpuasa meski dalam perasaan kita mereka berjuang dengan berat. Bukan hanya mereka berusaha menegaskan identitasnya, melainkan turut melaksanakan ibadah berat dalam olah raga berat. Walau saya bukan ingin mengatakan demi liga sepak bola, puasa bisa dibuka seperti rukhsah seseorang ketika melakukan perjalanan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Ahad, 16 Puasa 1446, 16 Maret 2025]