Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Antropolog UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Dalam esai ini, saya tertarik untuk mengupas tentang anatomi konflik di Singkil, secara singkat. Harus diakui bahwa saya sangat minim pengetahuan akan persoalan konflik, terlebih lagi persoalan Singkil. Konon, persoalan Singkil sudah menginternasional dan seolah-olah ada yang salah dalam penanganan kerukunan antar umat beragama di Aceh. Tampaknya manakala membicarakan persoalan sosial-keagamaan di Aceh, seakan-akan tidak ada yang menggembirakan. Terlebih lagi jika menulis sejarah panjang konflik atau kekerasan yang mengatasnamakan keagamaan.
Selanjutnya, masalah lainnya adalah, posisi saya menulis yang cenderung dilematis, sebab jika menelaah terlalu memihak pada satu kelompok atau komunitas, maka akan dicap sebagai yang anti keragaman dalam kehidupan beragaman. Demikian pula, jika saya terlalu membela nasib kelompok non-Muslim, maka saya akan sangat boleh jadi dianggap sebagai sekular atau liberal. Hanya dua kotak inilah, saya akan dimasukkan oleh pembaca, yang ingin cepat-cepat meraba arah dan gaya kepenulisan saya dalam menyajikan konflik di Singkil.
Ini yang disebut dilema seorang penulis. Untaian kata dari penulis berbeda dengan orator. Seorang penulis akan diingat semua tulisannya, sementara orator, kalau pun direkaman, akan diingat suaranya. Kekuatan suara dan tulisan memang sangat berbeda. Suara akan menggema sejauh mana dapat didengar. Walaupun ada suara yang didengar maupun yang tidak, suara memiliki daya ledak. Sedangkan tulisan berhubungan dengan kekuatan senyap. Dia hanya terletak di perpustakaan, jika dia berbentuk buku atau monograf. Orang harus diam untuk menikmati sebuah tulisan. Karena itu, pengaruh dari suatu tulisa lebih dahsyat, sebab tidak sedikit karya-karya yang mampu memengaruhi suatu peradaban. Namun ketika suara dan tulisan menyatu, maka dia menjadi peluru peradaban.
Akan tetapi, bagaimana jika kita mulai belajar memahami tentang teks-teks sosial yang tersusun tidak sangat rapi. Ini merupakan suatu akar masalah di dalam memahami fenomena sosial. Persoalan yang muncul di sini adalah siapa yang menulis teks-teks sosial, sehingga tidak mewujudkan situasi hamorni. Saya membayangkan ketidakharmonisan sangat boleh jadi dipicu pola penulis teks sosialnya yang saling berebut di atas secarik kertas. Akibatnya, dishamorni itu menjadi fakta, seolah-olah yang salah adalah penulis, tinta, atau kertasnya sudah rapuh. Untuk itu, memahami orkestra kehidupan umat beragama harus dilihat dari fakta teks-teks sosial yang sudah ditulis dalam lorong waktu yang amat panjang.
Singkil adalah satu fakta penyusunan teks-teks sosial yang rapuh. Punya kekuatan historis, tetapi hilang ke dalam tanah. Punya kekayaan alam yang amat dahsyat, sekarang malah menjadi hamparan Kelapa Sawit. Punya tradisi yang amat kuat, sekarang malah terjadi fragmentasi yang amat dalam. Sekian masalah Singkil, diperparah oleh keinginan penjajah menjadikannya sebagai daerah penyangga (buffer zone) yang memutuskan tali hubungan keislaman dari Aceh hingga ke Tanah Minangkabau. Konsep buffer zone ini adalah memasukkan keyakinan lain dari Eropa ke tengah-tengah masyarakat di kawasan Singkil. Di provinsi tetangga juga telah berkembang pandangan bahwa Singkil juga merupakan suku bangsa dari provinsi yang dimasukkan ke Aceh.
Secara sosiologis dan antropologis, daerah-daerah perbatasan yang memiliki kekuatan sosio-historis, terutama dalam etnisitas dan religi, kerap menjadi ladang konflik. Pattani, secara perasaan lebih dekat ke kawasan Melayu, namun melalui kekuatan dipaksakan menjadi Siam. Mindanao secara politik dipaksakan tunduk ke Manila, secara historis memiliki ikatan sebagai suatu bangsa, yaitu Bangsa Moro. Namun tidak sedikit juga yang ingin mendapatkan pengakuan terhadap keberadaan etnik tertentu di negara baru, sebagai akibat dari peperangan. Kondisi ini menyiratkan bahwa konflik di beberapa tempat, kerap dipicu oleh alasan persoalan sejarah dan kebudayaan.
Konflik di Singkil memang memiliki latar belakangan persoalan yang amat rumit. Sebab, mereka yang memilih beragama non-Islam, menundukkan spiritual dan otoritas keagamaan ke provinsi tetangga. Sehingga, persoalan yang ingin diselesaikan oleh pemerintah Aceh, cenderung tidak sampai pada akhir persoalan. Sebab, akar masalahnya bukan dari provinsi Aceh. Demikian pula, setiap pemegang otoritas keagamaan yang non-Islam, memiliki jejaring untuk mendirikan rumah ibadah. Sehingga persoalan pendirian rumah ibadah, juga ikut memicu persoalan yang cukup pelik. Persoalan lainnya adalah adanya binatang yang dilarang dipelihara dalam ajaran Islam, menjadi hewan ternak pada komunitas tertentu.
Hal-hal di atas memang ada wilayah-wilayah yang tidak bisa didialogkan. Sebab, ada persoalan teologi dan budaya di situ. Sehingga terkadang persoalan-persoalan yang sulit diselesaikan menjadi api dalam sekam, tinggal menunggu waktu, untuk terbakar pada saat-saat tertentu. Tampaknya perlu ada narasi bagaimana persoalan Singkil dari masa ke masa. Perlu ada penjabaran dari aspek internal yang menyita perhatian kita selama ini. Tentu cara menguraikan akan berbeda dengan mereka yang tidak melihat secara langsung, tidak terkecuali bagi jurnalis. Para penduduk lokal adalah mereka yang mengetahui secara langsung apa yang mereka lihat dan rasakan. Ketika mereka menulis ‘apa adanya’ atau dikenal sebagai things as they are, tentu akan memanaskan kuping beberapa kalangan.
Persoalan keagamaan yang tidak mampu diakomodir dalam sistem sosial-kebudayaan yang ramah dan toleran akan membuat sekian persoalan bagi masyarakat tersebut. Beberapa daerah di Indonesia memiliki toleransi pada hal-hal yang tidak terjadi di Singkil. Toleransi di dalam kehidupan sehari-hari, pada hakikatnya, terjadi dengan sangat di Singkil. Masyarakat tampaknya dapat hidup saling berdampingan dan sama sekali tidak memiliki persoalan yang cukup signifikan. Sajian tentang persoalan keharmonisan itu terwujud, kendati lebih banyak energi sosial keagamaannya diarahkan pada perjalanan konflik. Dalam beberapa kali perjalanan saya ke Singkil, tampak keharmisan masyarakat sesama masyarakat Singkil. Bahkan, mereka tidak memiliki persoalan dengan tetangga yang berbeda keyakinan. Hanya ketika sampai pada persoalan yang bersifat sosial-teologis, agaknya belum ada satu kesepakatan yang permanen.
Harus diakui bahwa Singkil telah banyak memiliki peran dalam sejarah Islam di Asia Tenggara. Konteks historis ini tentu menjadi spirit tersendiri di dalam menjaga tanah para ‘ulama. Kehadiran masalah tentu tidak dapat dianggap enteng, mengingat masalah sosial teologis memang tidak akan selesai dalam helaan nafas. Namun begitu, upaya untuk menulis apa yang terjadi di Singkil harus dipandang sebagai pekerjaan akademis yang amat bijak.[]