Oleh: Sahlan Hanafiah.
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry, Banda Aceh.
Akhir-akhir ini Papua kembali bergejolak. Kelompok bersenjata oleh pemerintah sekarang iniĀ disebut sebagai kelompok teroris semakin aktif melakukan serangan terhadap penduduk sipil maupun militer, menyebabkan jatuhnya korban jiwa, termasuk kepala BIN Daerah Papua.
Gejolak Papua telah lama terjadi. Berbagai upaya meredam konflik telah coba dilakukan oleh pemerintah, baik melalui cara-cara non-kekerasan seperti dialog, percepatan pembangunan, dan pembentukan provinsi baru maupun cara kekerasan dan militeristik. Berbagai upaya tersebut seperti kita saksikan belum membuahkan hasil dimana kelompok separatis tetap eksis memperjuangkan Papua merdeka.
Namun yang menarik sekaligus menjadi tanda tanya adalah, mengapa konflik Papua tidak diselesaikan melalui negosiasi damai seperti Aceh. Untuk menjawab pertanyaan ini barangkali kita perlu membaca beberapa pandangan para ahli yang sudah lama bergelut dalam bidang resolusi konflik, diantaranya adalah I William Zartman dan Dean G. Pruitt.
Zartman yang dikenal ahli dalam bidang negosiasi dan mediasi memiliki pandangan menarik tentang mengapa pihak-pihak yang berkonflik pada akhirnya bersedia atau sebaliknya menolak maju ke meja perundingan untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Menurut Zartman (2001), kesediaan maju ke meja perundingan terjadi pada saat pihak-pihak yang berkonflik merasa telah siap untuk berdamai dan tidak memiliki pilihan lain untuk meraih tujuan yang mereka inginkan. Dengan kata lain, keinginan berdamai muncul ketika kedua belah pihak merasa terkunci, buntu dan menderita akibat konflik. Pada saat yang sama, mereka juga melihat adanya sebuah solusi menarik yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
Dean G. Pruitt (2005) kemudian melengkapi pandangan Zartman di atas. Menurut Pruitt, selain faktor kesiapan dan kematangan waktu yang disebutkan oleh Zartman, kerelaan maju ke meja perundingan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain.
Beberapa faktor lain tersebut adalah pertama, adanya kesadaran bahwa konflik tidak mampu dimenangkan atau peluang kalah lebih besar jika kesempatan maju ke meja perundingan tidak segera diambil. Kedua, kesadaran bahwa ongkos yang dikeluarkan untuk konflik lebih besar dibanding ongkos damai. Ketiga, kesadaran akan resiko konflik, misalnya semakin terkucil dari pihak lain, ditinggal pendukung atau kehabisan logistik.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas, Pruitt juga mempertimbangkan aspek rasionalitas dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Pruitt, penyelesaian konflik secara damai juga didorong oleh beberapa kondisi yang membuat para pihak mampu berpikir jernih sehingga memutuskan untuk mengambil kebijakan taktis dan strategis dibanding melanjutkan konflik.
Beberapa kondisi yang membuat para pihak yang berkonflik berpikir rasional menurut Pruitt adalah pertama, adanya peristiwa yang sangat mengejutkan seperti bencana alam yang menimbulkan kerugian dan kehilangan dalam jumlah yang sangat besar sehingga para pihak berpikir ulang untuk melanjutkan perang.
Kedua, pergantian pucuk pimpinan atau kehadiran pemimpin baru baik di satu pihak maupun di kedua belah pihak. Faktor ini terkait dengan adanya secercah harapan politik dipundak pemimpin baru terpilih (presiden atau pimpinan kelompok separatis yang lebih moderat) dan adanya keinginan untuk bekerjasama dan saling percaya.
Ketiga, intervensi pihak ketiga, dimana pihak ketiga biasanya berhasil membuka cakrawala berpikir, menyakinkan para pihak dengan menyodorkan paket penyelesaian politik yang lebih menjanjikan dibanding berjuang dengan senjata.
Melihat Papua
Pandangan Zartman dan Pruitt di atas sedikit banyak membantu kita memahami mengapa perundingan damai belum terjadi dalam kasus Papua dan mengapa pula terjadi dalam kasus Aceh. Faktor kesiapan, kematangan waktu, dan alternatif penyelesaian konflik yang lebih menarik seperti disebutkan Zartman dan pernah ada dalam kasus Aceh, belum eksis di Papua.
Misalnya kita belum melihat adanya sikap putus asa, sakit kepala, lelah, buntu, menyerah selama ini dari pemerintah Indonesia dan kelompok separatis di Papua. Akibatnya, alternatif penyelesaian konflik dalam bentuk lain, selain militer, tidak menjadi menarik dalam pandangan kedua belah pihak.
Kita juga belum melihat dalam kasus Papua adanya kesadaran dari kedua belah pihak bahwa konflik sulit dimenangkan atau peluang kalah lebih besar jika perjuangan dilanjutkan, kesadaran konflik membutuhkan ongkos lebih besar dibanding damai, dan kesadaran takut dikucilkan oleh dunia luar maupun pendukung dari dalam.
Faktor rasionalitas sebagaimana disebut Pruitt juga tidak eksis dalam kasus Papua. Misalnya bencana alam dahsyat seperti Tsunami yang pernah menimpa Aceh, pergantian pemimpin yang diisi oleh kelompok lebih moderat dan pro damai, dan kehadiran pihak penengah yang netral.
Selain faktor-faktor di atas, akhir-akhir ini penyelesaian konflik separatis tanpa melibatkan aktor luar memang sedang menguat di dunia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia dalam kasus Papua, melainkan juga terjadi di Thailand dalam kasus Thailand Selatan, Myanmar dengan kelompok Kachin, dan Sri Lanka dengan Macan Tamil. Semua negara tersebut menginginkan mengurus urusan rumah tangga sendiri tanpa melibatkan campur tangan pihak asing.
Disisi lain, penyelesaian konflik model negosiasi seperti yang pernah dipakai dalam kasus Aceh, juga sedang mendapat kritik tajam karena tidak memberi dampak signifikan terhadap perdamaian dan pembangunan jangka panjang.
Penyelesaian konflik melalui negosiasi damai yang ditengahi pihak ketiga, hanya berhasil memberi panggung politik kekuasaan kepada elit lokal, tapi tidak berhasil mengubur akar struktural konflik berupa ketidakadilan, kemiskinan, pengangguran dan korupsi.