Oleh: Sahlan Hanafiah
Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Agama UIN Ar-Raniry.
Dalam sebuah obrolan warung kopi, seorang politisi senior mendapat pertanyaan kritis dari aktivis anti korupsi tentang praktik mengambil komisi atau fee yang menurutnya termasuk kategori korupsi.
Aktivis yang tergolong masih muda dan bersemangat itu mempertanyakan praktik pemotongan dana pembangunan rehab pesantren yang bersumber dari dana aspirasi dengan jumlah biaya yang dipangkas berkisar 10 hingga 40 persen.
Menurut aktivis tersebut, selain tergolong korupsi, mengutip fee juga dapat mengurangi kualitas gedung yang di bangunan dan dapat membahayakan keselamatan santri jika sewaktu waktu terjadi gempa bumi.
Politisi senior yang sudah banyak makan asam garam menjawab dengan santai; “Digata lagee hana tatuoh, lam pulitek nyan natulak natarek”. (Anda seperti tidak tahu saja, dalam dunia politik natulak natarek).
Ketika aktivis anti korupsi ingin menyanggah, politisi senior melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. “Watee gata jeut keu politisi teuma akan lagenyan chit. Akan gata pelaku chit. Laen hana cara tabiayai pulitek hai adoe”. (Ketika Anda menjadi politisi kelak akan seperti itu juga. Anda akan melakukannya. Tidak ada cara lain membiayai politik wahai adinda ku).
Istilah natulak natarek sering kita dengar dalam dunia ekonomi-bisnis. Kata tersebut jika diterjemahkan secara bebas, sebanding dengan kata investasi modal dan bagi hasil. Semakin besar modal yang ditanam (tulak), semakin besar pula kemungkinan hasil diterima (tarek).
Namun istilah natulak natarek ternyata juga dipakai oleh para politisi untuk mengilustrasikan biaya politik yang dikeluarkan pada saat masa pencalonan hingga pemilihan legislatif. Sebagai bentuk investasi (natulak) dan mengambil keuntungan (natarek) pada saat duduk di gedung dewan jika terpilih.
Analogi ini sebenarnya tidak tepat karena politik seperti umumnya kita tahu tidak dalam rangka mencari keuntungan ekonomi pribadi, keluarga, kelompok atau golongan. Melainkan keuntungan publik, rakyat secara keseluruhan.
Jawaban politisi senior terhadap pertanyaan aktivis anti korupsi di atas menunjukkan pandangan umum politisi. Mengakui adanya politik natulak natarek sebagai praktik politik yang lumrah terjadi.
Mengambil komisi atau fee dari proyek pembangunan yang bersumber dari dana publik (APBD) hanyalah salah satu bentuk tulak tarek yang lazim dilakukan dengan melibatkan politisi, birokrat dan kontraktor. Bentuk lain dari tulak tarek sangat beragam, tergantung siapa yang mengambil keuntungan dan siapa yang menanggung beban.
Pada musim pemilu misalnya. Politisi yang bertarung memperebutkan kursi legislatif mengeluarkan biaya politik (tulak) dengan harapan ia dipilih. Sementara tim sukses dan pemilih memanfaatkan pemilu sebagai musim panen (tarek). Jika politisi tersebut terpilih, maka biaya pribadi atau pinjaman yang ia keluarkan saat membujuk pemilih akan diambil kembali ketika duduk di kursi empuk gedung dewan. Sumbernya tentu saja dari dana publik atau istilah lain uang rakyat.
Dalam kasus orang tua ”minta tolong” melalui seorang politisi agar anaknya dapat menjadi pegawai honorer di instansi pemerintah, maka yang mencoba mengambil keuntungan disini adalah pemilih atau tim sukses. Logika yang dibangun, dulu saya menolong Anda, sekarang giliran saya yang harus ditolong. Dalam kasus ini bisa jadi orang tua tersebut belum mengambil ”manfaat” apapun pada saat pemilu. Ia memilih mengambilnya sekarang.
Demikian juga ketika sebuah komunitas menyodorkan proposal kepada seorang anggota legislatif. Proposal tersebut bentuk lain dari praktek mengambil keuntungan dari ”saham” yang pernah mereka tanam saat membantu memenangkan kursi.
Jika ditanya mengapa praktik natulak natarek bisa terjadi dan siapa yang patut disalahkan? Politisi akan menunjuk jari ke pemilih dengan mengatakan, saat ini pemilih sangat pragmatis, mata duitan (hana peng hana pileh). Sementara pemilih akan menjawab, jika tidak pada saat musim pemilu menguras kantong politisi, kapan lagi. Saat terpilih mereka sudah tidak ingat kita lagi.
Tentu kita tidak membenarkan politisi dan menyalahkan pemilih. Fenomena ini sulit mencari siapa yang benar dan salah karena telah berlangsung sangat sistemik.
Akan tetapi satu hal yang jelas, politik natulak natarek merugikan publik, rakyat secara keseluruhan. Sebab, dana yang dikeluarkan dalam kegiatan politik, sekalipun oleh seorang politisi, pada akhirnya akan diambil kembali dengan ”menguras” dana publik, baik yang bersumber dari APBD maupun APBN. Akibatnya kualitas pembangunan menjadi buruk.
Selain merugikan publik, politik tulak tarek yang menjadikan uang sebagai mahkota atau sentral politik. Ini sebenarnya sadar atau tidak juga akan merugikan partai politik, terutama partai politik lokal (parlok).
Hal ini terjadi karena potensi anggaran yang dapat ”dimanfaatkan” oleh parlok untuk menutupi atau digunakan sebagai biaya politik sangat terbatas, yaitu hanya bersumber dari APBK dan APBA. Sementara partai nasional (parnas), selain dapat ”memeras” APBK, APBA, juga memiliki akses ke APBN, perusahaan nasional dan multi nasional.
Kader-kader partai nasional dapat dipromosikan menjadi komisioner di perusahan milik negara atau ditempatkan di kementerian, membantu kinerja menteri yang berasal dari satu partai politik.
Sementara kader partai lokal hanya bisa berharap dari seorang gubernur, bupati atau walikota. Itupun jika di daerah tersebut bupati atau walikotanya berasal dari partai lokal.
Sebab itu, dalam konteks persaingan antar partai politik, praktik politik semacam ini tidak ”fair” dan jika terus dibiarkan cenderung mematikan partai lokal di Aceh yang merupakan produk perjuangan berdarah. Diraih melalui perjanjian damai Helsinki.
Indikasi dari dampak politik natulak natarek mulai terlihat pada pemilu 2014 dan 2019. Jumlah kursi parlok menurun, salah satu faktor karena caleg dari parlok tidak memiliki logistik sebanyak logistik yang dimiliki caleg dari partai nasional.
Berbeda dengan pemilu 2009 parlok dapat menggunakan sentimen perdamaian dan MoU Helsinki sebagai materi kampanye untuk mempengaruhi pemilih. Sentimen MoU mulai pudar pada pemilu 2014 dan 2019 dan akan semakin memudar pada pemilu mendatang. Pudarnya sentimen MoU bisa jadi disebabkan banyak faktor, salah satunya tentu saja kuatnya pengaruh politik natulak natarek di lapangan.
Indikasi lain dari dampak politik natulak natarek juga dapat dilihat dari migrasi atau pindahnya beberapa kader terbaik parlok ke parnas. Meski alasan yang dikemukakan ke publik untuk memperjuangkan kepentingan Aceh di tingkat nasional, alasan terlalu besar tulak dan terlalu sedikit tarek jika bertarung di level politik lokal tidak bisa disembunyikan.
Persaingan tidak ”fair” dalam konteks politik natulak natarek antar parlok dan parnas di Aceh dapat diibaratkan seperti persaingan klub sepak bola kaya dan miskin di liga-liga Eropa. Klub kaya (parnas) sangat mudah membeli pemain terbaik (membeli kader partai atau suara pemilih). Selain karena mampu memberikan gaji besar, juga menawarkan iming-iming fasilitas dan akses bermain di level lebih tinggi seperti Liga Champion. Sementara klub miskin (parlok) hanya bisa gigit jari.
Karena itu UEFA, badan tertinggi yang mengurusi sepak bola eropa, memperketat aturan keuangan klub. Termasuk dalam hal jual beli pemain sehingga dapat mengurangi kesenjangan antara klub kaya dan miskin.
Lalu apa yang harus dilakukan dengan kewenangan ”self-government” yang dimiliki Aceh untuk mengurangi dampak yang lebih jauh akibat politik natulak natarek ini? Saya kira, kitalah yang patut memikirkan jawabannya bersama-sama.[]