Oleh: Dr. Sulaiman Tripa.
Dosen Fakultas Hukum, USK.
Beberapa kali saya dilibatkan dalam pengkajian naskah akademik sekaligus menyusun draf rancangan peraturan daerah. Lebih banyak dilibatkan para senior saya. Sejumlah kecil mendapat kesempatan karena hubungan pribadi. Tapi posisi ini tidak penting. Saya cenderung untuk melihat luaran dan prosesnya. Biasanya, apakah melalui senior atau hubungan pribadi, permintaan saya tetap sama: saya mendapat kesempatan yang nyaman untuk melaksanakan kajian empiris perihal apa yang akan diatur.
Permintaan saya bukan perkara mudah. Saya juga kadang-kadang harus memahami realitas. Senior saya pernah mengingatkan bahwa untuk kajian naskah akademik, yang akan digunakan sebagai argumen dalam menentukan isi dari qanunnya, tidaklah murah. Saya sepakat dengan itu. Bukan soal berapa honor yang harus dibayar, melainkan pada kajian secara mendalam untuk mendapatkan realitas penting dalam pengaturan sebuah qanun.
Saya kadang-kadang trenyuh dengan anggaran penyusunan basis argumen ini dikisaran belasan juta. Basis argumen yang menjadi bahan penting dalam menyusun normanya. Tapi itulah realitas. Tidak semua sumber daya manusia di daerah memahami proses kajian ini. Mereka mereka orang yang menyiapkan naskah akademik, akan duduk di belakang meja, lalu meraba-raba sambil merangkai naskah yang secara formal dibutuhkan.
Syarat formal adalah satu hal. Dalam menyusun qanun, apa yang secara formal akan menguatkan, termasuk dalam berkomunikasi struktur antara eksekutif dan legislatif, naskah akademik akan disiapkan. Sekali lagi, kadang-kadang berhenti pada formal. Apa yang ada dalam naskah akademik, kadang-kadang malah tidak ada hubungannya dengan isi draf qanun. Bagaimana bisa?
Saya pernah berpengalaman lain. Suatu kali ditugaskan kampus untuk membahas proses pembentukan qanun di daerah. Sesampai di sana, tidak seperti yang saya bayangkan. Dari kampus, saya membawa bahan terkait bagaimana melakukan kajian yang baik. Terutama untuk basis naskah akademik. Namun sesampai di sana, kami yang hadir langsung disodorkan draf rancangan qanun yang sudah jadi. Dalam waktu setengah hari, kami difasilitasi untuk menyusun naskah akademik hingga selesai. Ada-ada saja.
Ada dua catatan penting saya waktu itu. Pertama, soal urutan proses. Draf rancangan qanun seharusnya baru bisa disusun setelah naskah akademik ada. Bukan sebaliknya. Draf rancangan qanun yang tersedia, untuk menuntun bagaimana naskah akademik disiapkan. Kedua, soal waktu bagaimana naskah akademik disusun. Sebagai sebuah proses kajian, menyiapkan naskah akademik akan membutuhkan waktu untuk mendalami sekaligus memahami realitas.
Saya beranggapan dua sebab tidak mungkin diabai. Pertama, tentu soal sumber daya manusia bidang hukum yang konsisten, tidak tersedia di semua tempat. Guru saya sering mengingatkan soal sarjana yang ternyata tidak berdampak lebih jauh dengan kesarjanaannya. Kedua, soal ketersediaan anggaran, akibat dampak sumber daya manusia yang tidak memahami kebutuhan hukum daerah. Teks hukum dipahami sebagai teks yang bisa dituliskan oleh siapa saja.
Dua masalah dan dampak ini, saya kira juga ada peran kampus di dalamnya. Selama ini kita bisa mengkritik banyak pihak di luar kampus, walau mereka sebagai lulusan bidang hukum. Kampus penghasil sarjana hukum, kadang-kadang jarang dikritik. Kini saatnya kampus hukum juga diingatkan bahwa keadaan di luar tidak selalu seperti yang diharapkan. Salah siapa? Belum tentu salah sepenuhnya di luar sana. Bisa jadi kesalahan itu ada kontribusi dari kampus. Kini saatnya kampus mengevaluasi, untuk melihat diri, dan memahami apakah semuanya sudah berjalan dengan baik.
Jalan otokritik menjadi penting dalam melihat ke dalam. Kekuatan dalam akan berimbas bagi keadaan luar. Dalam bidang hukum. Jika ruang ini ditutup, semuanya akan merasakan kemunduran pada masanya. Keadaan ini butuh peran banyak pihak untuk bersama-sama ikut membangun dan saling menguatkan.
Suatu kali, dalam suatu diskusi tidak formal, seorang teman yang terdidik menanyakan mengapa harus ada naskah akademik dalam setiap produk peraturan perundang-undangan. Pertanyaan semacam ini, bagi orang terdidik, bagi saya seperti setengah bercanda. Orang terdidik pasti memahami apa yang dimaksudkan. Hanya saja mungkin secara teknis dalam dunia legislasi memiliki rumusnya tersendiri.
Teknis dalam dunia legislasi itu tidak mutlak hanya bisa dilakukan oleh orang hukum. Tidak semua orang hukum memahami hal semacam ini. Teknis ini sendiri sesungguhnya ada dua hal. Teknis formal dan teknis substansi. Teknis formal inilah yang memungkinkan orang-orang yang tidak pernah belajar hukum pun, bisa melakukannya. Dengan pendidikan tambahan bagaimana tahapan demi tahapan dalam pembentukan suatu produk perundang-undangan, dengan mudah bisa dimengerti. Namun untuk substansi, perlu bangunan ilmu hukum yang idealnya hanya dimengerti oleh orang hukum. Dalam dunia hukum sendiri ada spesifikasi yang membahas hal ini. Ilmu khusus mengenai bagaimana pembentukan produk perundang-undangan, memiliki satu bidang tersendiri di perguruan tinggi hukum.
Intinya naskah akademik itu istilah yang dipakai dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam dunia sehari-hari, ia bisa diganti dengan istilah hasil kajian atau hasil penelitian, yang mendasari bahwa sesuatu yang ingin dibentuk itu memiliki alasan tertentu. Ia tidak lahir karena proses suka-suka, atau hanya karena ingin terlihat targetnya tercapai. Dengan demikian, ketika pelaksanaannya, dalam susunan tim tidak mungkin hanya berisi orang hukum saja. Seyogianya ada sejumlah orang yang terlibat dari berbagai ilmu yang terkait.
Sebuah penelitian yang lengkap harus dijawab oleh berbagai keahlian. Bahkan mengatur hal yang bagi sebagian orang dianggap hal sederhana sekalipun, bisa jadi bagi mereka yang menekuni masalah tersebut, ada kompleksitas di dalamnya. Itulah yang menjadi alasan mengapa membutuhkan mereka yang memahami ilmu lain?
Pada dasarnya, pembentukan peraturan perundang-undangan itu ingin menulis persoalan-persoalan kehidupan yang lingkupnya sangat luas. Penekun sosiologi hukum memiliki pertanyaan kritis umumnya terkait dengan kemampuan produk peraturan perundang-undangan mampu menampung konteks kehidupan yang luas melalui teks-teks yang sangat terbatas.
Setidaknya ada kesenjangan yang bisa diperpendek rentangnya. Naskah akademik itulah idealnya yang mencoba mendekati persoalan kehidupan sesungguhnya dengan upaya menjangkau sejauh mungkin masalah dan daya jangkaunya. Sejumlah masalah secara langsung atau tidak yang harus dijawab: Apa masalahnya, bagaimana menyelesaikan, dan mengapa bisa berpikir dengan pengaturan akan menyelesaikan masalah itu? Ada sejumlah pertanyaan lain terkait ilmu khusus, antara lain asas apa yang akan menaungi? Kepentingan filosofis yang bagaimana yang menjadi bingkai? Kehendak yuridis yang seperti apa yang diinginkan? Daya jangkau sosiologis apa yang ingin diselesaikan.
Bagi saya demikianlah kepentingannya. Semua produk harus digarap dengan mendekati apa yang disebut dengan bahasa kehidupan. Sulit mencapai posisi bahasa kehidupan ini. Namun dengan pendekatan yang baik, ia bisa memperpendek kesenjangan yang ada. Kesenjangan terbesar adalah antara teks yang terumus dengan kenyataan konteks yang ingin dirumus. Kalimat hanya sedikit saja rumusan teks yang mampu menangkap lalu-lintas konteks yang ada dalam kehidupan kita.[]