Oleh: M. Rizwan Haji Ali
Penulis Dosen Program Studi Ilmu Politik, Fisipol, Universitas Malikussaleh.
Pada saat awal munculnya kelas menengah muslim di Indonesia era tahun 1990-an, hotel sudah lama menjadi tempat mereka belajar agama dalam kemasan modern. Dominannya kajian keagamaan itu diikuti oleh para eksekutif muda, terdidik, mapan dan tentu saja rasional.
Mereka memandang agama sebagai kamar pribadi dalam rumah kebangsaan yang majemuk. Tetapi, mereka membutuhkan agama karena adanya kehampaan ruang publik untuk membicarakan agama.
Kehampaan spiritualitas di ruang kerja dan kantor mereka, mendorong kebutuhan untuk mengenal agama, tetapi dengan cara yang modern. Diantaranya adalah membuka kajian agama di hotel.
Bagi orang-orang desa, hotel adalah simbol dari kekotaan. Penanda utama untuk memisahkan kota dan desa adalah hotel. Walaupun ada kota kecamatan dan disebut “kota” itu tetap saja bukan kota selama tidak ada hotelnya.
Masyarakat Ganda
Hotel adalah simbol persinggahan kapitalisme di tengah masyarakat agraris yang sedang berproses menuju masyarakat baru. Masyarakat modern adalah masyarakat nomaden baru. Tetapi mereka tidak berburu satwa, tetapi dolar, klien, aset, investasi dan segenap atribut ekonomi lainnya.
Kapitalisme ditandai oleh akumulasi modal, pembangunan dan modernisasi. Penetrasi kekuatan ekonomi memerlukan mandala untuk difasilitasi kelas kapitalis yang hadir untuk membangun kultur bagi bagi masyarakat agraris yang tradisional.
Ini kemudian melahirkan masyarakat ganda. Dalam bahasa ahli ekonomi Belanda, Boeke disebutnya sebagai dual societies. Namun dalam arti ekonomi yaitu sistem impor dalam bentuk kapitalisme memang telah menusuk dalam masyarakat tradisional, tetapi tidak mampu mengubah sistem sosial asli dalam masyarakat seperti yang dipersyaratkan oleh modernisasi.
Modernisasi yang membawa kapitalisme tetap tidak mampu mengubah masyarakat Indonesia-dalam kasus kajian Boeke- untuk meninggalkan nilai lama. Termasuk agama.
Tentu ini akan membuat mereka ilmuan seperti Boeke merasa terpukau. Bagaimana agama sebagai sistem sosial lama bisa berdampingan dengan kapitalisme yang lahir dari positivisme yang memandang agama sebagai sebuah gejala yang tidak relevan bagi modernisasi.
Faktanya memang seperti itu. Ada dua sistem saling berkoeksistensi. Sistem kapitalisme bersama sistem sosial lama di mana di situ agama memiliki posisi yang sangat kuat. Masyarakat ganda ini pun dapat dilihat di seperti di China, tetapi dalam konteks relasi ekonomi pasar dan sosialisme. Pasarnya kapitalistik tetapi dikontrol oleh politik sentralistik.
Hotel dan Kajian Agama
Mereka yang belajar tentang kapitalisme tentu akan heran mengapa hotel yang merupakan produk dari kapitalisme bisa mewadahi peran-peran agama di dalamnya. Mengapa bisa perangkat ini bisa dipakai untuk memperkuat dan memapankan sistem sosial lama yang dari awal ingin digusur oleh modernisasi.
Tentu ada penyebabnya asal muasal pembelokan ini dapat berlangsung. Maka mari kita telaah kembali hal ini.
Pertama, membesarnya kelas menengah muslim di berbagai posisi ekonomi politik di negara-negara muslim. Mereka bisa jadi pejabat, pengusaha, akademisi, profesional, atau profesi modern lainnya yang pada satu titik dalam perjalanan hidupnya tetap akan membutuhkan agama sebagai penuntun dalam hidupnya.
Mereka bisa jadi punya hotel, pabrik, atau konsultan profesional yang kemudian merasakan pentingnya menjadikan profesi atau usaha mereka tidak melepaskan diri dari agama. Itu dapat terjadi dan tidak akan menggangu usaha mereka.
Dengan didukung oleh struktur regulasi publik yang melarang hotel menjadi tempat maksiat -sebagaimana citra publik umumnya- maka membuka ruang bagi kajian agama di hotel merupakan sebuah pilihan strategis secara ekonomis dan mengandung nilai amal secara agamis.
Kedua, kondisi ini kemudian didukung oleh respon kreatif para tokoh agama dan ormas Islam untuk menyiarkan agama di ruang modern di mana manusia berkumpul. Sehingga lahir relasi simbiotik antara hotel dengan agama dengan kebutuhannya masing-masing.
Pada titik ini ternyata kapitalisme dan modernisasi yang pada dasarnya sekuler dan bahkan anti agama, telah berhasil dibelokkan dan ditundukkan di bawah pengaruh agama. Atau sebaliknya, mereka menyesuaikan diri untuk hidup dalam struktur yang menjadikan agama sebagai regulasi publik. Untuk saling berkoeksistensi dalam relasi simbiotik. Maka bagi ummat, tentu ini gejala yang menguntungkan. []