Oleh: Sulaiman Tripa.
Dosen FH Universitas Unsyiah, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Tidak dalam semua hal bisa disamakan. Kata-kata sama di depan hukum, secara sosiologis bisa diuji. Sama di depan hukum, bisa dilihat sejak dari konsep dan sejarah lahirnya asas ini, hingga pada bagaimana ia digunakan ketika hukum ditegakkan.
Secara sosiologis, akan terdapat perbedaan-perbedaan. Di dalam kelas, sering saya minta mahasiswa untuk menganalisis mengapa putusan hakim untuk kasus yang sama, bisa berbeda dalam memberikan hukumannya. Ada banyak hal dan proses yang dilalui oleh semua orang tidak sama di dalam realitas.
Kritik terpenting dalam mempelajari hukum, terutama untuk yang berada di ruang-ruang kampus, bukan pada posisi melupakan ketentuan yang harus berlaku sama. Catatannya adalah pada bagaimana ketentuan yang harus berlaku sama dipersonifikasikan oleh masing-masing penegak hukum dalam menangani para tersangka hingga terhukum.
Dalam konteks proses dan progres, saya melihat orang kecil penting mendapat perhatian. Masalahnya adalah secara sosiologis penegakan hukum terhadap orang kecil yang bersalah, lebih mudah dilakukan, tinimbang penegakan hukum terhadap orang-orang besar. Posisi yang saya sebut terakhir ini, kadang-kadang mampu menyediakan banyak pendamping hukum di sekelilingnya.
Negara menyediakan pembela untuk rakyat kecil. Tetapi dalam realitas, tidak semua orang kecil mendapat pembelaan dalam ruang-ruang penegakan hukum secara layak.
Makanya menurut saya, terhadap rakyat kecil, mutlak butuh keberpihakan. Bukan hanya dari mereka yang berkuasa. Melainkan dari kita semua. Terhadap mereka, dalam bahasa orang dikatakan affirmative action. Intinya sesuatu yang secara sepihak tidak bisa menggunakan standar kesetaraan. Tidak mungkin ada keberpihakan apabila penguasa menganggap perhatian orang yang berada harus sama dengan mereka yang tidak berada. Kebijakan yang semacam ini yang harus dimunculkan. Siapapun yang memiliki kuasa, harus mengingat bahwa kebijakan apapun harus menjadi cermin dari kebijaksanaan. Dengan kebijaksanaan, seseorang akan menggunakan rasa dalam melahirkan sesuatu. Tidak asal mengeluarkan kebijakan.
Kebijakan tidak bisa hanya menyerahkan kepada pasar yang bekerja. Pasar swalayan itu seharusnya tidak mendapatkan izin sampai ke pelosok kampung. Dengan memberikan banyak ijin, yang sedang digendutkan bukan orang kecil, melainkan orang-orang yang besar yang kebetulan juga membesarkan sedikit orang-orang kecil. Orang-orang yang dipekerjakan itu lalu dijadikan simbol seolah-olah ada keberpihakan. Padahal jumlah orang yang terlibat di sana, dengan kehancuran kios-kios kecil di sepanjang kawasan swalayan, tidak sebanding harga dan nilainya.
Publik juga seyogianya memiliki pilihan tersendiri. Di sini ada soal yang lebih besar yang harus menjadi spirit orang banyak, yakni masalah gengsi –mohon maaf apabila istilah ini kurang tepat. Kita kadang-kadang tahu bahwa kualitas barang yang dijual di swalayan dengan kios kecil pinggir jalan sama standarnya, hanya berbeda sedikit harga karena asal dan jumlah pembelian berbeda yang menyebabkan keuntungan juga berbeda. Jika kita pernah mencurigai ikan yang dijual orang kecil pernah berisi zat membahayakan, mengapa curiga itu tidak muncul ketika kita memilih ikan yang berhari-hari dalam pendingin kaca? Para penjual sayur yang membawa hasil kebunnya dan berangkat sebelum subuh, ketika tiba di pasar dengan harga recehan pun masih berani kita tawar. Di sini masalah gengsi.
Di satu pihak, kita merasa bangga bahwa berjualan di tempat mewah dan megah itu diberikan struk pembelian. Pada barang-barang yang kita beli juga tertempul harga sedemikian rupa. Sepeser pun kita tidak kurang membayarnya. Malah ketika ada uang receh untuk kembalian, diganti dengan sebiji permen pun tidak apa, padahal kita sadar bahwa mereka yang memiliki level teratas stratifikasi sosial dan ekonomi. Di pihak lain, terhadap orang-orang yang kita sadar keadaan mereka berkekurangan, kualitas barang tidak berbeda, namun kita masih berani untuk tawar-menawar seribu atau dua ribu saja.
Ini masalah gengsi. Mentalitas ini yang harus diubah. Orang-orang yang berada pada kelas menengah harus mengubah orientasi untuk kaum bawah. Mereka yang sedikit berkelebihan, harus berani berbelanja di kios-kios orang kecil, lapak-lapak kaki lima, dengan tidak menawar sama sekali.
Ketika berbicara mentalitas, membangkitkan spirit semacam ini agak sedikit berat. Sama ketika orang berdoa yang mengharapkan agar sesuatu yang diketahui sebagai benar atau salah, harus diberi kekuatan untuk melaksanakan atau meninggalkan. Banyak orang tahu terhadap sesuatu itu sebagai benar atau salah, namun tidak berdaya melaksanakan atau meninggalkannya.
Izin-izin yang diberikan penguasa untuk menggemukkan orang kelas atas, itu pasti menyadari kondisi semacam ini.
Jangan lepaskan untuk melihat secara luas dalam konteks hukum dan berhukum. Melihat bagaimana terhadap orang kecil hukum diterapkan, harus membuka mata kita sekaligus untuk memberi keberpihakan yang layak.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.