Saya punya pengalaman shalat tarawih di sejumlah masjid. Yang dipraktikkan juga beragam. Ada yang diselingi dengan ceramah. Sebagian tidak menjadwalkan ceramah karena ingin mempercepat selesainya tarawih. Banyak kampung, sejumlah kesempatan digunakan untuk mengundang penceramah, tapi acaranya sesudah selesai witir. Belum lagi soal debat jumlah rakaat. Shalat tarawih yang jumlah rakaatnya sedikit, biasanya diserbu. Bukan saja soal jumlah sedikit. Ternyata cepat tidaknya selesai, barang kali juga menjadi pertimbangan mereka yang beribadah.
Sebenarnya aneh. Ibadah kok dikejar-kejar. Beribadah, seharusnya dilakukan dengan baik dan penuh bahagia. Semua kesempatan, idealnya dimanfaatkan pada bulan penuh rahmat ini. Jangan disia-siakan. Ruang ceramah sangat penting, karena isi tentang pengajian, justru jadi momentumnya dalam bulan ini. Maksudnya, yang benar-benar ceramah. Ada isinya. Bukan sekedar mengundang asal ada penceramah, tapi yang dibahas jauh dari apa yang penting.
Soal tarawih dengan ceria, saya teringat satu cerita ipar saya saat pernah menjadi penyuluh pertanian beberapa tahun pada salah satu gampong di Geumpang. Waktu itu, di tempatnya tinggal, tarawihnya sangat khas. Mereka melsanakan tarawih dengan rasa senang, tidak ada yang tertekan. Mereka melaksanakannya dengan santai, tetapi tetap serius sebagai suatu ibadah. Santai yang saya maksudkan dari segi waktu dan prosesnya. Tidak kejar-kejaran.
Mereka yang tarawih sampai membawa bekal. Di sana, setelah empat atau enam rakaat, mereka beristirahat sebentar. Mereka yang batal wudhu akan mengambil kembali wudhunya. Lalu dilanjutkan kembali. Bagi mereka tidak masalah dari segi waktu, jam berapa selesai. Tarawih yang 20 rakaat itu bisa selesai tengah malam.
Saya kira ibadah dengan rasa bahagia sangat penting bagi kita. Bukan ibadah karena dikejar-kejar, atau bahkan karena ingin jadi sumber berita —di tempat lain ada tarawih sekian rakaat dalam waktu sejumlah menit. Ibadah yang demikian, akan menjadi bumerang suatu saat nanti, bagi manusia itu sendiri. Bagaimana bisa melaksanakan ibadah dengan seenaknya sendiri.
Rasanya seperti cerita ipar saya itu, beginilah ibadah. Tidak ada yang patut dikejar. Kualitas ibadah harus berlangsung sebanding dengan kuantitasnya. Bukan karena mengejar kuantitas lalu mengurangi kualitasnya. Keduanya harus sama.
Saya pernah mendapatkan satu fenomena lain yang menarik dan khas selama bulan Puasa—ketika selesai shalat tarawih dan witir, mereka saling bersalaman satu sama lain layaknya lebaran. Mereka merasa karena tarawih hanya ada di bulan ini, memperlakukan dengan baik juga sangat penting agar mencapai kualitas yang sempurna. Tidak ada tarawih diluar bulan ini. Posisi yang membuat masjid-masjid terasa sedikit perlu tambahan ruang ketika memasuki bulan puasa. Terutama di hari-hari awal. Namun seiring perjalanan waktu, semakin hari semakin berkurang. Setelah lima hari, berkurangnya jumlah terlihat jelas. Hanya sebagian masjid yang jamaahnya bisa mempertahankan semangat mereka. Ada sebagian lagi yang berhasil meningkatkan jumlah jamaahnya pada hari-hari terakhir.
Biasanya pada hari-hari terakhir, berkurangnya jumlah karena ada semangat lain yang terpompa, yakni menyambut hari raya. Padahal, substansi hari raya adalah pada keberhasilan menuntaskan puasa. Maka seharusnya yang secara sempurna merayakan hari raya adalah mereka yang berhasil mempertahankan semangatnya hingga hari-hari terakhir.
Godaan lain dalam rangka menyambut hari raya adalah pertarungan gegap-gempita duniawi. Hanya pada dua hal utama, yakni pakaian dan makanan. Orang sibuk di pasar pada detik-detik demikian, kebanyakan untuk memburu dua hal itu. Dua hal ini pula yang membuat kondisi banyak masjid menjadi berkurang drastis jamaahnya.
Kita bisa menangkap pada lokasi masjid yang dekat dengan pasar. Sebelum tarawih selesai, pasar sudah lebih semarak –kondisi kebalikan yang seharusnya orang menyemarakkan menit-menit akhir Ramadhan. Pilihan apapun pada dasarnya akan berimplikasi kepada kita masing-masing.
Jadi itulah alasan mengapa di awal-awal, tarawih itu menjadi sesuatu yang khusus. Pada posisi demikian, ada orang yang lebih tahu shalat tarawih yang hukumnya sunat ketimbang shalat lima waktu yang hukumnya wajib. Orang yang jarang tampak pada jamaah wajib, tiba-tiba menjadi jamaah saf pertama jamaah sunat. Seharusnya dua-dua dilakukan, wajib dan sunat, sekarang atau nanti, masa kini atau masa depan.
Di samping itu, ada sebagian masjid yang berhasil memompa semangat jamaah. Semakin har-hari akhir, mereka berupaya menarik semakin banyak jamaah, dengan berbagai ibadah yang dipersiapkan. Bagi mereka, semangat untuk beribadah harus diundang dengan upaya semenarik mungkin. Mereka yang melakukan usaha tersebut yang akan berhasil meningkatkan jamaahnya hingga hari-hari terakhir.
Begitulah gambaran tarawih. Apalagi dalam jamaah, setiap selesai shalat persis ketika suasana selesai shalat hari raya. Setiap selesai shalat tarawih dan shalat lima waktu, semua jamaah saling bermaaf-maafan secara fisik –mudah-mudahan juga batinnya. Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Kamis, 6 Puasa 1446, 6 Maret 2025]