Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Pada tanggal 18 Desember 2018 saya diundang dalam acara Festival Janadriyah di Riyadh, Arab Saudi. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam acara kebudayaan Arab ini. Namun, selama 10 hari saya berkesempatan mengunjungi Madinah dan Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah.
Singkat kata, dalam perjalanan ini, saya memandang bahwa negara Arab Saudi telah dikepung oleh barang-barang dari Cina. Hampir semua oleh-oleh yang dijajakan oleh pedagang merupakan produksi Cina. Kain ihram yang saya gunakan juga produk dari Cina. Pola Cina mengepung Arab melalui konsep “made in China”, berbanding terbalik dengan kasak-kusuk persoalan kematian Jamal Kashoggi, dimana Amerika Serikat sangat aktif di dalam merespon masalah ini. Barang-barang Cina, seolah-olah tidak memperdulikan situasi politik dimana pun. Bisa dibayangkan, bahwa para penziarah dari Indonesia menunaikan ibadah di Haramayn membawa pulang oleh-oleh yang hampir semuanya buatan Cina. Adapun nama-nama hotel di sekitar Masjidil Haram sebenarnya merupakan sindikat pebisnis dari Barat. Saya membayangkan bahwa Cina telah mengepung negara-negara Arab dengan berbagai barang yang diperlukan oleh penduduk setempat.
Kondisi ini memerlukan penjelasan lanjutan tentang ekspansi perekonomian Cina yang menjalar ke seluruh penjuru dunia. Tahun 2008, ketika saya bekerja di salah satu lembaga donor di Aceh, tiba-tiba datang seorang perempuan Cina ke kantor kami. Tanpa basa basi, dia langsung menawarkan barang dalam keranjang plastik. Dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu lancar, dia membuka tasnya dan menawarkan barang-barang dagangannya. Ketika saya tanyakan izin bekerja kepada perempuan tersebut, dia langsung menyahut: “suami saya orang Medan.” Berulang kali, dia mengatakan hal tersebut, sambil memasukkan barang dagangannya ke dalam kerajan plastik. Dia terus mengatakan “suami saya orang Medan”. Setelah itu, dia langsung kabur, ketika saya desak dengan visa yang dia kantongi. Saat itu, saya tidak ambil pusing dengan sosok perempuan tersebut.
Namun, ketika membaca China’s Silent Army, saya mulai mengerti bahwa pola yang sama mereka lakukan di Timur Tengah. Mereka adalah perempuan Cina yang datang ke pintu-pintu rumah orang Arab, untuk menanyakan apakah mereka memerlukan sesuatu. Mereka dikenal sebagai shanta sini (orang Cina dengan tas). Persis seperti perempuan yang masuk ke kantor saya di Banda Aceh. Di Mesir, kelompok ini dikenal sebagai Shanta Sini sebagai dijelaskan oleh Cardenal dan Araujo, yang merupakan: “This army of migrants from the poorest areas of China, many living in the country illegally on expired visas, have managed to conquer Egypt’s retail textile market with nothing but their go-getting attitude and determination to escape from poverty.”
Ada tiga hal yang menunjukkan bagaimana orang Cina dengan tas yaitu mereka berangkat dari kawasan yang miskin dan beradu nasib di negara-negara tujuan, untuk mengeluarkan diri mereka dari kemiskinan, lalu mereka menguasai sejumlah aktifitas bisnis di berbagai negara. Mereka ini adalah pejuang bisnis Cina yang memulai dari angka nol dengan sejumlah kenekatan-kenekatan di dalam menghadapi para konsumen di negara yang mereka datangi.
Dalam salah satu sesi Ted Talks, salah seorang narasumber yaitu Leslie T. Chang, menceritakan bagaimana kegigihan wanita Cina yang bekerja di pabrik-pabrik dengan gaji yang cukup rendah. Karena tuntutan hidup, mereka terpaksa menyimpan uang gaji berbulan-bulan mereka hanya untuk membeli smartphone atau tas bermerek. Begitulah keuletan para pekerja Cina di dalam menjalani kehidupan. Perubahan dari kemiskinan menuju kesejahteraan, menyebabkan mereka juga harus mencari nafkah di beberapa negara. Filosofi shanta sini adalah potret orang Cina yang menjajakan apapun kepada konsumen untuk bertahan hidup. Hal ini belum lagi para pekerja lelaki Cina yang terkadang bekerja dibawah gaji yang cukup rendah dan situasi kerja yang cukup ekstrim. Mereka rela meninggalkan sanak keluarga hidup di pinggir jalan atau di tengah hutan, guna untuk bertahan hidup.
Jika begitu semangat merubah hidup dari kelas bawah, maka dapat dipastikan bahwa ekspansi ekonomi Cina yang diperagakan oleh elit-elitnya tidak kalah semangatnya. Mereka akan masuk pada berbagai sistem untuk memuluskan kepentingan ekonominya. Adapun yang terpenting adalah “made in China” dapat dijual secara luas ke seluruh dunia. Dalam konteks ini, sangat wajar jika ke manapun saya pergi di beberapa negara, produk Cina selalu menanti setia di etalase toko. Karena itu, melihat gejala kekinian ini, maka perlu digali akar mengapa begitu beda antara perilaku Cina dengan masyarakat lainnya di dunia ini. Tidak hanya itu, orang-orang terkaya di Cina pun pada prinsipnya bukanlah dari kalangan pemerintahan. Saat ini, daftar orang terkaya menurut majalah Forbes tahun 2018 tetap diduduki oleh Jack Ma (US$ 34.6 M). Adapun daftar lengkapnya setelah Jack Ma adalah: Ma Huateng ($ 32.8 M), Hui Ka Yan ($ 30.8 M), Wan Jianlin ($22.7 M), He Xiangjian (19.5 M), Yang Huiyan ($ 17.1 ), Wang Wei ($ 14.9 M), Robin Li ($ 14.6M), Li Shufu ($14.2 M), dan William Ding ($13.5 M). Bahkan di Indonesia pun, daftar orang terkaya masih banyak didominasi oleh keturunan Cina, ketimbang pribumi.
Orang Cina yang tinggal di luar Cina dikenal sebagai huaqiao. Istilah Hua adalah orang Cina yang berasal dari Cina. Sementara qiao adalah mereka yang tidak sementara yang merupakan pekerja Cina yang bekerja sebagai buruh, pedagang dan profesi lainnya. Mereka kemudian dikenal sebagai orang Cina yang merantau ke luar negara Cina. Karena itu, Shanta Sini adalah qiao yang berangkat merantau ke berbagai negara untuk mencari nafkah melalui berbagai cara dan model. Mereka membuka jaringan bisnis dengan kelompok Cina yang sudah lama menetap di kawasan baru. Rasa persaudaraan ini menjadi modal untuk saling membantu dan melindungi antara satu sama lain. Rasa persaudaraan ini juga terlihat dalam jiwa nasionalisme mereka. Leo Suryadinata menuturkan bahwa: “These Chinese are often regarded as a homogeneous and unassimilable group who speak only Chinese and are politically and culturally oriented toward China.” Kondisi inilah yang agak menyulitkan bagi pribumi untuk mencari bagaimana kesetiaan orang Cina terhadap negara yang baru ditempatinya. Mereka masih memiliki jiwa nasionalisme, yang ditandai kesetiaan pada bahasa, budaya, dan politik di tempat asal mereka yaitu negara Cina. Dalam negara Cina juga dikenal konsep yimin, yaitu memindahkan masyarakat dari satu kawasan ke kawasan lain di dalam negara Cina. Sedangkan orang yang bermigrasi ke luar negeri dikenal melalui konsep qiaoju.
Tidak sedikit kemudian para sarjana ingin mengupas tentang bagaimana konsep ekonomi yang dilakukan oleh orang Cina. John G. Gurley mengupas strategi Cina ini dengan membandingkan sistem kapitalis dan Maois. Sistem kapitalis lebih banyak dipengaruhi oleh Adam Smith. Namun, dalam sistem Cina lebih banyak dipengaruhi pemikirannya oleh Mao. Di sini peran negara sangat sentral. Sementara individu diberikan kesempatan untuk memperbaiki nasib hidup mereka masing-masing sesuai dengan capaian pekerjaannya.
Karena itu, dalam sistem ekonomi Maois, semua harus maju, tanpa ada yang tertinggal sama sekali. Negara harus memberikan ruang perekonomian pada setiap individu, agar mereka mampu mengaktualisasikan kekuatan kreatif. Karena itu, tidak mengejutkan jika kemudian orang Cina benar-benar memanfaatkan ruang-ruang publik untuk menunjukkan kreatifitas mereka di dalam menjalankan roda bisnis. Di sini, upaya mereka untuk berbisnis lebih dikedepankan melalui kekuatan ikatan keluarga atau kerja sama yang dikenal melalui konsep kongsi.[]