Oleh: Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.
Antropolog dan Dosen UIN Ar-Raniry, Kopelma Darussalam, Banda Aceh.
Era abad ke-21 adalah kebangkitan agama dalam ranah publik yang dipengaruhi oleh Techno-Religion dan Big Data. Konflik, lebih banyak dipicu oleh konflik kesadaran, ketimbang konflik pemikiran, sebagaimana lazimnya dalam Proxy War atau Hybrid War.
Big Data menyebarkan informasi untuk membangkitkan rasa emosional, ketimbang rasional. Dewasa ini, negara, terutama lembaga-lembaga pemerintah telah terjebak pada konflik kesadaran beragama, yang dipicu oleh Techno-Religion.
Negara sejatinya tidak memberikan energinya pada kestabilan pada persoalan pemahaman agama, melainkan menjadikan memerlukan rekayasa baru tentang imajinasi kebangsaan abad ke-21 M, dimana spirit kebangsaan mampu menyerap semua energi yang terpancar dari semua keyakinan anak bangsa di negeri ini. Imajinasi kebangsaan ini adalah memantulkan pilar-pilar kebangsaan sebagai bagian dari pertahanan negara dari Perang Kosmik (Cosmic War).
Semakin negara mempersempit ruang berpikir anak bangsa, semakin besar pula peluang kesadaran beragama itu muncul dan dapat mengancam stabilitas politik dan keamanan negara. Sejauh ini, kericuhan (chaos) lebih banyak disebabkan negara mengunci ruang berpikir, tanpa pernah berpikir akan memunculkan ruang kesadaran, yang dapat berakibat fatal pada imajinasi kebangsaan.
Reproduksi pengetahuan anak bangsa tidak lagi bergantung pada suplai informasi dan pengetahuan dari negara, melainkan pada habit of mind masyarakat itu sendiri yang dipengaruhi oleh Artificial Intelligence. Karena itu, pemerintah sangat penting dalam menangani kemajuan Artificial Intelligence yang saat ini, lebih banyak dikuasai oleh negara-negara maju.
Inilah kekuatan baru di dalam menundukkan sebuah negara setelah Perang Kosmik dijalankan. Perang Kosmik adalah Perang Metafisika yang jauh lebih berbahaya dan mengancam keamanan negara  daripada Proxy War  dan Hybrid War.
Untuk itu, langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan adalah merumuskan kembali imajinasi kebangsaan yang sesuai dengan keadaan umat manusia abad ke-21. Imajinasi kebangsaan yang baru ini, sebenarnya untuk keluar dari jebakan-jebakan teori modernisasi yang dihasilkan pada tahun 1950-an.
Jika awal tahun 1900-an, agama berusaha disingkirkan dari arus kolonialisasi, pada tahun 1950-an, rasionalisasi dan modernisasi, berusaha untuk menghantam komunis dan Islamis. Namun, sejak tahun 2000-an, semua kekuatan spirit yang disingkirkan selama 1 abad lebih, sudah bangkit menjadi kekuatan baru. Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi negara yang dapat menuju great transformative state.
Imajinasi kebangsaan yang baru bukanlah menghidupkan sesuatu yang disukai oleh rezim dan mematikan sesuatu yang tidak diminati oleh rezim. Beberapa negara yang melakukan hal ini, walaupun memiliki kekuatan yang sangat kuat, untuk mengontrol pikiran, jiwa, dan tingkah laku masyarakatnya.
Ketika imajinasi kebangsaan disumbat, maka mau tidak mau, rakyat akan menolak untuk bersatu. Dewasa ini, anak-anak milenial mulai memplesetkan atau menyindir situasi kebangsaan dalam aplikasi Tik Tok. Mereka mungkin tidak tahu apa yang terjadi dalam kemelut bangsa. Bahkan situasi demo pun dapat dijadikan sebagai content untuk Youtube. Mereka juga membuat berbagai meme, untuk menyikapi masalah kebangsaan saat ini.
Kondisi di atas tentu saja akan memberikan pengaruh pada imajinasi kebangsaan mereka di masa yang akan datang. Anak-anak muda ini tidak begitu tertarik dengan pemikiran dan jawaban yang jelimet. Mereka hanya berpikir bahwa kestabilan diperlukan untuk memudahkan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Pola kemunculan hyper connected society dan persoalan imajinasi kebangsaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan situasi kebangsaan saat ini di Republik Indonesia. Pola melihat masalah kebangsaan, tentu saja berbeda antara satu generasi dengan generasi berikutnya. Ada generasi yang hanya memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya masing-masing. Mereka berselimut nasionalisme yang seakan-akan berwajah santun dan rupawan.
Dewasa ini, apapun yang dikeluarkan dari pintu parlemen dicurigai. Demikian pula, terkadang apapun yang keluar dari pintu istana dilihat dari sisi konspirasi. Rakyat dalam situasi kebuntuan siapa yang harus mereka percayai. Keadaan ini juga diperparah dengan persoalan subversi ideologi.
Hemat saya, siapapun yang akan menjadi presiden dan orang kuat di sekitar presiden, harus memikir ulang, bahwa kekerasan dan ancaman terhadap rakyat tidak akan menyelesaikan masalah. Hal ini disebabkan persoalan yang muncul adalah persoalan kejiwaan dan ketatapikiran di dalam benak rakyat.
Esai ini hanya sebagai pembuka diskusi tentang masalah kebangsaan yang semakin ruwet. Setiap usaha untuk memberikan pokok-pokok pikiran untuk mempersatukan, semakin kuat pula energi dirasakan untuk memisahkan dan menghancurkan imajinasi kebangsaan.
Imajinasi kebangsaan merupakan modal awal ketika melihat konteks kenegaraan. Sebab imajinasi kebangsaan selalu diisi oleh mereka yang kadang tidak terlibat dalam kehidupan bernegara. Mereka ada yang di penjara, digantung, difitnah, dibunuh, dan sangat mungkin tidak dikenali. Karena itu, dalam abad ke-21 ini, tentu saja persoalan semakin rumit untuk dipecahkan di dalam membangun tradisi bernegara dan berbangsa.
Untuk itu, persoalan yang disampaikan dalam esai ini tentu akan dilimpahkan kepada generasi berikutnya, untuk melihat apa bentuk imajinasi kebangsaan yang akan mereka toreh, di kemudian hari. Saya hanya menyajikan DIM (Daftar Isian Masalah) yang sangat boleh jadi masih banyak hal yang belum tersentuh.
Dengan begitu, besar harapan saya, strategi kebangsaan untuk masa depan Indonesia perlu dirumuskan secara mendalam dan kontekstual. Jika ada basis pemikiran yang tidak lagi cocok untuk konteks kekinian, maka perlu dicari dasar-dasar baru yang memungkinkan imajinasi kebangsaan terwujud sesuai dengan perkembangan zaman. Akhirnya, kita berharap kemelut bangsa ini bukan diselesaikan dengan membanjirkan darah di daerah.