Oleh: Silfana Nasri.
Spesialis Gender dan Inklusi Sosial. Master Studi Gender, Universitas Sussex, Inggris.
Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad yang berjudul Apakah Perempuan Masih Berfungsi dalam Era Peradaban Planetari?. Tulisan tersebut, menurut saya perlu didiskusikan lebih lanjut, dalam semangat dialektika keilmuan dan saling memperkaya perspektif, terutama perspektif adil gender.
Di bagian awal tulisannya, Kamaruzzaman mengatakan robot dapat mempunyai emosi seperti manusia, dan suatu saat nanti akan menggantikan peran manusia. Ketika tinggal di Inggris, saya melihat sendiri bagaimana mesin-mesin pembuat kopi menggantikan fungsi café dan peran pramuniaga. Saat ini ada sebuah aplikasi yang bernama Replika yang dikembangkan berbasis Artificial Intelligence (AI). Aplikasi ini memungkinkan kita untuk mendesain sendiri teman chatting. Bukan hanya pekerjaan, fungsi pertemanan pun berusaha coba digantikan mesin.
Ketika si pengguna Replika menceritakan perasaannya yang senang, sedih, atau depresi, teman virtual ‘Replika’ ini akan merespon dengan template yang kaku dan tidak alami, tidak sealami interaksi manusia. Memang, setidaknya ada satu hal yang tidak akan pernah bisa digantikan mesin, yaitu interaksi emosional antar manusia. Secara psikologis, otak kita membutuhkan interaksi manusia.
Interaksi antar manusia ini merupakan sesuatu yang kompleks; ketika kita berinteraksi dengan manusia, otak kita bekerja dengan melakukan berbagai hal: kita mengamati, mendengar aktif, membangun empati, mencerna informasi, melakukan refleksi atas apa yang disampaikan oleh lawan bicara kita; terkadang kita mengkonfrontasi, kita memikirkan bagaimana memberikan respon yang tepat, dan sebagainya. Respon yang terjadi dari interaksi manusia ini adalah sesuatu yang luwes dan natural.
Dalam urusan paling intim sekalipun, peran teknologi tidak dapat sepenuhnya menggantikan manusia. Dalam urusan pemenuhan kebutuhan seksual, misalnya. Banyak orang membahas tentang keberadaan boneka seks – kebanyakan berwujud perempuan – yang diprediksi dapat menggantikan peran perempuan dalam urusan seks. Begitu juga dengan berbagai alat bantu seks yang telah secara massif diproduksi dengan berbagai bentuk, dan diperuntukkan untuk memuaskan berbagai kebutuhan seksual manusia. Tapi benarkah alat seks buatan dapat menggantikan peran laki-laki dan perempuan?
Saya diantara orang yang tidak mempercayai ramalan seperti itu. Tidak banyak yang tahu bahwa alat bantu seks tertua yang pernah ditemukan adalah sebuah dildo yang terbuat dari batu, telah berumur sekitar 28.000 tahun. Artinya dildo tersebut sudah digunakan pada zaman es dan pada saat itu dildo batu tersebut adalah teknologi tercanggih pada masanya. Selama rentang waktu 28.000 tahun tersebut hingga kini. Apakah peran laki-laki dalam memenuhi kebutuhan seksual sudah sepenuhnya tergantikan?
Saya pernah mewawancarai seorang laki-laki yang memiliki boneka seks. Saya tanyakan padanya bagaimana rasanya berhubungan seksual dengan boneka seks. Responnya mengejutkan. Ia mengatakan bahwa “rasanya seperti berhubungan seks dengan mayat. Datar sekali responnya. Berbeda dengan manusia.”
Hal ini tentulah masuk akal: ketika dua orang manusia berhubungan seks, ini bukan soal dua tubuh yang saling berinteraksi. Ada latar belakang sosial-budaya, berbagai pembelajaran, dan pengalaman yang melatarbelakangi keunikan kedua orang ini. Dalam prosesnya terjadi aksi-reaksi, berbagai sentuhan, komunikasi, perasaan diinginkan, empati, dan intimacy yang membuat hubungan seksual dengan manusia menjadi lebih bermakna.
Teknologi tidak mengenal gender?
Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad mengatakan dalam tulisannya bahwa masifnya informasi atau yang ia istilahkan dengan ‘gelombang tsunami informasi’ – di masa kini dimana perkembangan teknologi terjadi dengan begitu pesat – tidak mengenal gender. Menurut saya pernyataan ini sesuatu yang keliru. Saat ini pihak pemilik situs di Internet dapat mengantongi data demografis seperti usia, jenis kelamin dan gender, lokasi, dan asal negara, serta aktivitas si pengguna tersebut di Internet.
Data pengguna kemudian disimpan untuk kepentingan tertentu dan akan dipakai dengan tujuan komersial yang disesuaikan dengan identitas penggunanya.
Begitu juga dengan produk teknologi lainnya, yaitu robot. Robot dirancang di dunia manusia yang hidup dengan norma gender, identitas gender, dan hubungan gender. Manusia-baik sebagai desainer atau penggun-cenderung menggunakan mesin yang diberikan gender karena dalam budaya manusia, gender adalah kategori sosial utama. Ketika pengguna menetapkan gender ke mesin, maka ada stereotip yang mengikutinya.
Robot yang diberikan gender dapat memperkuat ketidaksetaraan gender dengan memperkuat stereotip saat ini. Merancang perangkat atau robot dengan stereotip manusia saat ini dapat memperkuat stereotip tersebut di masa depan. Desainer yang memiliki kesadaran sosial seharusnya memiliki perspektif sosial dalam mendesain robot yang dapat mendorong perubahan sosial. Oleh karena itu, semua produk teknologi—baik mobil, instrumen bedah, kursi, atau robot—perlu dirancang dengan mempertimbangkan jenis kelamin (karakteristik biologis) dan gender (sikap dan perilaku bentukan budaya).
Manusia cenderung memperlakukan robot sebagaimana manusia tersebut memperlakukan orang lain. Saat robot muncul sebagai agen sosial, para tim desainer lintas ilmu memiliki tantangan untuk menciptakan lingkaran perubahan budaya menuju kesetaraan sosial. Budaya (terdiri dari norma dan stereotip gender) mempengaruhi si perancang robot. Norma gender saat ini terkadang secara tidak sengaja diterapkan ketika membuat robot. Pembuat robot memiliki kesempatan untuk berkontribusi secara sosial dengan membuat produk yang mempromosikan kesetaraan sosial. Hal ini dapat membantu pengguna mempertanyakan kembali norma gender tradisional yang selama ini diyakininya.
Robot adalah mesin tanpa gender atau seksualitas yang alami. Akan tetapi kehadiran robot juga berakar pada ekspektasi budaya kita yaitu sebagai pelayan, teman, hewan peliharaan, budak, mainan, pendamping, dan peran lainnya. Peran ini sarat dengan stereotip penggunanya. Robot berwujud manusia memiliki serangkaian keunikan lainnya bagi si pengguna, yang harus menyadari bahwa robot yang dirancang memang memiliki bentuk tubuh, perilaku, dan berbagai kecerdasan yang mirip manusia. Perkembangan robot yang sangat mirip manusia ini dapat membuat robot menjadi ‘mesin yang tidak terlihat’; mekanis, namun dengan penampilan dan perilaku yang mirip manusia, memicu rasa kemanusiaan yang dirasakan oleh si pengguna hingga ke suatu titik di mana si pengguna merespon robot sebagai sesuatu yang seolah benar-benar hidup.
Peran Domestik atau Publik?
Dalam tulisannya, Kamaruzzaman memperkirakan peran perempuan akan tergantikan dengan hadirnya banyak robot perempuan saat ini. Dalam interpretasi saya, peran-peran yang dibicarakan itu adalah peran domestik perempuan. Bahkan untuk peran-peran domestik pun, kesimpulan seperti itu perlu dipertimbangkan lagi.
Di beberapa budaya, mengambil air adalah bagian dari tugas rumah tangga yang dilakukan perempuan. Kehadiran listrik dan mesin pompa air sangat membantu perempuan. Lalu pertanyaan saya, apakah ketika mesin pompa air ditemukan dan digunakan secara luas, para perempuan menjadi kebingungan dan perannya tergantikan karena tidak perlu berjalan jauh lagi untuk mendapatkan air?
Kajian dari International Labour Organization (ILO) mengatakan bahwa perempuan di Kawasan Asia dan Pasifik menghabiskan waktu empat kali lebih banyak dari pada laki-laki dalam melakukan pekerjaan perawatan tak berbayar (layanan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga untuk anggota rumah tangga).
Cara pandang terhadap peran gender yang tradisional menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling bertanggungjawab soal dan hal ini tidak dianggap sebagai ‘pekerjaan’, melainkan kewajiban.
Di satu sisi, perkembangan teknologi dapat berkontribusi positif terhadap perubahan norma gender tradisional. Ada banyak teknologi yang kini memudahkan laki-laki dan perempuan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Lalu apakah kehadiran teknologi akan membuat para perempuan kebingungan memainkan perannya yang tergantikan oleh mesin? Satu pertanyaan masih mengganggu pikiran saya, apakah peran perempuan yang dimaksud adalah peran domestik atau peran publik? Kalau perempuan akan berkurang perannya dalam sektor domestik, Menurut saya malah bagus. Perempuan bisa beralih ke sektor yang lain, menjadi politisi, misalnya. Artinya peran perempuan di sektor publik tidak akan pernah tergantikan dengan banyaknya robot-robot perempuan.
Kamaruzzaman ikut juga memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Saya berharap tulisan kajian-kajian futuristik (future studies) menjelaskan sesuatu yang lebih maju, progresif dan adil gender.
Namun sayangnya sedikit penulis dari kebudayaan kita yang berhasil melepaskan diri dari pandangan dan nilai-nilai gender tradisional yang sudah mengakar dalam masyarakat kita.
Bagaimanapun pada awalnya saya mengapresiasi pandangan Kamaruzzaman yang mengatakan perempuan dapat berkiprah menjadi pemimpin, tapi seharusnya tidak dibatasi maknanya sebagai “pemimpin dunia maya”, “pemimpin rumah tangga”, “berkiprah dari rumah”, dan “mengais rezeki sambil menggendong anak, memasak di dapur, dan membersihkan tempat tidur”. Bisakah peran-peran tradisional perempuan tidak diperkuat terus menerus dalam narasi future studies, bahkan ketika kita membicarakan masa depan, sebuah peradaban manusia yang akan datang ratusan tahun kemudian? []