Si bungsu saya bertanya, “Ma, apa bedanya sekolah mama pondok dulu dengan sekolah abang sekarang?”. Saya sempat terdiam dengan pertanyaannya. Pertanyaan itu muncul saat kami sedang mengunjungi abangnya di pondok pesantren. Setelah sekian lama ada larangan mudif atau kunjungan wali santri, sekarang diperbolehkan dengan tetap menerapkan prokes secara ketat.
Saya mantan santri tahun 90an awal. Walaupun hanya sekolah di pondok selama tiga tahun pada level tsanawiyah, tapi saya telah merasakan bagaimana menjadi anak santri. Perjalanan dari rumah yang harus ditempuh selama 12 jam saya alami bersama teman-teman.
Orang tua saya hanya berkunjung saat mengantar pertama dan menjemput pulang. Selebihnya tidak dikunjungi karena jarak yang jauh dan adik-adik saya yang masih kecil. Tinggal di asrama, berteman dengan banyak orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda, mengikuti peraturan dan pendisiplinan yang ketat dibandingkan dengan di rumah, dan yang paling berkesan adalah belajar memutuskan segala sesuatu secara mandiri.
Memutuskan bersekolah di pondok pada saat itu bukanlah perkara yang mudah bagi siapa saja, baik bagi si anak atau orang tuanya. Saat itu tidak banyak anak-anak yang bersekolah di pondok dan tidak banyak sekolah pondok yang tersedia. Saya mengetahui bahwa pada awalnya orang tua saya keberatan dengan keinginan saya tersebut, tetapi almarhum kakek saya sangat mendukung sehingga orang tua saya menyetujui untuk memenuhi keinginan saya bersekolah yang jauh dari rumah.
Namun berbeda dengan masa sekarang. Jumlah sekolah pondok yang tersebar di semua wilayah memudahkan untuk memenuhi keinginan anak-anak yang memilih bersekolah di pondok dan juga membantu orang tua dalam memberikan alternatif pendidikan agama kepada anak-anaknya.
Walaupun demikian, ada beberapa perbedaan antara pondok dulu dan sekarang, sehingga menimbulkan juga perbedaan santri dulu dan santri sekarang. Pertama, keinginan anak dulu dan sekarang. Dulu anak-anak yang bersekolah di pondok baik itu pondok tradisional atau modern merupakan keinginan anak-anak sendiri. Orang tua hanya memberi dukungan saja.
Sehingga jika orang tua tidak berkunjung dengan berbagai alasan maka tidak menjadi persoalan bagi si anak.
Berbeda rasanya dengan anak-anak sekarang. Anak saya saja yang sudah memasuki tahun ketiganya di pondok jika ada kesempatan berkunjung tetap menanyakan kepastian kapan kami orang tuanya berkunjung lagi. Dimana selama masa pandemi ini, peraturan di pondok melarang kunjungan terhadap anak-anak di pondok.
Pola pengasuhan dan penggemblengan yang diberikan di pondok bertujuan untuk memandirikan para santri, baik itu secara mental maupun intelektual. Kondisi pondok dulu yang masih terbatas, di tambah lagi dengan kurangnya fasilitas infrastruktur dari pondok membuat santri-santri belajar dengan fasilitas terbatas dan menjadikan mereka mampu serta kreatif dalam menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Sebagai contoh, dulu di pondok saya dan teman-teman harus mencuci baju dan menyetrika sendiri. Pada masa itu jenis setrikanya masih memakai arang. Kondisi tersebut tentunya tidak dipelajari di rumah. Walaupun di rumah orang tua masih menggunakan setrika arang, dipastikan sang ibu tidak mengijinkan anak-anaknya memakai peralatan yang beresiko tinggi seperti setrika arang tersebut.
Maka jika dibandingkan dengan anak-anak sekarang. Banyak pondok yang telah menyediakan jasa laundry bagi santri-santrinya, dengan alasan tidak cukup waktu untuk belajar jika harus melakukan pekerjaan lifeskill seperti mencuci dan menyetrika. Padahal belajar tentang ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan belajar lifeskill, karena manfaat akan dirasakan saat santri-santri ini telah hidup dalam masyarakat sebenarnya.
Kedua, sistem lembaga pendidikan yang berbeda. Pondok pesantren dulu lebih memprioritaskan pendidikan ilmu agama. Walaupun ada beberapa pondok yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum. Sistem sekolah yang diterapkan pada pondok dulu berbeda dengan sistem sekolah di pondok sekarang. Jika dulu setiap perpindahan sekolah dan kenaikan tingkat, maka santri perlu mengikuti ujian persamaan agar diakui pendidikan yang didapat sebelumnya.
Selain itu status lembaga pendidikan tidak atau belum diakui untuk dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Pengalaman saya saat itu harus mengikuti ujian nasional di sekolah umum yang mengadakan ujian tersebut. Karena di pondok tempat saya belajar tidak dapat menyelenggarakan ujian nasional. Tetapi pondok pada masa sekarang telah mendapatkan ijin pelaksanaan pendidikan sesuai yang ditentukan oleh pemerintah pusat.
Ketiga, santri alumni pondok telah diterima dalam dunia bisnis, militer dan internasional. Jika dulu, santri tamatan dari pondok hanya diterima sebagai guru atau ustadz yang mengajar pengajian di mesjid-mesjid kampung. Tetapi sekarang, santri sudah bergerak di segala lini kehidupan. Tidak sedikit santri yang berkecimpung di dunia enterpreneur, ada juga yang masuk dalam dunia politik dan militer, bahkan banyak juga yang melakukan dakwah dengan memanfaatkan teknologi digital sesuai dengan zaman 4.0 sekarang ini.
Jika dulu, pendidikan saintis dan agama dipisahkan di dalam lembaga pendidikan, namun sekarang agama dan saintis merupakan satu kesatuan, dimana agama yang diyakini memunculkan ilmu yang juga dapat dianalisis secara ilmiah. Pondok dan santri adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga keduanya saling mengikat sebagai tujuan dari pribadi muslim.
Pondok adalah salah satu pintu untuk mencetak santri yang bermartabat, berilmu, berintegritas dan mempunyai keyakinan tentang ketuhanan. Bukan sekedar bersekolah tanpa tujuan kebermanfaatan bagi umat manusia. Karena salah satu keberhasilan pondok adalah melahirkan santri yang menyadari bahwa mentransfer ilmu itu bukan pekerjaan mudah namun dibutuhkan ilmu dan mekanismte tertentu. Dan pada akhirnya, harapan menjadi santri yang mumpuni adalah cita-cita seluruh guru-guru di pondok. (RbR).