Oleh: Bisma Yadhi Putra.
Esais dan Peneliti. Tinggal di Banda Aceh.
Dalam usaha memahami cara kerja politik pembangunan pengaruh demi perebutan dan penjagaan kekuasaan nasional di Indonesia, masalah yang akan ditemukan terus adalah pembedaan Jawa dengan non-Jawa.
Disimilasi ini memang sudah dikritik banyak ilmuwan. Apalagi ketika ada yang mulai menyuarakan suatu konfigurasi politik berupa “orang Jawa presiden, non-Jawa wakilnya”. Keberlangsungan itu memang selalu ditolak banyak pihak, tetapi politik Indonesia akhirnya tetap berkembang menjadi satu arena yang menempatkan “kejawaan” sebagai identitas primordial paling berpengaruh.
Situasi ini kian berat bagi yang non-Jawa sebab umum masih memegang definisi “suku” yang menempatkan identitas primordial ayah sebagai determinan. Dengan demikian seseorang dianggap anggota suatu suku kalau berayah kandung dari suku tersebut.
Memang ada yang memaknai “suku” secara luwes. Garis keturunan dari bapak tak dijadikan penentu. Sejauh seseorang sudah lama hidup di tengah-tengah suatu etnik, sudah mampu memahami dan merasa banyak hal darinya, sudah hidup dan bisa berpikir dengan cara khasnya, dan telah banyak berbakti untuk kemajuannya, dia sudah boleh disebut anggota etnik tersebut. Artinya keanggotaan juga bisa ditentukan oleh “peran” selain “tipe” (sesuatu yang kodrati). Namun pemaknaan begini belum jadi pegangan khalayak.
Impaknya: orang-orang yang ingin berkompetisi menjadi presiden tetapi tak berayah kandung orang Jawa segera dipanggil dengan sebutan-sebutan eksentrik macam “politikus non-Jawa”, “kandidat non-Jawa”, atau “capres non-Jawa”. Kategori tersebut secara objektif sedikit pun tiada hubungannya dengan sifat paramarta dan kecakapan memimpin.
Kategorisasi ini lantas menyeret orang-orang non-Jawa itu pada situasi-situasi berat lainnya. Kenyataannya lanjutan yang dihadapi adalah fakta populasi pemilih terbesar ada di Pulau Jawa. Bahkan rupanya, berdasarkan temuan survei, orang Jawa cenderung lebih menghendaki pemimpin nasional berasal dari suku yang sama dengan mereka. Lebih-lebih pada capres-cawapres kombinasi Jawa-Jawa. Temuan ini diperoleh Survey and Polling Indonesia tahun 2014. Dan sampai sekarang belum tampak gejala yang menunjukkan sudah beralihnya kecederungan tersebut.
“Jawanisasi” diri
Pada tahap ini mereka yang bukan Jawa, atau bukan Jawa tulen, semakin terbebani dengan posisi primordialnya. Menerangkan ke publik bahwa seseorang seharusnya dipilih bukan karena asal sukunya tetapi berdasarkan kecakapan, pengalaman, kebaikan, atau kejituan rencana program kerjanya memang edukatif. Mulai dari penyelenggara pemilu, agamawan, hingga akademikus sudah berbusa-busa menyiarkan rasionalitas demikian. Tetapi hal-hal objektif itu tak kuasa menandingi pengaruh “kejawaan”. Kesukuan masih lebih dipertimbangkan.
Nantinya, posisi primordial ini menjadi masalah yang diatasi secara serius bahkan menghabiskan biaya tidak kecil. Langkah yang dipandang rasional oleh pesohor-pesohor politik non-Jawa untuk mengatasi itu adalah menyerap “Jawa” dalam konstruksi indentitas mereka.
Menyerap Jawa bukanlah menarik semua bagian-bagian yang ada dalam buana atau konstelasi Jawa. Yang diserap adalah anasir-anasir tertentu yang diyakini tepat untuk “mengabsahkan” pengakuan “saya orang Jawa” bahkan “saya Jawa tulen”. Anasir-anasir itu antara lain tempat (Pulau Jawa), cara berpikir, kesantunan Jawa, pandangan tokoh Jawa, tradisi, kejawaan orangtua, kesenian Jawa, makanan khas Jawa, bahasa Jawa, sejarah Jawa, dan seterusnya. Tapi penyerapan ini tak pasti berhasil. Ambillah pengalaman BJ Habibie.
Habibie paham betul kuatnya pengaruh Jawa dalam kekuasaan. Oleh karenanya saat dinaikkan menjadi wakil presiden dia merasa perlu menjelaskan ada bagian Jawa yang menempel pada dirinya. Pernyataan “kejawaan diri” bahkan diteruskan saat dan setelah menjadi presiden. Dia berulang-ulang mengabarkan ayahnya keturunan Bugis sementara sang ibu berasal dari keluarga ningrat-intelektual Jawa. Pernah dia menegaskan: “Ibu saya orang Jawa seratus persen”.
Penjelasan demikian bukan cuma disampaikan dalam pembicaraan bertema politik. Tahun 2016 Habibie diundang sebagai pembicara dalam peluncuran buku bertema hukuman mati. Soal ketaksetujuannya terhadap hukuman mati pun dia hubungkan dengan kejawaan sang ibu. Katanya: “Ibu saya orang Jawa, bapak saya orang Bugis … lingkungan ini yang membentuk sikap saya yang antihukuman mati” (“Habibie: Saya tidak Setuju Hukuman Mati”, beritasatu.com, 31 Mei 2016).
Habibie malah merasa lebih banyak dibentuk “Jawa” ketimbang “Sulawesi”. Dalam satu wawancara yang dirilis majalah Tempo, dia bercerita begini: “Ketika saya remaja, Pak Harto pernah bertanya saya berasal dari mana. Saya jawab, ‘Saya orang Jawa’. Terus dia bilang, ‘Kamu itu 50 persen Jawa, 25 persen Bugis, dan 25 persen Gorontalo. Otak dan agamamu Jawa, tapi ototmu Bugis’. Ini bukan soal rasis, karena memang begitu kenyataannya. Ibu saya … berasal dari Jawa, dan ayah … berasal dari Gorontalo. Tapi saya dominasinya Jawa, ha-ha-ha…” (“Tiga Babak Habibie”, Tempo, 28 Mei 2012).
Tentu saja komentar Soeharto itu merupakan tafsir personalnya atas latar belakang hidup Habibie. Tetapi Habibie cukup senang dan memegang teguh opini tersebut. Itu membuatnya semakin percaya diri mengaku sebagai orang Jawa.
Dalam konteks Habibie ini, usaha menarik “Jawa” ke dalam identitas personal sama sekali tak sukar. “Jawa” sudah ada dalam lingkaran kehidupannya; dari sang ibu, lalu tinggal ditarik. Dia juga menyerap penilaian seorang pembesar Jawa yang dekat dengan diri serta keluarganya. Kejawaan yang ada dalam lingkaran hidup Habibie, meski bukan dari sang ayah, melulu secara yakin ditunjukkan sebagai bukti bahwa ia memang “banyak Jawanya”. Namun pemosisian diri ini bisa dibilang gagal. Ternyata publik–sampai sekarang—masih memandang Habibie bukan orang Jawa. Dia tetap dicatat sebagai orang non-Jawa pertama yang jadi presiden.
Anies Baswedan dan Ahok mengulangi apa yang pernah dilakukan Habibie dulu. Meski keduanya bisa saja tak bermaksud menjadi imitator presiden ketiga tersebut. Dalam sebuah video wawancara dengan Gus Miftah, Gubernur Baswedan menjelaskan bahwa dirinya orang Jawa. Dia juga bilang selera betul dengan masakan Jawa, terutama gudeg. Para oponen pun cepat-cepat menyanggah. Pengakuan tersebut dianggap kebohongan karena ayah Baswedan keturunan Arab.
Sebenarnya penyerapan Jawa ke dalam identitas yang dilakukan Baswedan merupakan giat yang telah berlangsung sewaktu kampanye pemenangan dahulu. Agar semakin banyak yang suka, Baswedan didorong senantiasa menonjolkan simbol-simbol Jawa saat tampil di depan publik oleh para ahli dalam tim pemenangannya. Sisi kejawaan dibentuk dengan menyerap anasir budaya, seni, juga bahasa Jawa. Tujuannya agar bertambah banyak pemilih berlatar etnik Jawa di Jakarta yang menaruh suka. Maka sewaktu pengakuan Jawa kembali diutarakan saat tengah menjabat gubernur, para kritikus menduga Baswedan sedang mengoperasikan lagi strategi penyuksesan politik lamanya untuk keperluan baru: Pemilu 2024.
Yang aktif menyangkal “pengakuan Jawa” dari seorang non-Jawa ternyata bukan cuma orang Jawa. Dalam kasus Baswedan, politikus yang sangat sibuk membantah justru seorang Batak: Ferdinand Hutahaean. Walaupun pelurusan itu lebih bermaksud politis. Dan uniknya, bantahan terhadap Baswedan tidak disuarakan orang-orang Jawa dalam kelompok politiknya. Mereka mungkin tidak menyoal itu karena melihat ada persoalan lebih penting ketimbang ada-tidaknya “Jawa” pada sosok yang ingin lebih ditinggikan nanti.
Tidak banyak yang tahu Basuki Tjahaja Purnama juga menyerap “Jawa” ke dalam identitasnya. Tujuannya untuk menampilkan citra baru. Sekian lama dicap arogan, Ahok pada kemudian hari menjelaskan dirinya sudah santun seperti orang Jawa. Dia menyerap “kesantunan Jawa” lalu menamai dirinya dengan istilah yang terdengar positif: “Ahok versi baru”. Ahok versi baru ini adalah “Ahok yang santun banget”. Pernyataan tersebut disampaikan dalam masa kampanye.
Jadi sebenarnya pada Pilkada DKI 2017 terjadi pertarungan dua orang yang sama-sama berusaha menyerap Jawa ke dalam konstruksi identitasnya. Meskipun anasir yang diserap berbeda.
Tetapi tidak bisa pula dikatakan kemenangan Baswedan berkat penyerapan anasir Jawa tersebut, karena faktor lainlah yang membuatnya sukses. Kemenangan Baswedan dan kekalahan Ahok bukan soal yang satu “lebih Jawa” sedangkan satu lainnya “kurang Jawa”.
Kejawaan di luar Jawa
Walaupun karisma kejawaan kuat dalam arena kekuasaan nasional, seorang keturunan Jawa yang berlaga dalam perebutan kekuasaan di daerah luar Jawa mesti tetap menyerap anasir suku setempat atau predikat-predikat positif-menonjol di tingkat lokal. Mengalterasi identitas jelas tak mungkin. Merupakan suatu pemaksaan berbahaya umpamanya seorang Jawa mengaku sebagai orang asli Kalimantan atau Aceh demi bisa mendapat kuasa di tempat tersebut. Kebohongan semacam itu tidak sulit dibongkar.
Anak-anak keturunan Jawa yang lahir di Sumatera memadukan kejawaannya dengan “kesumateraan”. Ungkapan familiar yang digunakan adalah “putra Jawa kelahiran Sumatera”. Predikat ini positif dan beken. Mereka menyerap anasir “tempat” ke dalam bangunan identitasnya. Di Sumatera Utara modifikasi kejawaan ini malah bisa lebih efektif manakala seseorang, dengan cara-cara tertentu, bisa memperoleh salah satu marga lokal.
Contohnya dalam pencalonan Gubernur Sumut tahun 1993 (pemilihan tidak langsung). Salah satu nama yang dinaikkan adalah Mudyono. Dia pertama-tama membangun identitas kejawaan yang punya rasa kesumateraan. Selain mengandalkan predikat “pujakesuma”, Mudyono juga diberikan sebuah marga oleh para pendukungnya yang terdiri dari tokoh adat, ulama, pemuda, serta masyarakat se-Tapanuli Selatan. Nama barunya menjadi Mudyono Nasution. Kelak nama ini dipakai untuk menandingi “primordialisme” pesaing terkuatnya: Raja Inal Siregar. Para pendukung Mudyono mencap Raja Inal anti-Jawa. Sama seperti Ferdinand Hutahaean terhadap Baswedan, Raja Inal juga menyangkal Mudyono dengan menyebut “pujakesuma” yang digembar-gemborkannya bukan singkatan dari “putra Jawa kelahiran Sumatera” melainkan “putra Jawa yang keluyuran di Sumatera” (“Berlomba tanpa Primordialisme”, Tempo, 20 Februari 1993).
Baik penyerapan maupun modifikasi “Jawa” masih menjadi cara kerja politik di Indonesia. Keduanya pun sama-sama menunjukkan bahwa identitas dasar tak dapat diandalkan dalam politik perebutan kuasa. Perlu ada penyerapan anasir-anasir positif dari suku mayoritas tempat kekuasaan hendak diperoleh.[]