Oleh: Dahlan Jamaluddin, S.IP
Ketua DPR Aceh.
Terjadinya MoU Helsinki antara Pemerintah RI dengan GAM adalah kehendak politik yang harus dimaknai dan dihargai oleh kedua belah pihak. Komitmen dari MoU Helsinki kemudian terwujud lahirnya UUPA No 11 Tahun 2006. Bendera dan Lambang Aceh sebuah keharusan yang perlu dijalankan karena amanah MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Turunan implimentasi dari kedua amanah tersebut adalah dengan lahirnya qanun No 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh. Qanun itu lahir harus dimaknai sebagai semangat menjalankan turunan UUPA dalam sistem tatanegara Republik Indonesia.
Lahirnya qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang bendera dan Lambang Aceh, secara prosedur hukum telah dilalui dengan sangat baik. Setelah qanun disahkan oleh anggota DPRA, lalu melewati konsultasi atau review Kemendagri. Dalam fase ini, pembahasan qanun ini tidak mendapat catatan yang dapat membatalkan qanun ini. Tahapan berikutnya adalah dilembar daerahkan oleh Gubernur Aceh saat itu Zaini Abdullah.
Setelah prosedur hukum dilalui secara normal. Baru kemudian terjadi tarik menarik pada tataran implimentasinya. Sampai kemudian terjadi dialog antara Kemendagri dengan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh. Kemudian dikenal istilah cooling down. Supaya qanun nomor 3 tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang itu tidak di implimentasikan sementara waktu.
Cooling down inilah yang menjadi sumber masalah dalam upaya implimentasi qanun tersebut. Belum lagi istilah cooling down tidak dikenal dalam istilah hukum. Kemudian dalam proses cooling down terus berlarut-larut hingga beberapa kali tahap cooling down dilakukan. Hingga hari ini tidak disepakati hasil dari proses cooling down.
Kelihatannya saya mulai menduga-duga. Terdapat pihak yang sedang merawat konflik yang kontraproduktif untuk selalu menghadapkan Aceh-Jakarta. Supaya dengan berlarutnya soal implimentasi qanun bendera dan lambang, maka akan kehilangan trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada rakyat Aceh. Dan kehilangan trust dari masyarakat Aceh kepada Partai lokal, terutama Partai Aceh. Walaupun dalam faktanya, setelah saya membuka dokumen, semua fraksi di DPRA waktu itu setuju membahas hingga sepakat mensahkannya.
Dalam konteks negara demokrasi seperti kita ini. Alat ukurannya adalah perwakilan masyarakat di DPR. Maka DPR Aceh adalah representatif rakyat Aceh. Saya cek dokumen DPRA semua praksi sepakat dengan bendera dan lambing tersebut. Walau di DPRA terdapat perbedaan partai politik lokal maupun partai nasional.
Jadi melihat situasi seperti ini, kami menawarkan kepada staholder terutama Kemendagri dan Pemerintah Aceh untuk duduk kembali melakukan dialog, supaya ada kepastian hukum dan politik mengenai implimentasi Qanun Nomor 3 Tahun 2013. Dengan melakukan dialog saya percaya kemacetan apapun akan melahirkan hasil, dan ini penting untuk membangun semangat kepercayaan masyarakat Aceh.
Kami melihat Rakyat Aceh sangat mencintai perdamaian, menghargai keputusan politik untuk kemajuan Aceh. Untuk membangun Aceh dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Kalau dialog ini tidak dilakukan kita khwatir akan dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu oleh pihak-pihak yang tidak tahu menahu semangat perdamaian Aceh ini. Tentu akan berdampak bagi pembangunan Aceh secara umumnya. Jadi jalan keluarnya untuk kepastian hukum implimentasi qanun bendera dan lambang Aceh harus segera dilakukan dialog.
Sesungguhnya masalah Aceh bukan saja qanun bendera dan lambang, tapi masih banyak aturan lain yang tidak dilakukan implimentatif. Turunan UUPA banyak yang belum turun, jika pun sudah turun seperti PP hingga Perpres tidak dilakukan implimentasi. Itu juga menjadi bahan dialog yang musti dilakukan. Supaya percepatan pembangunan Aceh dapat dilakukan secara baik dan cepat.
Rakyat menunggu kepastian, rakyat Aceh tidak boleh dicurigai. Mari kita duduk untuk mencapai harapan bernegara sesuai UU Dasar yang melindungi dan mencerhkan kehidupan berbangsa.
Saya melihat ruang eksekutif review tidak ada, yang ada adalah ruang legislative review. Tapi perlu saya sampaikan bahwa semua fraksi setuju dengan qanun ini untuk dilakukan sebelumnya. Kalaupun ada ruang legislative review, mari kita dialog untuk percepatan pembangunan Aceh.
Saya menangkap, semua rakyat Aceh dan semua stakeholder berkomitmen untuk menjaga perdamaian MoU Helsinki dan UUPA. Rakyat siap berkontribusi untuk kebaikan Aceh, kami di DPRA membuka ruang untuk dialog, sumbatan komunikasi harus dibuka, supaya Aceh lebih baik kedepannya.
Note: Resume Dialog Publik, yang Diselenggarakan oleh Hurriah Foundation, Jumat 14 Januari 2022 di Banda Aceh.