Saya menyebut dengan evaluasi diri atas perjalanan Puasa yang ke-19 hari. Dalam bahasa agama, disebut muhasabah –walau makna ini sesungguhnya juga sangat detail. Maksud muhasabah adalah introspeksi diri atau perhitungan diri. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana tindakan, sikap, dan perilaku yang muncul dalam jangka waktu tertentu. Tujuan pentingnya, selain sebagai ruang untuk menyesali perbuatan yang buruk, juga menyiapkan bagi perbuatan-perbuatan baik selanjutnya.
Saya kira, perbuatan baik harus disiapkan. Sesuatu yang dianggap baik dan strategis, harus direncanakan dengan baik. Termasuk dalam kategori adalah ibadah, baik yang wajib maupun sunat. Tentu posisi wajib menjadi utama, baru disusul dengan ibadah sunat. Bukan sebaliknya. Tak bisa menutupi jika bertumpu pada sunat, tetapi meninggalkan yang wajib.
Evaluasi diri, yang saya maksud di atas, seiring dengan sudah menjelang tiga minggu berlangsungnya ibadah puasa. Dalam fase atau babak, berdasarkan pendapat sebagian pihak, masuk dalam fase ketiga. Fase ini yang berdasarkan kehidupan Rasul, masanya mengencangkan ikat pinggang. Jika dianalogikan dalam olahraga, fase ini seperti tim yang sudah masuk final.
Dengan perjalanan puasa, penting untuk melihat lagi ke belakang, apakah ibadah yang dilakukan sudah memenuhi standar baik secara kuantitas atau kualitas. Termasuk bagaimana peningkatannya. Jika hingga 19 hari Puasa, namun masih biasa-biasa saja, atau bahkan jalan mundur dari segi ibadahnya, maka jalan evaluasi harus segera dilakukan. Segeralah mencari tahu melalui penelusuran ke belakang, apa yang menyebabkan kondisi tersebut.
Itulah yang saya maksudkan sebagai evaluasi diri. Berbagai kekurangan yang ditemui, masih memungkinkan diperbaiki dalam waktu sisa. Alasannya, tentu saja, Puasa adalah bulan yang khusus. Tidak semua ibadah ada di bulan yang lain. Begitu pula dengan ganjaran pahalanya, tidak sama dengan bulan yang lain. Termasuk garansi Allah untuk menghapus segala dosa bagi yang melaksanakan ibadah dengan ikhlas dan sungguh-sungguh.
Evaluasi diri sendiri tidak mesti berdasar kita sendiri. Kadang kala kita perlu meminta pendapat orang lain. Perlu nasihat dari orang lain kepada kita. Kondisi pendapat ini, agak rumit dan sulit diterima sebagian orang. Padahal untuk mencapai puncak, juga butuh kontribusi orang lain terhadap kita. Dengan posisi puncak, seseorang sedang berada pada fase yang masih produktif dan kreatif. Pada fase ini, diyakini seseorang sedang berada pada puncak kualitas. Dengan keimanan yang kokoh, fondasi yang teguh, maka peluang untuk menolak berbagai godaan sangat mungkin dilakukan.
Kekuatan untuk menolak jalan batil sangat penting ketika orang sedang berjaya. Posisi yang bersangkutan akan gagah ketika menolak kebatilan pada saat posisinya masih cemerlang. Posisi kebatilan atau keburukan itu sendiri pada akhirnya berpengaruh pada yang bersangkutan.
Ada tiga hal. Pertama, tampak atau tidaknya suatu jalan lurus atau jalan buruk. Kedua, menerima dengan perbuatan (melalui perilaku dan ibadah) suatu jalan yang lurus dan menolak suatu jalan yang lurus. Ketiga, kekuatan untuk menerima perbuatan yang lurus dan menolak jalan yang buruk. Ketiganya sangat penting. Seharusnya ketiga hal itu saling berkaitan dan saling menguatkan, namun dalam kenyataan tak jarang, orang yang berhasil pada hal yang satu, kadangkala gagal pada hal dua atau tiga. Demikian juga sebaliknya. Ada orang yang tidak bisa membedakan tampak atau tidaknya suatu jalan lurus atau batil, namun berani menolak baik dengan perbuatan maupun dengan kekuatan menolak dengan pernyataan dan sikap.
Orang yang tamak, bukan berarti seluruhnya tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu kabur atau tidak. Ada orang yang bahkan sangat sadar bahwa perbuatannya merupakan dosa besar, namun tetap dilakukan juga. Bahkan ketika suatu perbuatan yang buruk dilakukan dalam waktu yang lama dengan berulang-ulang, maka akan berpotensi orang tersebut tidak merasa bersalah lagi. Posisi merasa bersalah berbeda dengan pemahaman bahwa sesuatu yang dilakukan itu salah. Suatu perbuatan yang diketahui salah, namun ketika dilakukan, ada yang merasa bersalah, tetapi tidak sedikit juga yang tidak merasakan apa-apa lagi.
Orang yang mengerti, memahami, dan menyadari suatu perbuatan itu baik atau buruk, kadangkala tidak mampu diikuti melalui perbuatannya. Lurus atau buruk hanya tinggal di otak, tidak berbekas pada tataran implementasi. Untuk kategori ini, kita menyaksikan orang-orang yang memahami ilmu agama, ternyata ada juga melakukan sesuatu yang tidak bisa kita bayangkan. Ada orang yang sering berceramah, ternyata doyan menilep uang publik. Ada orang yang sering berdiri di hadapan umat, tiba-tiba digerebek dan ditemukan di tempat maksiat.
Orang-orang yang semacam itu, bahkan memiliki pemahaman lebih hebat dari awam dalam hal agama, namun tidak berdaya mengikuti (mengimplementasikan) dalam perbuatan. Kondisi ini bisa saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hal yang paling besar menjadi faktor penarik itu adalah materi –terutama yang terkait dengan pemasukan yang tidak sah. Tidak jarang bahkan ketika menerima sesuatu pun, juga menyertakan dengan hal-hal yang berbau agama.
Selain itu, ada orang yang tidak berdaya ketika ada yang lebih berkuasa melakukan kemungkaran di depan mata. Ia tahu bahwa suatu perbuatan itu buruk, namun karena yang melakukannya seseorang yang lebih berpengaruh atau lebih kuat, maka tidak berdaya untuk menolaknya. Ironisnya, jika posisi orang tersebut bukan saja tidak berani menolak dan menyampaikan kebenaran, melainkan ikut terlibat melakukannya secara bersama-sama.
Puasa seharusnya memiliki kekuatan lebih bagi kita untuk menentukan jalan buruk tidak dipilih. Momentum puasa, seseorang memiliki waktu dan kesempatan yang lebih besar dalam melakukan refleksi hidup dan kehidupan dirinya berhadapan dengan berbagai hal dalam kehidupannya itu.
Dengan momentum ini, sekali lagi, tidak saja membuat seseorang benci terhadap sesuatu yang tidak baik. Hal yang lebih penting adalah seseorang akan menjadi kekuatan penting dalam melawat semua jalan buruk.
Semua kondisi jalan buruk di atas, seyogianya mampu kita tolak. Momentum bulan penuh berkah ini seharusnya menjadi waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi dan refleksi menyeluruh atas diri kita mengenai pengalaman kita dalam mengetahui adanya sesuatu yang buruk. Evaluasi, muhasabah, kemudian berefleksi, masih sangat memungkinkan dengan memaksimalkan waktu tersisa: 10 atau 11 hari lagi. Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.
[es-te, Rabu, 19 Puasa 1446, 19 Maret 2025]