Oleh: Risman Rachman.
CEO aceHBaru Consulting.
“Bung, kami ndak mau tahu apa visi, misi, dan program mereka.”
“Apa juga?”
“Kami hanya mau, hapus segera status provinsi miskin. Titik!”
*
Sekilas dialog itu benar. Bagi rakyat, yang mereka mau tahu, tidak ada lagi berita “Aceh Juara Miskin.”
Pemilu 2012 adalah awal politik jualan angka kemiskinan. Pasangan Zikir, dalam dokumen visi, misi dan programnya, menyoroti masih besarnya angka kemiskinan Aceh dibanding rata-rata kemiskinan nasional.
Saat itu angka kemiskinan Aceh 19.48 persen. Sedangkan rata-rata nasional sudah di angka 12.36 persen (September 2011).
Pada Pemilu 2017, pasangan Irwandi – Nova membalas. Dalam dokumen visi-misinya angka kemiskinan Aceh disebut sudah sangat mengkuatirkan (17,11). Masih di atas rata-rata nasional (11.22 persen). Tertinggal jauh dari Sumatera Utara (10.79 persen) dan Sumatera Barat (6.71 persen).
Sejak itulah, media-media dan media sosial lebih tertarik mengangkat judul “Aceh Termiskin di Sumatera.” Judul ini menarik karena mengandung daya pukul terhadap penguasa.
Faktanya, sudah beberapa kali terjadi pergantian gubernur, difinitif atau Plt/Pj, gerak turun angka kemiskinan juga tidak meluncur tajam. Mengapa bisa?
Jawabannya, mata kolektif kita sudah diarahkan oleh elit global untuk hanya melihat angka-angka kemiskinan.
Tertutuplah rahasia kunci menuju Aceh maju, makmur, jaya, dan sejahtera melalui pengelolaan hidup dan kehidupan salah satunya perekonomian sesuai petunjuk Allah dan Rasulmya.
Problemnya bukan pada bagaimana menghapus kemiskinan dan pengangguran melainkan tata laksana hidup yang penuh kasih sayang.
*
Selama ini, mata, pikiran dan perasaan kita, oleh elit global, diajak untuk melihat kemiskinan dari jumlahnya, bahkan hingga kebutuhannya.
Resepnya malah kacau, kebutuhan orang yang di vonis sebagai penyebab kemiskinan. Padahal, fitrah dasar manusia ya makluk yang butuh seiring dengan perkembangan waktu dan masa.
Pada zaman berburu, mereka hanya butuh bertahan hidup dan itu cukup dilakukan dengan berburu dari satu tempat ke tempat yang lain.
Di zaman pertanian, manusia sudah butuh tempat tinggal menetap, status kepemilikan tanah, keamanan wilayah, bahkan pasukan yang siap berperang untuk mempertahankan diri dan wilayah.
Zaman terus berkembang dan kebutuhan juga terus menyesuaikan. Maka, kurang ajar sekali jika penyebab kemiskinan adalah beras, rokok, ikan tomgkol dll.
Mestinya, jika kemiskinan terkait ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup tertentu atau kebutuhan dasar maka yang diperbaiki adalah status “ketidakmampuan” menjadi “berkemampuan.”
Menjadikan rakyat sebanyak-sebanyaknya berkemampuan (terdidik, terampil, punya akses, punya modal, sehat, rajin berusaha, mau berkerja seraya taat dan patuh kepada Tuhannya) itulah core bisnis utama Pemerintah Aceh.
Tugas itu, harus dilakukan secara kolegial dengan berbagai pihak dan melihatkan partisipatif aktif masyarakat dibawah tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
Resep Baru
Jika ini resep aslinya maka pendekatan programatiknya (ekonomi dan lainnya) tidak boleh lagi berorientasi jumlah proyek yang mengundang penyusunan kegiatan secara egosektor, dan berujung serapan anggaran dan realisasi fisik.
Ganti dengan programatik yang berorientasi mutu program, di atas visi panjang dan terintegrasi sehingga yang dilihat adalah realisasi outcome dan impact.
Tinggalkan segera asal lantak dalam menyusun proyek tapi ujungnya malah tidak produktif dan tumbuh, abai pada daya dukung anggaran, dan minim nilai tambah.
Segera beralih ke penguatan iklim berusaha dan berinvestasi, perkuat kontribusi swasta dan tarik sebanyak mungkin APBN melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), melalui penguatan skema hilarisasi, jadi tidak harus “bertempurl untuk mewujudkan perpanjangan atau mengabadikan Dana Otsus.
Untuk itu, indikator yang mestinya dipelototin oleh calon pemimpin sejak dini hingga lima tahun ke depan bila terpilih adalah apa program strategis, kualitas itu direncanakan, dan bagaimana direalisasikan.
Juga bagaimana semuanya dipromosikan, disiapkan regulasinya, dan difasilitasi agar mendapatkan pemodalan. Juga bagaimana lobi-lobi dirancang, kebijakan di advokasi, kemitraan dibangun agar ujungnya tumbuh kembang industri yang melibatkan orang banyak bila perlu hingga berbasis keluarga.
Jadi, rakyat tidak dibiarkan sendiri atau berkelompok untuk mendapatkan kerja atau membuat kerja dan negara datang untuk mempajakinya. Kan buat palak kita.[]