Oleh: Sehat Ihsan Shadiqin.
Etnografer dan Penulis Buku Tasawuf Gaul.
Bulai Mei 29 1998 jutaan rakyat Indonesia melakukan demonstrasi. Waktu itu mereka meneriakkan satu kata: “turunkan Soeharto.” Demo berjilid yang dilakukan oleh berbagai elemen di hampir seluruh Indonesia membuahkan hasil.
Orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun di bawah pimpinan Soeharto akhirnya tumbang. Sang Jendral lengser keprabon mengakhiri sebuah periode monarki Indonesia yang telah dijalaninya selama lebih 3 dekade. Semua bersorak riang.
Tokoh yang paling berjasa dalam rangkaian demo yang membuat Soeharto turun adalah mahasiswa. Semua kampus di Indonesia dikuasai oleh mahasiswa yang melakukan serangkaian demo menuntut dibebaskannya negara dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sudah sangat mengakar di negara ini.
Praktik koncoisme telah menjadi bagian yang seolah tidak terpisahkan dari pemerintahan. Akibatnya Resesi ekonomi yang parah terjadi pada tahun 1998 yang menyebabkan banyak terjadinya pengangguran, pemecahan, dan masyarakat kehilangan pekerjaan.
Rangkaian demo yang dilakukan oleh mahasiswa telah melahirkan sejumlah tokoh mahasiswa yang kemudian dikenal dengan aktivis 1998 atau aktivis reformasi. Mereka tidak berhenti di situ saja tapi melanjutkan perjuangan jauh setelah itu. Pada tahun-tahun berikutnya mereka bergabung dengan berbagai macam organisasi baik organisasi yang diciptakannya sendiri atau bersama teman atau organisasi lain yang sudah eksis sebelumnya.
Banyak juga bajing loncat yang memanfaatkan situasi untuk popularitas pribadinya. Populernya istilah aktivis reformasi dijadikan batu loncatan untuk menggapai target-target politik yang sangat terbuka.
Pada tahun-tahun berikutnya, banyak para aktivis mulai masuk partai politik. Beberapa diantaranya bergabung dengan partai baru yang muncul karena gerakan reformasi. Tapi banyak pula diantara aktivis itu yang bergabung dengan partai lama yang sebelumnya disoraki atau dituduh telah melakukan praktik KKN.
Alasannya sederhana saja: mereka sudah berubah. Terdapat juga alasan lain yang terdengar penuh optimisme, dengan mengatakan keberadaannya di dalam partai akan mengubah partai tersebut, menjadi lebih baik di masa yang akan datang
Waktu terus berlalu, tahun terus berganti. Para aktivis yang dulu berjuang di jalan, berpeluh di bawah matahari, makan nasi sebungkus berlima di atas trotoar, sekarang duduk santai setengah terlelap di ruang penyejuk udara (air conditioner-AC). Dengan label aktivis mereka dikenal luas dan rakyat menaruh simpati padanya.
Ia kemudian terpilih menjadi anggota legislatif dan masuk Senayan. Di sana mereka berjuang. Satu hal yang masih sama, mereka masih meneriakkan slogan lama, “berjuang untuk rakyat.” Mereka meyakini benar-benar telah menjadi wakil yang memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sementara bagi rakyat yang diwakili, apa yang nampak adalah rangkaian kegiatan dan kebijakan yang sama sekali tidak mendukung rakyat. Menghamburkan yang untuk hal yang tidak perlu, menjadi konco pengusaha, jual beli pasal, dan kerja yang tidak efektif.
Sehingga apa yang dilakukan sama sekali tidak mencerminkan apa yang pernah diperjuangkan di masa lalu. Praktik kolusi korupsi dan nepotisme tidak pernah berubah. Bahkan celakanya itu menjadi bagian dari aktivitas politik mereka saat ini.
Alih-alih melanjutkan agenda reformasi yang pernah berpeluh diperjuangkan, mereka terkontaminasi oleh politisi tua untuk melanjutkan tradisi tradisi lama, politik kotor di parlemen.
Hari ini sejumlah mahasiswa di bawah guyuran hujan di Banda Aceh dan di bawah terik matahari di beberapa daerah lain di Indonesia melakukan demonstrasi. Bukannya meminta menurunkan pimpinan negeri seperti masa lalu, mereka malah menyesali ketok palu anggota dewan yang mengesahkan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja.
Mahasiswa, pekerja, pegawai, memandang undang-undang tersebut telah menempatkan bangsa ini di bawah kuasa korporat dan oligarki. Negara sudah dijual, DPR bukannya memainkan peran mewakili suara rakyat untuk memenangkan mereka saat berhadapan dengan korporasi tapi malah berkolusi untuk memperkuat dan melegalkan kuasa mereka atas rakyat. Pasal-pasal diskriminatif bertebaran dalam undang-undang yang disebut sebagai kebijakan yang sangat reformis ini.
Dua dekade setelah melakukan demonstrasi meneriakkan reformasi demi negeri bebas KKN, sekarang para aktivis itu adalah orang yang didemo karena perilaku mereka beraroma KKN dan oligarki. Siklus atau karma? Entah lah…